Aku menyusuri senja yang tampaknya enggan tersenyum
Senja yang angkuh dalam benak batinku
Aku berjalan tertatih memegang dadaku
Yang terlanjur luka dan sesak
Jika nyatanya tak mampu dan kuat unutk menahannya keping hatiku
tercecer jatuh sedikit demi sedikit
Keping hatiku berserakan jatuh bak daun kering yang pergi
Meninggalkan rantingnya di hijaunya rumput sore itu
Adakah yang memiliki perekat?, tolong aku.
Hatiku tercecer.
Tak ada  yang peduli
Semua diam sambil memandangku yang tengah kesakitan.
Seperti itu dan seterusnya kejadian terulang hingga beberapa kali.
Aku butuh perekat, kau punya perekat?
Tanyaku pada perempuan yang sedang sibuk bermain dengan jemarinya
Perempuan tersebut lantas bertanya kepadaku  untuk apa?
Untuk merekatkan hatiku yang telah patah
Aku butuh perekat yang super kuat agar hatiku tak lagi retak
Tanpa berpikir panjang, perempuan itu memberikan hatinya untukku
Ya memang murni sebuah hati, bukan perekat seperti yang aku pinta
Hei, kau gila? Aku hanya butuh perekat. Mengapa kau malah memberiku seluruh hatimu? tanyaku keheranan.
Kau itu bukan butuh sebuah perekat
Namun kau butuh hati baru untik mengobati hatimu.
Percayalah, kau lebih membutuhkan ini, jawab perempuan tersebut
sambil menyodorkan sebuah hati merah pekat.
Aku pun merasakan hal yang sama
Diriku diam terpaku
Dan tak mampu berucap sepatah kata pun.
Memang benar,
Aku membutuhkan hatimu yang baru
Bukan sebuah perekat
Karena kini mengerti
Bahwa perekat hanya penyembuh sementara
Pada luka yang tergores terlalu dalam
Biarlah aku berandai
Untuk hal yang seindah itu