Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agamawan Cetek Ilmu dan Gagap Khilafiyah

13 Januari 2019   09:53 Diperbarui: 13 Januari 2019   10:05 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Khilafiyah. || Sumber gambar: Instagram SadbutHighKlub.

Kemarin siang, salah satu dosen pasca mengakhiri perkuliahan untuk semester awal di pondok pesantren yang baru beliau akan rintis di daerah Semarang, Beringin lebih tepatnya. Sebelumnya saya mau cerita dengan sosok yang satu ini, beliau bagian dari pentolan pimpinan wilayah salah satu organisasi besar Islam di Jawa Tengah. 

Beliau memulai kuliah yang dengan bercerita mengapa memasang dua tokoh pendiri organisasi Islam di Indonesia, beliau berkeinginan untuk memberikan alternatif pandangan dari persoalan khilafiyah yang seringkali terjadi di masyarakat awam, ibarat tidak mau menjadi api dalam sekam untuk kian membuat api pembeda yang besar. 

Jika kita membuka lembar sejarah Islam dari diutusnya Nabi Muhammad sampai sekarang ini, tentu ada beragam macam bentuk khilafiyah yang eksis di tengah masyarakat. Selama ini pemahaman mayoritas masyarakat memandang persoalan khilafiyah akan menjerumuskan kepada perpecahan dalam tubuh sebuah komunitas. 

Oleh karena itu, mereka dengan sekuat tenaga cenderung untuk menghindari diskusi yang berkaitan dengan persoalan khilafiyah, padahal kalau kita amati secara cermat dan seksama, persoalan khilafiyah bukan seharusnya dihindari, melainkan justru perlu dipelajari dengan baik dan berimbang. 

Kita bisa mengambil contoh dari sebuah kasus dimana hukum dari sebuah persoalan yang masih menjadi perdebatan para ulama, karena memang teks agamanya memungkinkan terjadinya beberapa opsi kesimpulan, maka ketika ada orang yang memilih salah satu opsi pendapat tersebut, tentu tidak akan dikenai sanksi oleh aturan agamanya. 

Kita masih menemukan pendapat ulama yang membolehkan ketika ada persoalan yang diharamkan oleh ulama yang lain dengan konsekuensi bangunan nalar hukum yang dibangunnya. Kedua opsi pendapat dari persoalan khilafiyah tadi sudah melalui proses berpikir dan berijtihad, besar kemungkinan karena teks agama yang memunculkan berbagai opsi pemahaman. 

Akan berbeda kasus jika ada sebagian masyarakat yang belum memiliki kapabilitas untuk memahami menggali hukum khilafiyah, tentu akan besar ketidak mengertian pemahamam teks agamanya tersebut. 

Tentu ketika dalam posisi tersebut, kewajiban kita adalah mengikuti dengan ilmu pemahamam ulama tersebut, seandainya pendapat ulama tersebut melenceng dari kebenaran, ia masih menerima satu imbalan pahala dari proses berpikir dan bergumentasinya. 

Allah tidak berfirman untuk bertanyalah kepada orang yang pasti benar dalam ijtihadnya, namun hanya memerintahkan untuk bertanya kepada ahlinya, yaitu ulama atau agamawan yang diakui kapasitas dan kredibilitasnya. 

Terkadang kasus khilafiyah terkadang muncul dan merugikan elemen masyarakat, sebagai contoh khilafiyah yang disertai dengan perasaan sombong, merasa benar sendri dan mencap liyan sebagai kelompok yang patut diberantas. 

Tentu sikap merasa diri paling benar dan paling dekat dengan Tuhan adalah sikap seorang yang kurang ilmu dan kurang tawadhu' dalam diri. 

Merasa hanya dirinya saja yang punya kebenaran, sementara pendapat liyan dianggapnya bertentangan harus diserang dengan kata yang kasar dan merendahkan serta menghinakan martabat orang lain di khalayak publik. Menunjuk orang lain bebal, padahal bebalnya telah mengerak dalam diri. 

Dalam keadaan sosial Indonesia akhir-akhir ini, kita disuguhkan dengan fenomena agamawan cetek yang mengatakan pendapat berseberangan dengan pakar dan bukan dalam tataran ilmu yang ia kuasai, tentu ini adalah bentuk khilafiyah yang tidak memiliki acuan dasar dan mengandalkan asumsi cocoklogi yang ia ketahui saja. 

Agamawan seharusnya mawas diri dan mengoreksi pendapat sebelum dilontarkan, bukan hanya sibuk memproduksi berita bohong. Padahal agamawan tersebut jauh dari disiplin ilmu yang benar. 

Berbeda pendapat bahkan berdebat kusir sementara dirinya bukan ahli di bidang tersebut adalah sebuah kekonyolan maha konyol belaka, teramat sayang waktu kita terbuang untuk meladeni orang yang setengah ilmu namun sudah mendaku diri agamawan. 

Fenomena seperti itu sering terjadi lantaran fanatisme buta dan buah dari asal ngikut bukan pada tempatnya. Kalau agamawan bilang langit itu hijau, maka muridnya akan bilang hijau, walau pun langit itu biru. 

Maka asal ngikut tidak karuan kepada agamawan adalah sebuah kesalahan dalam bersikap diri. Ia tidak memiliki piranti untuk menguji pendapatnya, benar atau keliru. Begitu juga dalam tataran beragama, Mazhab fiqih bukanlah pecahan kelompok melainkan ia adalah cara berpikir yang sangat diperlukan dalam memahami teks- teks agama yang bertebaran. 

Jargon untuk kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah memang mudah untuk diucapkan, tetapi dalam kenyataannya tentu banyak masalah yang muncul dan tidak terpikirkan sebelumnya. 

Setiap orang tentu memiliki versi keagamaan, ini tentu akan semakin sangat banyak versi pemahaman yang muncul dan tentu mereka akan berimprovisasi sendiri-sendiri dalam memahami serta berpegang kepada Al-Qur'an dan Sunnah. 

Kemunculan aliran yang melenceng dari koridor Islam adalah bukti tidak adanya sistem menggali hukum yang baku dalam menarik kesimpulan hukum yang benar dari Al-Quran dan sunnah, mereka akan selalu mengklaim bahwa mereka merujuk kepada Quran dan sunnah. 

Oleh karena itu, amat dibutuhkan cara berpikir dalam menggunakan teks keagamaan yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunnah, agar hasilnya tidak bertentangan dengan esensi dari keduanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun