Melalui Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK), peraturan-peraturan mengenai pelindungan konsumen yang menyasar sektor keuangan diformulasikan kembali.
Mengingat UU PPSK ini menerapkan metode omnibus law atau penggabungan beberapa aturan, maka pengaturan pelindungan konsumen ini mempunyai jangkauan luas. Dari otoritas sektor keuangan, hingga pelaku usahanya.   Â
Pengaturan dalam UU PPSK
Secara eksplisit, UU PPSK menyebutkan bahwa pelindungan konsumen merupakan asas (Pasal 2) sekaligus tujuan (Pasal 3) dari pembentukan UU dimaksud. Hal itu menunjukkan bahwa pelindungan konsumen merupakan salah satu materi pokok pengaturan UU PPSK.
Pengaturan pelindungan konsumen tersebar dalam banyak pasal. Setidaknya, kita dapat memahami beberapa aturan pokoknya.
Pertama, terdapat bab khusus yang mengelompokkan pengaturan pelindungan konsumen yang dirangkaikan dengan literasi dan inklusi keuangan (Bab XVIII).Â
Terkait literasi dan inklusi, UU mengamanatkan pemerintah, BI, dan OJK untuk berkoordinasi meningkatkan literasi dan inklusi keuangan. Selain itu, ketiga lembaga negara tersebut diperintahkan untuk bersinergi menyusun, memantau, dan mengevaluasi strategi literasi dan inklusi dimaksud.
Sebagaimana disinggung di awal, gap lebar antara tingkat literasi dan inklusi membuka potensi sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha. Gap tersebut perlu dipersempit hingga dihilangkan sehingga terwujud keseimbangan antara literasi dan inklusi.Â
Alhasil, semua anggota masyarakat yang telah terhubung dengan lembaga keuangan formal paham mengenai produk yang digunakannya.
Kedua, UU PPSK memberikan wewenang kepada otoritas sektor keuangan untuk menyusun pengaturan pelindungan konsumen.Â
Dengan adanya payung hukum UU, maka otoritas-otoritas terkait memiliki standarisasi materi peraturan pelaksanaan yang meliputi, mekanisme penanganan pengaduan, layanan konsumen, pengawasan, penyelesaian sengketa, dan ketentuan lain yang diperlukan.