Kemarin siang, salah satu dosen pasca mengakhiri perkuliahan untuk semester awal di pondok pesantren yang baru beliau akan rintis di daerah Semarang, Beringin lebih tepatnya. Sebelumnya saya mau cerita dengan sosok yang satu ini, beliau bagian dari pentolan pimpinan wilayah salah satu organisasi besar Islam di Jawa Tengah.Â
Beliau memulai kuliah yang dengan bercerita mengapa memasang dua tokoh pendiri organisasi Islam di Indonesia, beliau berkeinginan untuk memberikan alternatif pandangan dari persoalan khilafiyah yang seringkali terjadi di masyarakat awam, ibarat tidak mau menjadi api dalam sekam untuk kian membuat api pembeda yang besar.Â
Jika kita membuka lembar sejarah Islam dari diutusnya Nabi Muhammad sampai sekarang ini, tentu ada beragam macam bentuk khilafiyah yang eksis di tengah masyarakat. Selama ini pemahaman mayoritas masyarakat memandang persoalan khilafiyah akan menjerumuskan kepada perpecahan dalam tubuh sebuah komunitas.Â
Oleh karena itu, mereka dengan sekuat tenaga cenderung untuk menghindari diskusi yang berkaitan dengan persoalan khilafiyah, padahal kalau kita amati secara cermat dan seksama, persoalan khilafiyah bukan seharusnya dihindari, melainkan justru perlu dipelajari dengan baik dan berimbang.Â
Kita bisa mengambil contoh dari sebuah kasus dimana hukum dari sebuah persoalan yang masih menjadi perdebatan para ulama, karena memang teks agamanya memungkinkan terjadinya beberapa opsi kesimpulan, maka ketika ada orang yang memilih salah satu opsi pendapat tersebut, tentu tidak akan dikenai sanksi oleh aturan agamanya.Â
Kita masih menemukan pendapat ulama yang membolehkan ketika ada persoalan yang diharamkan oleh ulama yang lain dengan konsekuensi bangunan nalar hukum yang dibangunnya. Kedua opsi pendapat dari persoalan khilafiyah tadi sudah melalui proses berpikir dan berijtihad, besar kemungkinan karena teks agama yang memunculkan berbagai opsi pemahaman.Â
Akan berbeda kasus jika ada sebagian masyarakat yang belum memiliki kapabilitas untuk memahami menggali hukum khilafiyah, tentu akan besar ketidak mengertian pemahamam teks agamanya tersebut.Â
Tentu ketika dalam posisi tersebut, kewajiban kita adalah mengikuti dengan ilmu pemahamam ulama tersebut, seandainya pendapat ulama tersebut melenceng dari kebenaran, ia masih menerima satu imbalan pahala dari proses berpikir dan bergumentasinya.Â
Allah tidak berfirman untuk bertanyalah kepada orang yang pasti benar dalam ijtihadnya, namun hanya memerintahkan untuk bertanya kepada ahlinya, yaitu ulama atau agamawan yang diakui kapasitas dan kredibilitasnya.Â
Terkadang kasus khilafiyah terkadang muncul dan merugikan elemen masyarakat, sebagai contoh khilafiyah yang disertai dengan perasaan sombong, merasa benar sendri dan mencap liyan sebagai kelompok yang patut diberantas.Â