Setiap muslim pasti berkeinginan menunaikan rukun Islam yang kelima, yakni melaksanakan ibadah haji paling tidak sekali seumur hidup.
Pelaksanaan ibadah haji mempunyai beberapa syarat wajib yang harus dipenuhi, yakni: Islam, baligh, berakal, merdeka, dan mampu (istitho’ah).
Untuk itu, sebelum melaksanakan ibadah haji setiap jemaah perlu dipastikan telah memenuhi syarat istitho’ah, dari segi keuangan, kesehatan, serta terbebas dari gangguan keamanan dan wabah penyakit di sepanjang perjalanan.
Pelaksanaan haji dilakukan di Arab Saudi sehingga calon jemaah harus mampu menanggung ongkos perjalanan dan perbekalannya. Sebagian besar prosesi ibadah haji merupakan olah fisik yang memerlukan kebugaran dan kekuatan jasmani.Â
Beberapa rukun haji yang memerlukan kesiapan fisik, diantaranya: 1. Wukuf di padang Arafah; 2. Tawaf Ifadoh mengelilingi Ka’bah 7 putaran; dan 3. Sai yakni berjalan dan berlari kecil antara bukit Shofa dan Marwa sebanyak 7 kali.
Sedangkan wajib haji yang memerlukan kesiapan fisik, diantaranya, 1. Mabit di Musdhalifah dan Mina; 2. Melontar Jumrah Ula, Wustho, dan Aqabah; dan 3. Tawaf Wada ketika akan meninggalkan Mekah.
Selain itu, jika jemaah ingin melaksanakan amalan sunnah mengerjakan shalat fardhu lima waktu di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, mereka harus menyiapkan fisik berjalan kaki bolak balik dari pemondokan.
Berdasarkan data tahun 2019, profil jemaah haji kita sekitar 70% berusia lebih dari 60 tahun. Kondisi ini cukup memprihatinkan karena dalam melakukan prosesi haji sebagian mereka memerlukan pendampingan, serta rentan terhadap penyakit.
Untuk mengantisipasi jemaah haji yang sakit, pada musim haji tahun 2019 lebih dari 50 ton obat dan alat medis dikirimkan ke Arab Saudi.
Profil jemaah haji tersebut, beberapa tahun mendatang belum akan berubah mengingat saat ini sebagian terbesar pendaftar haji berusia di atas 40 tahun.
Untuk mendorong perubahan profil jemaah haji tersebut, diperlukan upaya yang terencana, terstruktur, dan sistematis, melalui kampanye perencanaan pemenuhan istitho’ah kesehatan dan istitho’ah keuangan.Â
Selain itu, perlu pula dilakukan kampanye untuk mendorong muslim yang sudah istitho’ah untuk segera mendaftar haji.
Upaya-upaya tersebut berkelindan dengan rencana Kerajaan Arab Saudi (KSA) untuk mencapai Visi Saudi 2030.
Perencanaan Kesehatan
Dalam perencanaan pemenuhan istitho’ah kesehatan, secara umum digunakan asumsi bahwa semakin muda seseorang akan semakin sehat dan siap secara fisik untuk melaksanakan seluruh prosesi ibadah haji secara mandiri.Â
Meskipun dalam realitasnya ada juga orang muda yang tidak lebih bugar secara fisik dibandingkan orang yang lebih tua. Anjuran untuk mendaftar haji selagi muda didasari pertimbangan masa tunggu haji yang semakin panjang dan lama.Â
Dengan menganalisa masa tunggu dan angka pertambahan pendaftar haji di daerahnya, seseorang akan dapat menetapkan target atau perkiraan pada usia berapa akan berangkat haji jika mendaftar pada waktu tertentu.
Dalam Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, diatur bahwa setiap WNI yang beragama Islam dapat mendaftar sebagai jemaah haji dengan membayar setoran awal dan menyerahkan salinan dokumen kependudukan yang sah. WNI yang sudah terdaftar akan diberangkatkan setelah memenuhi persyaratan.Â
Pasal 5 UU tersebut mengatur persyaratan keberangkatan yang meliputi: a. berusia paling rendah 18 tahun atau sudah menikah; b. memenuhi persyaratan kesehatan; c. melunasi Bipih; dan d. belum pernah menunaikan ibadah haji atau sudah pernah menunaikan ibadah haji paling singkat 10 tahun sejak menunaikan ibadah haji yang terakhir.
Pasal 5 Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU Nomor 8 Tahun 2019, mengatur persyaratan pendaftaran calon jemaah haji berusia paling rendah 12 tahun.Â
Ketentuan PMA tersebut mempersempit ketentuan dalam UU Nomor 8 Tahun 2019 yang memberi kesempatan bagi setiap WNI yang beragama Islam untuk mendaftar sebagai jemaah haji tanpa batasan usia minimal dan hanya mengatur batasan usia keberangkatan paling rendah 18 tahun atau sudah menikah.
Pengaturan dalam UU Nomor 8 Tahun 2019 tersebut senafas dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 002/Munas X/MUI/XI/2020 Tentang Pendaftaran Haji Saat Usia Dini, yang menyatakan bahwa pendaftaran haji pada usia dini untuk mendapatkan porsi haji hukumnya boleh (mubah), dengan syarat:
a. uang yang digunakan untuk mendaftar haji diperoleh dengan cara yang halal; b. tidak mengganggu biaya-biaya lain yang wajib dipenuhi; c. tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan; dan d. tidak menghambat pelaksanaan haji bagi mukallaf yang sudah memiliki kewajiban ‘ala al-faur dan sudah mendaftar.
Mengacu pada UU Nomor 18/2019, Fatwa Nomor 002/2020, dan PMA Nomor 13/2021, BPKH merancang berbagai program untuk mendorong generasi milenial bersegera mendaftar haji.
Dengan mendaftar pada usia muda, ketika panggilan haji itu datang, mereka dapat menyambutnya dengan kesiapan dan kemampuan fisik yang prima untuk melaksanakan seluruh rukun dan wajib haji secara mandiri tanpa pendampingan, baik dari sanak kerabat, petugas haji, atau tenaga kesehatan.Â
Sesuai Surat Edaran Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah - Kementerian Agama Nomor 4001/2018, calon jemaah yang tidak memenuhi prasyarat istitho’ah kesehatan tidak dapat melakukan pelunasan biaya haji, tidak akan divaksin meningitis, dan tidak akan diberikan surat panggilan masuk asrama (SPMA), sehingga tertutuplah kesempatannya berhaji.
Perencanaan Keuangan
Dari segi perencanaan pemenuhan istitho’ah keuangan, seorang harus memiliki uang paling kurang sebesar Rp 25 juta sebagai setoran awal untuk mendaftar haji. Sekitar 90% calon jemaah ketika datang ke BPS BPIH untuk mendaftar haji telah memiliki uang paling kurang Rp25 juta.Â
Hanya sekitar 10% calon jemaah yang datang ke BPS BPIH untuk membuka tabungan haji dan secara berkala menambah saldo tabungannya hingga mencapai jumlah Rp25 juta.
Bagi muslim yang belum memiliki dana yang cukup untuk setoran awal dapat menempuh berbagai cara, antara lain:
Membuka dan mengakumulasi tabungan haji di bank syariah; melakukan investasi berkala pada reksadana pasar uang; mengajukan pembiayaan arrum haji dari Pegadaian; meminjam dana dari orang tua, mertua, atau bos; atau memanfaatkan utang atau pembiayaan dari lembaga keuangan.
Berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 004/Munas X/MUI/XI/2020 Tentang Pembayaran Setoran Awal Haji dengan Utang dan Pembiayaan, ditetapkan bahwa Pembayaran Setoran Awal Haji dengan uang hasil utang hukumnya boleh (mubah), dengan syarat:
a. bukan utang ribawi; dan b. orang yang berutang mempunyai kemampuan untuk melunasi utang, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup.Â
Selain itu, Pembayaran Setoran Awal Haji dengan uang hasil pembiayaan dari lembaga keuangan, hukumnya juga boleh (mubah) dengan syarat:
a. menggunakan akad Syariah; b. tidak dilakukan di Lembaga Keuangan Konvensional; dan c. nasabah mampu untuk melunasi, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup.
Dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun 2021, diatur bahwa setoran awal tidak boleh dari dana talangan atau nama lain baik secara langsung maupun tidak langsung yang bersumber dari BPS BPIH.
BPS BPIH yang diketahui memberikan dana talangan atau nama lain, dapat dilakukan pemblokiran dan/atau pencabutan user id Siskohat-nya oleh Menteri Agama setelah dilakukan klarifikasi.
Berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU Nomor 34 Tahun 2014 dan Pasal 1 angka 17 UU Nomor 8 Tahun 2019, BPS BPIH adalah Bank Umum Syariah (BUS) dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS) yang penunjukannya merupakan kewenangan BPKH setelah memenuhi kriteria dan persyaratan, serta tunduk pada perjanjian kerjasama kedua pihak.
BPS BPIH sendiri merupakan mitra strategis BPKH dalam pengelolaan keuangan haji, yang meliputi pula perencanaan keuangan dalam rangka perjalanan ibadah haji.Â
Sebagai bank, BPS BPIH tunduk pada pengaturan dan pengawasan (regulatory and supervisory) dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sedangkan sebagai bank penerima setoran, BPS BPIH tunduk pada Peraturan BPKH dan perjanjian kerjasama kedua pihak.Â
Dalam PMA 13/2021 tidak disebut alasan pelarangan penggunaan dana talangan dari BPS BPIH untuk setoran awal. Di masa lalu, salah satu yang menjadi dasar pelarangan karena masa tunggu haji masih relatif pendek ada kemungkinan debitur keburu berangkat haji ketika talangannya belum lunas, sehingga isthito’ah-nya dipertanyakan.
Kekhawatiran debitur belum melunasi utang atau pembiayaannya ketika berangkat haji, kemungkinannya kecil saat ini mengingat masa tunggu haji rata-rata lebih dari 10 tahun, sedangkan jangka waktu pelunasan utang atau pembiayaan lazimnya lebih pendek.Â
Selain itu, dalam Fatwa MUI Nomor 004/2020 terdapat prasyarat pemberian utang atau pembiayaan tersebut harus dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup sebagai jaminan, sehingga jika diperlukan debitur dapat diwajibkan segera melunasi utang atau pembiayaannya sebelum berangkat haji.
Alasan lain yang mengemuka terkait pelarangan tersebut didasari pandangan agar daftar tunggu haji tidak banyak atau antriannya tidak panjang, terlebih dengan adanya pembatalan pemberangkatan haji pada 2 tahun terakhir.Â
Merujuk klausul menimbang pada UU Nomor 34 Tahun 2014, pembentukan BPKH dilatarbelakangi oleh perlunya pengelolaan keuangan haji yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel terhadap akumulasi dana haji yang disebabkan oleh meningkatnya jumlah jemaah tunggu.Â
Dengan kata lain, peningkatan jumlah jemaah tunggu sesungguhnya merupakan salah satu pendorong pendirian BPKH, yang sekaligus dapat menjadi indikator jaminan kemerdekaan beribadah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Menyadari potensi peningkatan jumlah jemaah tunggu tersebut, UU 34 Tahun 2014 mengamanatkan kepada BPKH untuk membagikan secara berkala sebagian nilai manfaat dari pengelolaan dana setoran awal ke rekening virtual jemaah tunggu.
Pembagian ke rekening virtual jemaah tunggu telah mulai dilakukan atas nilai manfaat tahun 2018 sebesar Rp 785 miliar, tahun 2019 sebesar Rp 1,1 triliun, tahun 2020 sebesar Rp 2 triliun, dan tahun 2021 akan dibagikan sebesar Rp 2,5 triliun.Â
Pembagian nilai manfaat ke rekening virtual jemaah tersebut akan mengurangi jumlah setoran lunas yang harus dibayar. Jemaah dapat memantau informasi perkembangan akumulasi dana setoran awalnya pada https://va.bpkh.go.id.
Program Haji Eksekutif
Berdasarkan Data Kependudukan Tahun 2010 dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2017, terdapat potensi sekitar 13 juta muslim Indonesia yang sudah tergolong istitho’ah (mampu) secara ekonomi untuk mendaftar haji, tetapi belum mendaftarkan diri untuk berhaji.Â
Jumlah tersebut merupakan hasil penyisiran terhadap keseluruhan jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam dengan mengeluarkan penduduk yang berusia kurang dari 25 tahun, yang belum mampu (istitho’ah) secara ekonomi, yang pernah menunaikan ibadah haji, dan yang ada di daftar tunggu haji.
Berkenaan dengan hal tersebut, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa Nomor: 005/Munas X/MUI/XI/2020 Tentang Penundaan Pendaftaran Haji Bagi Yang Sudah Mampu.
Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa ibadah haji pada dasarnya merupakan kewajiban yang tidak perlu disegerakan (‘ala al-tarakhi) bagi muslim yang sudah istitho’ah, namun sunnah hukumnya untuk menyegerakannya.Â
Menunaikan ibadah haji bagi orang yang sudah mampu (istitha’ah) menjadi kewajiban yang harus disegerakan (‘ala al-faur) apabila terpenuhi kriteria berikut:
a. sudah berusia 60 tahun ke atas; b. khawatir berkurang atau habisnya biaya pelaksanaan haji; atau c. qadla’ atas haji yang batal.Â
Mendaftar haji bagi muslim yang memenuhi salah satu dari tiga kriteria tersebut hukumnya menjadi wajib dan menunda-nunda pendaftaran haji bagi muslim tersebut hukumnya haram.
Orang yang sudah istitho’ah tetapi tidak melaksanakan ibadah haji sampai wafat, wajib hukumnya dibadal-hajikan.
Sedangkan orang yang sudah istitho’ah dan sudah mendaftar haji tetapi wafat sebelum melaksanakan haji, akan mendapatkan pahala haji dan wajib hukumnya dibadal-hajikan.Â
Fatwa tersebut juga merekomendasikan kepada Pemerintah untuk membuat kebijakan yang memprioritaskan calon jamaah yang sudah masuk kategori wajib ‘ala al-faur tersebut.
Merujuk pada Fatwa 005/2020 tersebut, BPKH mencanangkan program haji eksekutif untuk mendorong muslim separuh baya yang sudah memiliki kemampuan (istitho’ah) keuangan untuk segera mendaftar haji.Â
Program ini utamanya diarahkan ke pendaftaran haji khusus yang masa tunggunya lebih singkat dibandingkan masa tunggu haji reguler.
Mendaftar haji merupakan perwujudan dari niat berhaji yang akan tercatat pahalanya dalam buku amalan kita, meskipun kita belum berangkat haji.
Visi Saudi dan DigitalisasiÂ
Visi Saudi 2030 merupakan gagasan Kerajaan Arab Saudi untuk mengurangi ketergantungan pada minyak bumi, mendiversifikasi ekonomi, serta mengembangkan sektor layanan umum, seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi, dan pariwisata.Â
Berkenaan dengan haji dan umroh, Kerajaan Arab Saudi merencanakan akan meningkatkan kapasitas, kualitas, dan kecepatan pelayanan bagi jemaah haji dan umroh.
Pada tahun 2030, kapasitas pelayanan jemaah umroh akan ditingkatkan menjadi 30 juta jemaah per tahun dari 8 juta saat ini.Â
Untuk kapasitas pelayanan jemaah haji, juga akan ditingkatkan menjadi 10 juta jemaah dari saat ini sekitar 2,5 juta, salah satunya melalui penyediaan tenda bertingkat di kawasan Mina dan Arafah.
Dengan peningkatan kapasitas pelayanan jemaah haji tersebut, diharapkan kuota jemaah haji di setiap negara akan bertambah, sehingga dapat mengurangi daftar dan masa tunggu haji.Â
Kampanye haji muda dan haji eksekutif yang dicanangkan BPKH salah satu dasar pertimbangannya mengacu pada potensi kenaikan kapasitas dan kuota haji tersebut.Â
Selain itu, sejalan dengan masifnya digitalisasi berbagai aspek kehidupan sebagai dampak pandemi, BPKH juga mendorong penggunaan aplikasi dalam pendaftaran haji melalui kerjasama dengan bank digital atau pihak lain.Â
Hal tersebut sesuai dengan target kampanye haji muda dan haji eksekutif yang menyasar pada kaum milenial dan para eksekutif mapan yang kesehariannya tidak pernah lepas dari gawai.
Penutup
Berhaji memerlukan kemampuan keuangan untuk ongkos perjalanan dan perbekalan, serta kebugaran jasmani untuk menunaikan seluruh rukun dan wajib haji secara mandiri. Profil jemaah haji kita saat ini didominasi lanjut usia yang sebagian perlu pendampingan dan rentan terhadap penyakit.Â
Untuk mengubah profil tersebut perlu dilakukan beberapa upaya diantaranya melalui kampanye haji muda dan haji eksekutif. Pelaksanaan kampanye tersebut sekaligus sebagai antisipasi menyongsong Visi Saudi 2030 dan trend digitalisasi.
Wallahu A'lam Bish Shawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H