Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ibnu Rusyd dan Pemisahan Antara Filsafat dan Agama

1 Oktober 2018   08:24 Diperbarui: 1 Oktober 2018   08:28 1618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jika ingin mendulang suara dari orang2 jahil, tutuplah kebatilan dengan bungkus agama_Ibnu Tusyd || Sumber gambar: Twitter Islamidotco

Semua muslim meyakini Al-Quran sebagai sumber dasar ajaran islam, syariat terakhir yang memberi petunjuk arah hidup manusia. Berdasarkan pernyataan tersebut, umat islam berkewajiban untuk mempelajari, memahami, dan mengamalkan agama islam. Kita tidak hanya berharap selamat menjalani hidup di dunia, namun juga meraih kebahagian sejati di akhirat kelak. Meski demikian, keyakinan saja tidak mencukupi. Al-Quran sebagai petunjuk tidaklah proaktif memberikan petunjuk layaknya manusia. Manusialah yang bertanggung jawab memberikan dan membuat  Al-Quran aktif berbicara sehingga ia berfungsi sebagai petunjuk.

Supaya Al-Quran proaktif memberikan petunjuk kepada umat manusia  ke arah jalan yang benar, para pemikir melakukan pembacaan terhadapnya untuk memperoleh pesan petunjuknya. Meski memiliki tujuan yang sama, pembacaan tersebut tidak lantas dengan sendirinya melahirkan pemahaman yang sama terhadap Al-Quran. Ketidaksamaan tersebut tidak saja disebabkan  perbedaan latar belakang sosial mereka, melainkan juga pendekatan yang dipakai dan ideologi yang dipakai. Dalam kesempatan kali ini, penulis berkesempatan untuk mengurai dan memberikan pemahaman tentang pendekatan filsafat yang digunakan Ibnu Rusyd dalam memahami ayat Al-Quran  

Ibnu Rusyd dan Karya

Ibnu Rusyd atau Averroes memiliki nama lengkap Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd al-Hafidz. Abu al-Walid adalah nama kunyah, dan al-Hafidz adalah nama laqab, karena itulah dia dikenal dengan Ibn Rusyd al-Hafidz. Beliau lahir sebulan sebelum kakeknya wafat. Ibnu Rusyd dilahirkan sebagai salah seorang filsuf Arab di Qordova pada tahun 520 H atau 1126 M dalam keluarga terhormat yang dikenal begitumemberi perhatian besar pada ilmu pengetahuan dan kajian.

Ibnu Rusyd memiliki karya setidaknya ada lima puluhan kitab, diantaranya: Bidayatul Mujtahid, al-Kulliyat fi at-Thibb, Mukhtashar al-Mustashfa, Syarah arjuzatu Ibn Sina, kitab al-Hayawan, Jawami Kutub Aristo, Tahafutu at-Tahafut, Minhajul Adillah, dan lain lain.  Ibnu Ruysd meninggal dunia Kira-kira pada 19 Shafar 595 H atau 1198 M. Beliau  menyumbangkan pemikiran yang cukup revolusioner dalam berbagai bidang keilmuan.

Pendekatan Filsafat dalam Memahami Al-Quran Ibnu Rusyd

Dalam proses sejarah telah memunculkan dua model pendekatan dalam memahami Al-Quran: Pertama, pendekatan yang memakai perangkat analisis yang berasal dari disiplin Islam, pendekatan ini biasanya dalam tradisi teologi, fiqh dan tasawuf. Kedua, pendekatan yang menggunakan perangkat dari luar disiplin Islam yang dipakai dalam filsafat.

Pemilahan model pendekatan ini didasarkan dari keyakinan sebagian umat Islam terhadap dikotomi ilmu antara syariat (agama) dan filsafat. Filsafat, bagi mereka bukan bagian dari  disiplin Islam bahkan merupakan perusak Islam. Sejak saat itu filsafat tersingkir dari disiplin keilmuan Islam dan seringkali para filsuf dituduh sebagai perusak syariat.

Filsafat berasal dari akar kata Yunani, filasufiyan yang terdiri dari dua kata: fila yang berarti mengutamakan dan sufia yang bermakna hikmah atau kebijaksanaan. Filasufiyan memiliki arti mencintai kebijaksanaan. Kemudian direduksi ke Arab dan menjadi failusuf, dari uraian tadi kita bisa mendefiniskan bahwa berarti ilmu tentang hakikat sesuatu dan beranak dengan sesuatu yang membawa kemaslahatan. Kata falsafah seringkali disamakan dengan kata hikmah. Keduanya bisa digunakan secara bergantian oleh filsuf muslim klasik. Kebiasaan lebih disebabkan mereka meyakini bahwa asal mula hikmah bersifat Illahiyyah.

Secara umum, pemikiran filsuf Ibnu Rusyd memiliki dua wilayah, dalam ranah pemikiran filsafat dan pemikiran keislaman. Pemikiran dalam filsafat muncul untuk mengkritik filsafat Aristoteles, agar mudah dipahami umat Islam dan menghindari kesalahpahaman atas filsafat. Sedangkan dalam ranah pemikiran keislaman, Ibnu Ruysd merumuskan metode/alat untuk menghubungkan antara syariat dan filsafat, dan pembacaannya atas Al-Quran sebagai basis argumentasinya.

Ibnu Rusyd menelusuri ayat Al-Quran dan menemukan bukti ayat yang menyerukan penggunaan akal untuk meneliti secara rasional argumentatif tentang realitas materil maupun nonmateril sebagai representasi dari kreasi Tuhan. Semakin mendalam pemahaman filsafat seseorang, semakin mendalam pula dia mengenal Tuhan karena realitas merupakan representasi dari kemurahan-Nya. Bagi Ibnu Rusyd, filsafat dan syariat ada dua entitas yang berdiri sendiri, namun keduanya menyatu dalam kebenaran. Kebenaran tidak bertentangan dengan kebenaran lain, namun selalu mencocokinya dan bahkan menjadi saksi atasnya.

Ibnu Rusyd memandang bahwa hubungan akal dengan wahyu dalam membahas suatu masalah bersifat saling melengkapi. Ibnu Rusyd menggunakan metode filsafat dalam membaca Al-Quran sebagai sumber agama. Di sisi lain, relasi akal dan wahyu melahirkan pembagian  yang saling mendukung satu sama lain.

Ada wilayah tertentu yang hanya dibahas oleh wahyu, ada pula wilayah yang  dibahas oleh akal dan wahyu, dan ada pula wilayah yang tidak dibahas oleh wahyu tetapi oleh akal. Terhadap yang pertama, akal harus bertumpu pada wahyu, seperti sesuatu yang prinsipil, terhadap yang kedua, keduanya adakalanya mengambil kesimpulan yang sama dan adakalanya tidak sama. Jika keduanya megambil kesimpulan yang sama tidak ada masalah. Jika wahyu dan akal bertentangan, di situlah takwil boleh digunakan. Terhadap yang ketiga, akal bebas melakukan pengembaraan guna mencari kebenaran tanpa terikat oleh wahyu.

Aplikasi dan Relevansi Pendekatan Filsafat dalam Memahami Al-Quran

Al-Quran sebagai legislasi Tuhan yang diperuntukkan bagi manusia, menurut Ibnu Rusyd memiliki dua makna: Pertama, makna lahir yang dikhususkan  bagi masyarakat awam, makan tersebut dihasilkan dan dipahami dengan metode retorika dan dialektika. Kedua, makna batin yang dikhususkan bagi masyarakat terpelajar yang bisa dipahami dengan metode demontratif.

Namun acapkali muncul perbedaan antara makna Al-Quran dengan filsafat. Hal tersebut hanya berkaitan dengan ungkapan, bukan esensi. Perbedaan tersebut muncul antara aspek lahiriah Al-Quran dengan argumen demonstratif filsafat, bukan antara argumen demonstratif Al-Quran dengan argumen demonstratif filsafat. Ibnu Rusyd menawarkan interpretasi tawil bayani dimana ia menggunakan takwil khas Arab dalam memahami ayat tertentu dalam memahami Al-Quran. Metode ini dalam pandangan Ibnu Rusyd sebagai alat untuk menemukan kebenaran yang meyakinkan. Definisi takwil yang ditawarkan oleh Ibnu Rusyd sebagai upaya untuk mengeluarkan makna suatu lafadz dari makna yang  haqiqi ke makna metaforik. dengan tetap berpijak pada kebiasaan bahasa Arab dalam membuat metafor.

Contoh kebiasan bahasa Arab, misalnya seuatu dengan sesuatu yang menyerupai, yang terkait dengannya, qarinah-qarinah-nya, atau karena hal-hal lain yang sebagaimana tercakup dalam pembahsan berbagai jenis ungkapan metaforik.

Ibnu Rusyd berusaha memadukan filsafat dan agama dengan merujuk pada metode takwil sebagai pijakan penyelesaian kesan pertentangan antara keduanya. Sejalan dengan filsafatnya, teori pembacaan Ibnu Rusyd terhadap Al-Quran berbentuk kritik. Kritik tersebut diarahkan kepada aliran Zhahiriah, khususnya yang menolak penggunaan takwil. Dengan komitmen seperti itu, wajar jika Ibnu Rusyd memandang aliran Zhahiri tidak rasional sehingga pemahaman aliran ini pantas mendapatkan kritik.

Tujuan pembacaan Ibnu Rusyd terhadap Al-Quran menurut pandang al-Jabiri adalah untuk menemukan maksud Tuhan sebagai pemilik teks. Maksud Tuhan dalam pandangan Ibnu Rusyd adalah penekanan ajaran Tuhan pada masyarakat awam tanpa menafikan kaum terpelajar, filsuf. Hal ini tidak berimplikasi bahwa Ibnu Rusyd menganut pandangan kebenaran ganda, namun hal ini adalah perwujudan dari hadis Nabi agar dakwah disampaikan sesuai dengan keadaan orang yang menjadi sasaran dakwah. Oleh karena itu, pendekatan yang ditawarkan oleh Ibnu Rusyd adalah kebijaksaan demonstratif, karena ia menawarkan wacana syariat pada masyarakat sesuai dengan kemampuan masyarakat itu sendiri.

Ibnu Rusyd membagi metode berpikir menjadi beberapa bagian, yakni metode berpikir retorika  yang cocok buat masyarakat awam dan metode berpikir rasional yang cocok buat kaum terpelajar dan kelompok ahli yang menggunakan metode dialektika. Penggunaan metode retorika bagi masyarakat awam sangat relevan mengingat mereka mempunyai kesiapan pemikiran yang relatif lemah dibanding yang lannya. Metode retorika tidak terlalu mengandalkan kemampuan rasio. Berbeda dengan metode demonstratif, ia dapat mengantarkan kalangan terpelajar untuk mengetahui kebenaran yang meyakinkan. Metode yang berasal dari prinsip berpikir rasional murni, yang berangkat dari realitas indrawi, alam menuju realitas non-indrawi Tuhan dan bersifat analitis.

Ibnu Rusyd memandang filsafat sebagai cara untuk mempelajari dan merenungi maujud.

Ada dua kata kunci yang harus dibedakan yakni kata maujud dan wujud. Dua kata ini penting dibedakan, sebab keduanya menunjuk pada substansi makna yang berbeda. Kata maujud menunjuk pada sesuatu yang ada, sementara kata wujud menunjuk pada aspek aksistensi. Maujud memiliki dua bentuk, yaitu; maujud hakiki, maujud yang adanya tidak

bergantung pada selain dirinya, dan maujud aksiden, suatu maujud yang adanya

bergantung pada selain dirinya. Jika mengikuti kategori kedua ini, maka maujud

yang dimaksud Ibnu Rusyd tampaknya adalah selain pencipta atau yang dalam

terminologi kalam disebut alam, sebab pengetahuan tentang ciptaan akan mengantarkan seseorang mengetahui Tuhannya. Dia mengembangkan argumen analogis, yaitu argumen filsafat yang berpijak pada realitas alam aktual menuju realitas alam potensial. Semakin mendalam pemahaman filosofis seorang terhadap alam aktual, semakin mendalam pula dia memahami Tuhan karena realitas aktual adalah representasi kreasi Tuhan.

Dari sisi alat untuk memahami maujud adalah akal. Filsafat adalah kerja akal, namun tidak semua kerja akal disebut filsafat. Kerja akal disebut berfilsafat jika dalam menggunakannya seseorang mengunakan metode berpikir yang memenuhi syarat-syarat logis pemikiran. Metode berpikir logis yang dimaksud dalam pandangan Ibnu Rusyd adalah qiyas demonstratif. Oleh Sebab itu, Ibnu Rusyd menganjurkan agar sebelum meyakini dan menggunakan metode qiyas demonstratif, seseorang harus mempelajarinya dengan teliti sehingga tidak mencampuradukkan antara qiyas demonstratif dan qiyas dialektika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun