Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Politik Damai ala Mahatma Gandhi

21 Agustus 2018   09:14 Diperbarui: 21 Agustus 2018   09:42 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepemimpinan memang menjadi isu paling urgen tiap kali proses pemilihan umum terjadi, tak terkecuali di Indonesia akhir-akhir ini. Isu tentang kepemimpinan selalu mendaptkan tempat di hati masyarakat, selalu menjadi isu yang tidak pernah padam. 

Di tangan seorang pemimpin segala kebijakan dan arah bangsa kita ke depan ditampukkan. Mungkin karena itulah, berbondong orang mendampuk dirinya sendri menjadi pemimpin, semisal sudah menjadi bos media massa masih saja mendirikan partai sendiri dimana lagu mars partai diulang ratusan kali di media massa yang ia pimpin.

Salah seorang pemimpin besar kelas dunia yang perlu kita ambil teladan adalah Mahatma Gandhi (1869-1948), pemimpin revolusi India. Gandhi dianggap masalah bagi pemerintahan Inggris karena dasar pergerakannya selalu berseberangan dengan kolonial. Bagi bangsanya, Gandhi dikenal sebagai guru yang bijak selain pemimpin yang arif. Karena itulah ia diberi predikat Mahatma yang artinya jiwa agung.  

Gandhi terlahir dengan nama Mohandas Karamchand Gandhi di negara bagian Gujarat, India pada 2 Oktober 1869. Keluarga Gandhi adalah penganut Hindu yang cukup konservatif. 

Pada saat remaja ia dikirim oleh keluarganya untuk mengenyam pendidikan di sebuah universitas di Inggris. Setelah lulus, dan ia menjadi pengacara, Gandhi pergi ke Afrika Selatan yang pada saat itu masih menjadi koloni Inggris.

Kehidupan di Afrika Selatan ini membuat Gandhi tersadar akan ketimpangan antara pribumi dan pendatang yang kolonial. Di negeri ini Gandhi mengalami diskriminasi ras yang dikenal dengan apartheid. Karena itulah, di masa-masa ini Gandhi mengalami permenungan dan akhirnya memilih kembali ke tanah airnya karena alasan itu. Gandhi ingin mengabdikan dirinya untuk membebaskan tanah airnya dari kolonialisme Inggris.

Keluar dari Zona Aman

Meskipun menjalani kehidupan yang cukup mapan dan terpandang di Afrika Selatan, tetapi Gandhi memilih untuk kembali ke India, tanah kelahirannya. 

Gandhi kembali ke negeri yang kini dikenal dengan film bollywoodnya itu setelah selesai perang dunia pertama atau tepatnya tahun 1917. "Terimakasih atas penyambutan ini semua," pidato singkat Gandhi setelah turun dari kapal disambut oleh para pendukungnya.

Pidato yang cukup singkat itu mencerminkan Gandhi bukanlah tokoh yang ingin menjual janji dan berorientasi kekuasaan. Apalagi, Gandhi menyadari dirinya tidak mengerti betul dengan kondisi nyata negerinya karena ia bertahun-tahun tinggal di luar negeri.

Dengan sikapnya yang ramah, merakyat, konsisten, dan bahkan inklusif, dengan mudah Gandhi merangkul rakyat India dari berbagai kepentingan dan golongan. Maka didampuklah Gandhi sebagai seorang pemimpin, pejuang, dikenal senagai bapak revolusi India, dan guru yang bijak.

Bangkit dari Keterpurukan

Bukanlah perkara mudah untuk meyakinkan rakyat India melakukan perubahan demi membangun negerinya sendiri dan terlepas dari banyang-bayang koloni. Tetapi dengan kesabaran dan konsistensi perjuangannya, akhirnya Gandhi mampu meraih dukungan luas dari rakyat India. Gandhi membuktikan dirinya sebagai seorang motivator sekaligus guru yang bijak dengan ajaran-ajarannya.

Pertama, ahimsa. Melawan segala bentuk kekerasan, diskriminasi, penindasan dan sebagainya dengan rasa cinta dan damai. Menurut Gandhi, kedamaian adalah cara paling arif untuk mencegah dan mengurangi kekerasan ataupun diskriminasi. Kekerasan yang dilawan dengan kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan yang baru.

Jikalau api dibalas dengan api, buka padam yang terwujud melainkan keduanya sama hancur lebur. Kita ambil contoh kasus yang akhir-akhir ini terjadi tentang pelarangan penggunaan atribut atau simbol agama tertentu, baca tompi santaklaus, seharusnya ormas tertentu jangan pake ngotot segala buat memberantas itu semua apalagi sampai rusuh dengan petugas berwajib, nyatanya berkeyakinan dan beragama adalah ranah privasi seseorang, tidak usah memaksakan satu warna dengan kalian. Lihat saja pelangi, dia indah karena banyak warna yang menyusunnya, bukan satu warna saja.

Kedua, satyagraha; ajaran memegang teguh pada kebenaran dan keadilan. Bagi Gandhi, jiwa yang akan selamat di dunia adalah mereka yang tidak tergoyahkan dalam memperjuangkan sesuatu yang dianggap benar meskipun berbagai rintangan, tantangan, dan hambatan menghadang. Dalam sosok Gandhi, keteguhan ini benar-benar tercermin.

Dalam ibarat jawa " wong jujur bakale uripe mujur" orang yang berlaku jujur dalam segala hal, kehidupan yang ia jalani akan tentram dan beruntung. Walau terkadang niatan untuk berlaku bohong dan curang selalu muncul. Manusia memiliki kecenderungan untuk mencari yang jujur karena fitrah-nya manusia seperti itu dan berlaku dalam segala lini kehidupan manusia.

Al- Quran menggambarkan kebenaran bagai air yang berada di bawah buih yang banyak, walau dari permukaaan yang kelihatannya hanya buih [baca; keburukan], pada saatnya nanti air akan menampakkan wujudnya, segar menyegarkan dan buih pun menghilang. 

Masyarakat yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan pada awalnya akan tertindas, namun kalau mereka memperjuangkan keadilan yang dirampas oleh orang lain dengan gigih, kebenaran dan kebenaran akan memenangi pertempuran itu.

Ketiga, swadesi; ajaran untuk tetap mandiri. Bagi Gandhi, kemandirian sebagai sebuah bangsa harus dikedepankan agar tidak mengekor kepada bangsa atau "kekuatan" lain. Kemandirian ini perlu diwujudkan dengan memenuhi kebutuhan sendiri di dalam negeri yang dalam konteks ini adalah India.

Sebagai seorang muslim harusnya berdikari terhadap kemampuan yang ia miliki, karena muslim yang kuat lebih dicintai oleh Allah daripada muslim yang lemah. Bagaimana bisa membantu saudara yang susah dan kekurangan, kalau dirinya saja masih susah dan serba kekurangan. Muslim itu harus kaya, kaya hati dan materi.

Jikalau muslim memiliki kekuatan sendiri, tidak perlu berpangku tangan dengan uluran tangan orang lain. Muslim yang sejati tidak memiliki mental memnita apalagi mental proposal, mengubah dari meminta menjadi memberi.

Epilog

Hingga saat ini, ajaran Gandhi ini diterapkan di India untuk melakukan pembenahan-pembenahan khususnya pasca kolonialisme. Karenanya sangat wajar jika India saat ini mulai diperhitungkan dalam kancah internasional karena kemajuan-kemajuan yang dicapai.

Akhir kata, muslim yang muslim adalah mereka yang tidak berjihad sebelum harga diri islam dilecehkan, muslim yang membela keadilan dari ranah terkecil, adil sejak dalam pikiran kata Pramoedya Ananta Toer. Dan mereka yang mampu menyokong kebesaran islam dengan kaki dan tangan mereka sendiri.

Melawan dengan Damai

Mungkin Gandhi telah lama meninggalkan dunia ini, tetapi semangat, perjuangan, dan ajarannya akan tetap relevan hingga kini (dan masa depan). Kedamaian, kebenaran, dan kemandirian merupakan inti dari kebijaksanaan yang perlu dikembangkan oleh setiap pemimpin di dunia, tak terkecuali pemimpin bangsa ini.  

Jika setiap pemimpin "berbicara" tidak dengan kekerasan, maka otoritarianisme tidak akan pernah terjadi. Seandainya pula seorang pemimpin berpegang teguh pada kebenaran, maka korupsi, suap, penjualan hukum, dan lain sebagainya tidak akan pernah pula bercokol kuat. Dan kemandirian akan diperoleh oleh sebuah bangsa yang percaya akan dirinya sendiri sehingga tidak mudah diatur oleh negara lain yang artinya dijajah.

Dalam kacamata poskolonialisme, penjajahan atau kolonialisme tidak hanya bergerak dalam wilayah yang militeristik, tetapi juga dalam cara pandang, pola nalar, persepsi masyarakat terhadap sesuatu (Ania Loomba: 2000). Hal itulah yang sepertinya ditentang habis-habisan oleh Gandhi, terutama dengan ajaran kemandiriannya. Sehingga Gandhi sebenarnya ingin berbicara atas nama subaltern (subjek yang tertekan) agar bangsanya dapat mengonstruksi peradaban dan sejarahnya sendiri; tanpa kolonialisasi bangsa lain atau hegemoni kelompok pribumi "mayoritas" (Leela Gandhi: 2006).

Gandhi mengajarkan kepada kita bahwa sikap anti kekerasan, berpegang teguh pada kebenaran, dan kemandirian dengan kesederhanaan akan dengan sendirinya meruntuhkan sendi-sendi kolonialisme. Namun setiap perjuangan tetap membutuhkan pengorbanan sebagaimana yang terjadi pada Gandhi.

Hari itu, 30 Januari 1948, ketika Gandhi sedang berpidato di New Delhi, secara tiba-tiba seorang lelaki menembakkan tiga peluru ke tubuhnya yang ringkih. Seketika tubuh Gandhi tersungkur dan dikerumuni oleh banyak orang. Dan, hari itu Bapak revolusi India telah tiada. Tidak hanya India yang menangis, tetapi seluruh dunia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun