Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Kembalian Receh, Jangan Dianggap Remeh

7 September 2023   05:00 Diperbarui: 7 September 2023   11:50 827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi uang receh dan uang koin rupiah. (Sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com) 

Dalam beberapa kesempatan, masih saja saya temui, mini market modern tidak mengembalikan uang receh atau menawarkan kembalian tersebut untuk disumbangkan. Meskipun, ada juga kasir memberikan kembalian lebih, mungkin untuk mempermudah pecahan kembalian.

Untuk yang terakhir, tidak menjadi persoalan bagi konsumen. Tapi, jika terlalu sering dilakukan maka toko akan rugi. Namun, terkait kembalian yang ditahan, perilaku itu mengurangi hak konsumen meskipun dalam nominal yang kecil.

Bagi pengelola mini market, jika diakumulasikan dari seluruh transaksi harian hingga tahunan, bisa jadi terkumpul nominal yang besar. Sekitar tahun 2016, persoalan tersebut sempat dipersengketakan di majelis Komisi Informasi Pusat.

Perilaku tidak mengembalikan uang receh memang sudah berlangsung lama. Dulu pernah ada kembalian diganti permen, lalu berubah menjadi tawaran untuk disumbangkan. Yang semoga tidak terjadi lagi, tidak ada omongan, tau-tau tidak dikembalikan.

Sekali lagi, namanya kembalian uang receh, tentu nominalnya tidak seberapa, sekitar Rp100,00-Rp200,00. Namun, nilai receh semacam itu tetap merupakan hak konsumen sehingga wajib bagi penjual memberikannya kepada konsumen.

Etika Receh

Alasan mengapa kembalian receh kerap diabaikan tentu bisa bermacam-macam. Mungkin saja pihak mini market tidak mempersiapkan uang logam. Jika itu persoalannya, semestinya mudah diatasi dengan menukarkan uang logam ke bank.

Waralaba profesional pastinya terafiliasi dengan perbankan, atau bahkan malah nasabah prioritas yang mendapatkan privillege layanan, termasuk penukaran uang.

Masalah tidak siapnya uang logam merupakan kelalaian pihak toko. Mengingat, banyaknya barang yang mencantumkan harga dengan nominal "nanggung", misalnya Rp8.900,00.  

Alasan lain, menganggap nilai uang yang kecil tidak berarti bagi konsumen. Ya, umumnya para konsumen tidak memprotes kembalian tersebut, bahkan mungkin tidak mengeceknya. Mereka diduga tidak enak juga menuntut kembalian uang receh.

Kalau pun secara sopan kasir menawarkan uang akan disumbangkan, lagi-lagi mungkin tak enak hati juga konsumen menolaknya. Potensi mempersoalkan ke ranah hukum pun juga kecil, mempertimbangkan tenaga, waktu, dan biaya yang akan terkuras.

Dapat disimpulkan, posisi tawar pihak penjual lebih besar.

Menghargai Konsumen

Perilaku konsumen yang seperti itu semestinya tidak menggugurkan kewajiban mini market modern untuk memberikan pengembalian receh. Tidak juga dimanfaatkan untuk menawarkan uang receh agar disumbangkan.

Jadi idealnya, uang receh tetap dikembalikan. Kalaupun mini market akan menghimpun dana untuk bantuan sosial, sebaiknya mereka menyediakan kotak sumbangan. Terserah konsumen akan membawa uang koinnya pulang atau memasukan sendiri ke kotak tersebut.

Cara seperti itu lebih elegan, memberikan kenyamanan pada konsumen, dan yang terpenting, menjaga keikhlasan konsumen ketika menyisihkan uang.

Lebih lanjut, dalam hal penghimpunan dana dari uang kembalian untuk kegiatan sosial, transparansi penyalurannya harus dikedepankan. Mini market modern wajib mengumumkan ke publik penyaluran dana tersebut. Selain itu, setiap pemberian bantuan harus mengatasnamakan bantuan dari konsumen, bukan hanya menampilkan nama perusahaan waralabanya.

Membayar Non-Tunai

Permasalahan kembalian uang receh tidak akan muncul jika pembayaran dilakukan secara non tunai. Mini market modern umumnya sudah menyediakan berbagai instrumen pembayaran elektronik.

Hal penting yang patut menjadi perhatian di sini adalah, kemauan petugas toko menawarkan alternatif pembayaran non tunai kepada konsumen. Terutama, ketika mereka mengetahui minim atau tidak adanya persediaan uang receh.

Dari pengalaman pribadi, hal semacam itu jarang dilakukan. Bisa jadi, penjual bermaksud memberikan kenyamanan kepada konsumen untuk menentukan sendiri cara pembayarannya. Sayangnya, jika telah dibayar tunai dan tak ada kembalian, petugas tidak sungkan menawarkan kembalian guna disumbangkan, tanpa mempertimbangkan kenyamanan konsumen.        

Sekarang, instrumen pembayaran non tunai sudah banyak. Jika dulu instrumen kartu kredit atau debit ada batasan transaksi (biasanya minimal Rp20.000,00-Rp50.000,00), sekarang pembayaran se-rupiah pun bisa diproses secara non tunai dengan QRIS. Tidak ada lagi alasan pembayaran tidak bisa dilakukan secara non tunai.

Pengelola mini market waralaba perlu pula memastikan bahwa setiap kasirnya mengetahui cara menerima pembayaran non-tunai.

Begitulah pandangan saya mengenai persoalan "receh" uang receh ini. Meski receh, tidak patut menganggapnya hal remeh. Berapapun jumlah nominalnya, pihak mini market tetap wajib menghormati, menghargai, dan memenuhi hak konsumen.      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun