Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Politik Damai ala Mahatma Gandhi

21 Agustus 2018   09:14 Diperbarui: 21 Agustus 2018   09:42 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai seorang muslim harusnya berdikari terhadap kemampuan yang ia miliki, karena muslim yang kuat lebih dicintai oleh Allah daripada muslim yang lemah. Bagaimana bisa membantu saudara yang susah dan kekurangan, kalau dirinya saja masih susah dan serba kekurangan. Muslim itu harus kaya, kaya hati dan materi.

Jikalau muslim memiliki kekuatan sendiri, tidak perlu berpangku tangan dengan uluran tangan orang lain. Muslim yang sejati tidak memiliki mental memnita apalagi mental proposal, mengubah dari meminta menjadi memberi.

Epilog

Hingga saat ini, ajaran Gandhi ini diterapkan di India untuk melakukan pembenahan-pembenahan khususnya pasca kolonialisme. Karenanya sangat wajar jika India saat ini mulai diperhitungkan dalam kancah internasional karena kemajuan-kemajuan yang dicapai.

Akhir kata, muslim yang muslim adalah mereka yang tidak berjihad sebelum harga diri islam dilecehkan, muslim yang membela keadilan dari ranah terkecil, adil sejak dalam pikiran kata Pramoedya Ananta Toer. Dan mereka yang mampu menyokong kebesaran islam dengan kaki dan tangan mereka sendiri.

Melawan dengan Damai

Mungkin Gandhi telah lama meninggalkan dunia ini, tetapi semangat, perjuangan, dan ajarannya akan tetap relevan hingga kini (dan masa depan). Kedamaian, kebenaran, dan kemandirian merupakan inti dari kebijaksanaan yang perlu dikembangkan oleh setiap pemimpin di dunia, tak terkecuali pemimpin bangsa ini.  

Jika setiap pemimpin "berbicara" tidak dengan kekerasan, maka otoritarianisme tidak akan pernah terjadi. Seandainya pula seorang pemimpin berpegang teguh pada kebenaran, maka korupsi, suap, penjualan hukum, dan lain sebagainya tidak akan pernah pula bercokol kuat. Dan kemandirian akan diperoleh oleh sebuah bangsa yang percaya akan dirinya sendiri sehingga tidak mudah diatur oleh negara lain yang artinya dijajah.

Dalam kacamata poskolonialisme, penjajahan atau kolonialisme tidak hanya bergerak dalam wilayah yang militeristik, tetapi juga dalam cara pandang, pola nalar, persepsi masyarakat terhadap sesuatu (Ania Loomba: 2000). Hal itulah yang sepertinya ditentang habis-habisan oleh Gandhi, terutama dengan ajaran kemandiriannya. Sehingga Gandhi sebenarnya ingin berbicara atas nama subaltern (subjek yang tertekan) agar bangsanya dapat mengonstruksi peradaban dan sejarahnya sendiri; tanpa kolonialisasi bangsa lain atau hegemoni kelompok pribumi "mayoritas" (Leela Gandhi: 2006).

Gandhi mengajarkan kepada kita bahwa sikap anti kekerasan, berpegang teguh pada kebenaran, dan kemandirian dengan kesederhanaan akan dengan sendirinya meruntuhkan sendi-sendi kolonialisme. Namun setiap perjuangan tetap membutuhkan pengorbanan sebagaimana yang terjadi pada Gandhi.

Hari itu, 30 Januari 1948, ketika Gandhi sedang berpidato di New Delhi, secara tiba-tiba seorang lelaki menembakkan tiga peluru ke tubuhnya yang ringkih. Seketika tubuh Gandhi tersungkur dan dikerumuni oleh banyak orang. Dan, hari itu Bapak revolusi India telah tiada. Tidak hanya India yang menangis, tetapi seluruh dunia!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun