Setelah seratus tahun bangsa ini menyusuri jalan-jalan terjal kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah saatnya seluruh komponen negeri ini bertobat dan kembali pada jati diri bangsa sebagaimana terkandung dalam Pancasila yang murni dalam arti yang sesungguhnya bukan murni versi rezim Orde Baru. Semangat kerakyatan, kebersamaan, keadilan sosial, dan kemandirian merupakan jati diri bangsa yang terbukti mampu mengusir kompeni. Itulah watak dasar bangsa ini. Bila dengan karakter bangsa kita telah mampu mengusir penjajah, mestinya dengan semangat yang sama kita mampu mengusir dampak negatif globalisasi.
Marilah kita ingatkan mereka yang saat ini mengawal nasib 200 juta rakyat. Kita tidak boleh menghanyutkan diri dalam arus globalisasi yang penuh gombalisasi itu. Kita harus tetap berdaulat dengan negeri kita sendiri yang didirikan oleh nenek moyang kita dengan penuh onak dan duri.
Tugas para pemimpin negeri hanya satu yakni membuat tangis rakyat menjadi senyuman, bukan sebaliknya. Bila para pemimpin adalah anak-anak negeri yang menghayati semangat kebangsaan, maka mereka tidak akan bertindak menyalahi hati nuraninya. Tapi bila mereka telah berubah menjadi pribadi yang hilang jati dirinya, maka mereka akan menghamba pada kekuatan neo-kolonialisme yang berwujud IMF, Bank Dunia, dan WTO itu. Kalau sudah begitu, percuma bangsa ini memiliki negara dan pemerintahan.
Untuk menggambarkan pentingnya jati-diri bangsa, penulis kutipkan perkataan rektor yang mewisuda Bung Karno menjadi sarjana teknik sipil di Bandung. Sang rektor berkata,"Ir Soekarno, ijasah ini dapat robek dan hancur menjadi abu disatu saat. Ia tidak kekal. Ingatlah, bahwa satu-satunya kekuatan yang bisa hidup terus dan kekal adalah karakter dari seseorang. Ia akan tetap hidup dalam hati rakyat, sekalipun sesudah mati." Bila bangsa ini tak kembali kepada karakternya, maka ia akan hancur menjadi abu karena gelombang globalisasi yang penuh dengan gombalisasi itu.
Bangun Etos Kerja Bangsa
Kekayaan bumi sesungguhnya banyak terletak di belahan bumi bagian selatan daripada belahan bumi bagian utara. Indikator yang paling mudah adalah minyak.
Kandungan minyak banyak terletak di bumi bagian selatan. Negara penghasil minyak terbesar dunia adalah Arab Saudi dan Iraq yang keduanya terletak di bumi bagian selatan. Namun demikian, entah mengapa kemakmuran bumi justru terlihat di belahan utara bumi. Negara-negara maju banyak terletak di bumi bagian utara. Sebaliknya negara-negara miskin banyak bertebaran di bumi bagian selatan.
Entah ada kaitannya atau tidak, negara-negara miskin itu kebetulan dihuni oleh penduduk muslim yang jumlahnya mencapai seperlima penduduk bumi (sekitar satu seperempat milyar manusia). Pertanyaan yang pantas muncul adalah mengapa negara-negara yang kaya sumber daya alam itu justru miskin, dan mengapa negara-negara yang miskin sumber daya alam menjadi kaya?
Pertanyaan di atas, bisa dijawab dengan dua kata, yakni etos kerja. Diakui atau tidak, etos kerja bangsa-bangsa selatan memang berbeda dengan bangsa-bangsa utara. Bangsa-bangsa utara memiliki etos kerja yang tercerahkan (enlightened). Segalanya dilakukan dengan penuh perencanaan, target yang jelas, disiplin, dan evaluasi yang tegas sehinga perkembangannya jelas dan terukur. Sementara bangsa-bangsa selatan kurang memperhatikan semua itu.
Mereka lebih mempercayai keajaiban (miracle) atau keterlibatan tangan Tuhan dalam setiap kerjanya. Akibatnya, pencapaian kerja sulit diprediksi dan dievaluasi. Ketidakpastian prosedur dan proses sebuah kerja sering mendominasi. Dampak yang paling tampak adalah resiko dari sebuah kerja jarang diperhitungkan. Tidak jarang segala resiko diserahkan pada faktor nasib.
Etos kerja bangsa-bangsa selatan jelas bukan representasi dari agama mereka. Islam justru mengajarkan etos kerja yang dijalankan bangsa-bangsa utara. Bila kita ingin melihat bagaimana gambaran etos kerja yang dikehendaki Islam, cara yang paling mudah adalah melihat bagaimana etos kerja Nabi Muhammad. Â
Nabi Muhammad mengajarkan pada umatnya agar selalu meningkatkan kualitas hidupnya. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Dalam hal mengukir kesuksesan hidup, Nabi Muhammad adalah figur terbaik. Selama 23 tahun, ia bisa mengubah dunia Arab yang semula penuh dengan kekerasan dan keterbelakangan moral menjadi dunia yang maju untuk ukuran abad ke-7 M di Semenanjung Arab.
Kunci sukses perjalanan hidup Nabi bisa diringkas menjadi 5 macam yang merupakan etos kerjanya.
Pertama, kemandirian. Sebagai seorang nabi yang yatim piatu, perilaku hidup nabi sangat mandiri. Ia pantang bergantung pada siapapun. Sejak berumur 8 tahun, ia sudah menggembalakan kambing. Dengan menggembalakan kambing penduduk Makkah, ia mendapat upah.
Upah itu digunakannya untuk hidup mandiri, walaupun kebutuhan pokoknya masih ditopang oleh pamannya pasca meninggalnya sang kakek, Abdul Muthalib. Itu menunjukkan bahwa sejak kecil, nabi adalah pribadi yang mandiri. Kemandiriannya semakin tampak pada umur 9 tahun dan 25 tahun. Dalam usia 9 tahun, ia menemani pamannya, Abu Thalib, pergi ke Syria untuk berdagang. Sementara saat usia 25 tahun, ia sukses menjalankan bisnis Khadijah. Kesuksesannya dalam perdagangan merupakan buah dari kemandiriannya dalam hidup sejak kecil.
Sebagai bangsa, masyarakat Indonesia terlambat menyadari pentingnya kemandirian ini. Negeri yang sebenarnya kaya sumberdaya alam ini kini terjebak hutang akibat seringnya  bergantung pada dunia luar. Itulah yang membuat bangsa ini mengalami berbagai kesulitan.
Kedua, pengetahuan. Kerja berbasis pengetahuan merupakan etos kerja Nabi Muhammad. Sebagai seorang manusia biasa, nabi tidak pernah berhenti belajar. Sejak belum menjadi nabi, ia membaca lingkungan masyarakatnya yang suka menyembah patung. Ia tahu bahwa patung tak mampu berbuat apapun walaupun untuk dirinya sendiri. Di Gua Hira, ia banyak merenungkan fenomena masyarakatnya untuk menemukan kebenaran.
Kemauannya untuk terus belajar menyelamatkannya dari kejumudan dan kebodohan. Ia menjadi agent of change masyarakat Arab waktu itu. Pentingnya belajar inilah yang kemudian dirumuskan oleh Imam Syafii dalam sebuah syair waman lam yazuq zulla at-taallumi satan, tajarra zulla al-jahli thla haytihi (Barang siapa tidak mau merasakan pahitnya belajar dalam sejenak, ia akan terjerembab dalam getirnya kebodohan sepanjang hayatnya).
Kebodohan sudah terbukti dalam sejarah umat manusia hanya akan membuat hidup menjadi gelap dan akan membuat kehidupan semakin sulit. Tanpa berdasar pengetahuan, sebuah kerja hanya akan berakhir dengan kegagalan.
Ketiga, kerja keras. Nabi Muhammad bukanlah manusia pemalas. Hari-harinya dilalui dengan penuh kesibukan; mengurus keluarga, bisnis, ibadah, dan umat. Tanggung jawabnya sebagai nabi, rasul, dan pemimpin umat menuntutnya untuk bekerja keras sepanjang waktu.
Keempat, perhatian pada waktu (efektivitas kerja). Dalam bahasa orang sekarang, orientasi hemat waktu ini biasa diwujudkan dalam bentuk perencanaan (action plan). Dengan perencanaan yang baik, sebuah kerja bisa berjalan efektif. Orang Inggris bilang fail to plan, plan to fail (gagal dalam membuat rencana berarti merencanakan sebuah kegagalan).
Waktu sangat penting bagi hidup manusia. Manusia tidak boleh lengah dimakan waktu. Al-waqtu ka as-sayfi (waktu itu bagaikan pedang), begitulah kata pepatah. Fain lam taqthaha qathaaka (jika kamu tidak memotongnya, ia akan memotong kamu). Nabi Muhammad bisa mengukir sejarah karena pandai mengelola waktu.
Waktunya ditata serapi mungkin untuk ibadah, perang, kemasyarakatan, dan menjalankan usaha. Perencanaan yang baik merupakan etos kerja nabi dalam setiap aktivitasnya. Perencaanaan nabi yang matang dapat dilihat dalam perang-perang yang beliau lakukan. Walaupun tidak dikehendakinya, perang tetap dilaksanakan dengan penuh perencanaan. Â
Kelima, optimisme. Nabi selalu berpikir jauh ke depan. Ia tidak pernah nglokro apalagi putus asa. Pikirannya penuh cita-cita besar. Ia bukan pribadi yang berjiwa kerdil. Ia selalu menginginkan umatnya menjadi umat terbaik di muka bumi. Oleh karena itu, berbagai ajaran untuk selalu menatap masa depan dengan optimis banyak kita jumpai dalam ajaran Islam. Ayat-ayat Alquran seperti Yusuf: 87, al-Hijr: 56, dan al-Ankabut: 23 jelas mengecam putus asa bahkan menganggapnya sebagai perilaku orang tidak bertuhan.
Bangsa ini perlu memperbaiki etos kerjanya dengan meningkatkan 5 hal dan menjauhi 5 hal. Lima hal yang pertama adalah kemandirian, pengetahuan, kerja keras, kerja efektif (hemat waktu), dan optimis. Sementara lima hal yang kedua adalah lawan dari yang pertama, yakni ketergantungan, kebodohan, kemalasan, kerja inefektif (boros waktu), dan pesimis.
Meluasnya masalah bangsa seperti korupsi, kolusi, nepotisme, dan eksploitasi alam merupakan dampak dari akumulasi lima hal yang kedua. Akumulasi sikap ketergantungan pada orang lain, abai pada pengetahuan dan pendidikan, suka bermalas-malasan, suka kerja tidak efektif, dan biasa menjalani hidup dengan pesimis telah membuat bangsa ini miskin kesuksesan. Akibatnya, dalam berbagai lini kehidupan, eksistensi bangsa ini kian terancam.
Sudah semestinya bangsa ini meniru etos kerja bangsa-bangsa belahan bumi bagian utara. Mereka terbukti telah mampu menjalankan etos kerja sang nabi. Etos kerja sang nabi terbukti mampu memakmurkan bumi. Masih ada peluang sukses, wahai engkau ibu pertiwi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H