Contoh disrupsi yang paling terasa adalah munculnya personal computer. Semula hanya perusahaan atau institusi besar saja yang bisa memilik. Belakangan, banyak produsen komputer mampu memproduksi komputer untuk masyarakat biasa.Â
Perusahaan incumbent yang enggan melakukan perubahan ketika hadir perusahaan disrupter, lama-kelamaan bisa tersingkir. Disrupter secara bertahap dapat melakukan ekspansi konsumennya hingga mengambil alih konsumen milik perusahaan incumbent. Contoh kasus, keengganan Nokia Symbian merubah model bisnisnya ketika HP Android hadir, menjadi awal kekalahan mereka.
Terkait inovasi semacam TikTok Shop, mereka nampaknya mulai mendisrupsi para konsumen pasar tradisional. Apakah itu suatu bentuk disrupsi yang destruktif? Masih perlu waktu untuk membuktikannya.Â
Jika mereka mematikan UMKM, maka sudah pasti itu destruktif. Namun, jika sebaliknya maka itu disrupsi yang produktif. Untuk yang terakhir, sementara pihak mengatakan bahwa TikTok Shop sudah diikuti jutaan UMKM.
Disrupsi Akan Berlanjut
Polemik TikTok Shop seperti babak berkelanjutan dari rangkaian polemik inovasi disruptif sebelumnya (transportasi online, kripto, dll).Â
Tidak menutup kemungkinan, masih akan bermunculan disrupsi lainnya pada waktu mendatang.Â
Naluri manusia yang tidak pernah puas mendorong mereka untuk selalu berinovasi. Kemunculan inovasi baru berpotenai menggantikan apa yang sudah ada (status quo). Pihak yang terancam tergantikan tenru akan melakukan perlawanan. Kondisi itulah yang akan menciptakan polemik-polemik baru.
Oleh karena polemik disrupsi hampir mustahil dihentikan, maka perlu upaya dari pemerintah, otoritas lainnya, dan seluruh elemen bangsa bekerjasama. Bersama mengarahkan agar disrupsi yang ada mendatangkan kebaikan, bukan kerusakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI