Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Disrupsi Ekonomi Tidak Selalu Destruktif

30 September 2023   15:30 Diperbarui: 5 Oktober 2023   15:15 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berjualan di TikTok Shop. (SHUTTERSTOCK/CHAY_TEE via KOMPAS.com)

Polemik makin larisnya TikTok Shop dengan kian sepinya pasar tradisional mendorong pemerintah hadir untuk menengahinya. Akhirnya, muncullah peraturan baru yang membatasi aktivitas social commerce, diantaranya TikTok Shop (Permendag No. 31 Tahun 2023).

Kebijakan pemerintah kali ini cukup menarik perhatian publik, ya karena platform digital sekarang sudah menjadi tumpuan baru dalam aktivitas ekonomi.

Sebagian kelompok mendukung pembatasan sosial commerce mempertimbangkan potensi kerugian UMKM. Sementara yang lain justru melihat social commerce sebuah inovasi baru untuk pengembangan usaha. 

Mana yang benar? Kita lihat saja nanti, waktu yang membuktikan.

Fenomena Berulang

Fenomena polemik terhadap suatu inovasi ekonomi sebenarnya telah terjadi berulang kali di Indonesia. Mari kita tengok sejenak beragam peristiwa serupa yang telah berlalu. 

Sekitar tahun 2005, para sopir taksi di kota-kota besar melakukan demo menentang perluasan bisnis Blue Bird. Saat itu, Blue Bird dikenal sebagai penyedia taksi yang memberikan layanan prima, seperti profesionalitas pengemudi, kejelasan tarif melalui argo, dan kendaraan yang layak.

Lain halnya dengan kebanyakan taksi yang beroperasi dengan standar rendah, seperti tarif tidak jelas dan kecurangan pengemudi. Kehadiran Blue Bird dianggap mengancam bisnis mereka karena tentunya konsumen akan beralih ke Blue Bird.

Satu dekade kemudian, kembali terjadi demo besar-besaran oleh tidak hanya pengemudi taksi, tetapi juga pengemudi ojek. Bahkan, pengemudi Blue Bird pun turut sebagai pendemo. Saat itu, mereka menentang maraknya bermunculan taksi dan ojek online, seperti Gojek, Grab, dan Uber.

Pokok persoalan saat itu adalah taksi dan ojek online selain tidak memiliki izin sebagai kendaraan umum, juga menawarkan ongkos yang lebih murah.

Di luar sektor transportasi, polemik terjadi pula di sektor finansial. Seputaran 2018, transaksi kripto mulai melonjak. Instrumen keuangan tersebut, yang diawali dengan munculnya Bitcoin, mulai digunakan sebagai alat tukar transaksi lintas negara.

Alhasil, banyak pihak mengklaim bahwa kripto akan menjadi mata uang masa depan, menggantikan mata uang resmi yang ada. Pemerintah serta bank sentral di berbagai negara pun langsung bereaksi. Mereka mengeluarkan kebijakan-kebijakan pelarangan transaksi menggunakan kripto.

Adaptasi Inovasi

Lalu, bagaimana akhir cerita dari pergulatan di atas?

Untuk ekpansi Blue Bird, pada akhirnya perusahaan tersebut dapat beroperasi di berbagai kota besar di Indonesia. Perlahan-lahan, taksi-taksi kompetitornya pun beradaptasi untuk berkompetisi melalui perbaikan layanan, mendekati standar yang diberikan Blue Bird.

Terkait platform-platform transportasi online, hingga saat mereka tetap berjalan bahkan semakin berkembang. Sebagian transportasi konvensional yang semula menentang malah bergabung dengan platform. Mereka akhirnya menyadari pilihan untuk beradaptasi atau gagal berkompetisi.

Begitupun fenomena crypto currency, instrumen berbasis kripto justru berkembang dan transaksinya tetap berlangsung. Otoritas (BI) pun pada akhirnya melakukan pelarangan sebatas pada pemanfaatan kripto untuk instrumen pembayaran. Adapun kripto yang diperlakukan sebagai aset investasi tetap diperbolehkan, belakangan Undang-Undang malah menyediakan pengawas khusus (OJK).

Disrupsi Tidak Berarti Destruktif

Momentum transformasi taksi, angkutan online, dan kripto menggambarkan fenomena perubahan yang selalu mengejutkan dan menakutkan pada awalnya. Namun, pada akhirnya ternyata tidak selalu merusak tatanan ekonomi, malah terjadi perluasan pasar. Sebagian orang menganggap perubahan semacam itu sebagai bentuk disrupsi.

Sebuah artikel bertajuk "What Is Disruptive Innovation?", yang dimuat Harvard Business Review, memberikan pandangan bahwa disrupsi terjadi jika suatu pendatang baru mampu melayani segmen yang tidak diperhatikan pemain lama (incumbent). 

Misalnya, produk yang semula hanya dinikmati segmen menengah ke atas, dengan munculnya disrupter maka bisa tercipta produk sejenis yang mampu memberikan layanan kepada segmen menengah ke bawah.

Contoh disrupsi yang paling terasa adalah munculnya personal computer. Semula hanya perusahaan atau institusi besar saja yang bisa memilik. Belakangan, banyak produsen komputer mampu memproduksi komputer untuk masyarakat biasa. 

Perusahaan incumbent yang enggan melakukan perubahan ketika hadir perusahaan disrupter, lama-kelamaan bisa tersingkir. Disrupter secara bertahap dapat melakukan ekspansi konsumennya hingga mengambil alih konsumen milik perusahaan incumbent. Contoh kasus, keengganan Nokia Symbian merubah model bisnisnya ketika HP Android hadir, menjadi awal kekalahan mereka.

Terkait inovasi semacam TikTok Shop, mereka nampaknya mulai mendisrupsi para konsumen pasar tradisional. Apakah itu suatu bentuk disrupsi yang destruktif? Masih perlu waktu untuk membuktikannya. 

Jika mereka mematikan UMKM, maka sudah pasti itu destruktif. Namun, jika sebaliknya maka itu disrupsi yang produktif. Untuk yang terakhir, sementara pihak mengatakan bahwa TikTok Shop sudah diikuti jutaan UMKM.

Disrupsi Akan Berlanjut

Polemik TikTok Shop seperti babak berkelanjutan dari rangkaian polemik inovasi disruptif sebelumnya (transportasi online, kripto, dll). 

Tidak menutup kemungkinan, masih akan bermunculan disrupsi lainnya pada waktu mendatang. 

Naluri manusia yang tidak pernah puas mendorong mereka untuk selalu berinovasi. Kemunculan inovasi baru berpotenai menggantikan apa yang sudah ada (status quo). Pihak yang terancam tergantikan tenru akan melakukan perlawanan. Kondisi itulah yang akan menciptakan polemik-polemik baru.

Oleh karena polemik disrupsi hampir mustahil dihentikan, maka perlu upaya dari pemerintah, otoritas lainnya, dan seluruh elemen bangsa bekerjasama. Bersama mengarahkan agar disrupsi yang ada mendatangkan kebaikan, bukan kerusakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun