Mohon tunggu...
Hariman A. Pattianakotta
Hariman A. Pattianakotta Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Penyuka musik

Bekerja sebagai Pendeta dan pengajar di UK. Maranatha

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Politik Penyangkalan Vs Politik Pengakuan

16 Februari 2022   14:10 Diperbarui: 16 Februari 2022   17:45 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Miroslav Volf menulis sebuah buku bagus, Exclusion & Embrace (1996). Buku ini mengeksplorasi gagasan teologis mengenai identitas, sang liyan, dan rekonsiliasi. 

Menariknya, buku ini menawarkan gagasan yang sangat empatik terhadap sang liyan atau yang lain (the others) dalam segala keberlainannya. 

Menurut Volf, yang lain dengan segala keberlainan atau keasingannya harus di-embrace atau dirangkul, bukan dieksklusi atau disingkirkan.

Apa yang diungkapkan oleh Volf sangat menarik sekaligus menantang untuk direnungkan dan dijadikan sebagai praksis hidup bersama dalam konteks masyarakat majemuk. 

Dalam masyarakat majemuk, isu identitas seringkali menjadi krusial dan sensitif. Mengapa? Karena adanya kebutuhan untuk diakui. Sayangnya pengakuan itu kerap tidak didapatkan, sehingga menimbulkan konflik. 

Pemicu konflik sangat beragam, bisa soal sengketa tanah atau sengketa politik dan hukum. Dan ketika sengketa itu berkelindan dengan soal-soal identitas seperti suku, agama, ras, dan golongan, maka konflik itu akan menjadi sangat kompleks dan rentan.

Bila kita mau menilik secara jernih dan mendalam, soal krusialnya ada pada bagaimana kita memandang yang lain atau sang liyan. Siapa sang liyan itu? Apakah ancaman atau teman/saudara? 

Jika yang lain dipandang sebagai ancaman, maka yang terjadi adalah kita akan berupaya sedemikian rupa untuk mengeluarkan, menyingkirkan, bahkan membinasakannya. Sebab pikir kita, kalau yang lain itu tidak disingkirkan, maka dia atau merekalah yang akan menyingkirkan kita. 

Ada ketakutan dan kecurigaan terhadap yang lain. Ketakutan dan kecurigaan ini menjadi pelumas untuk melakukan berbagai tindakan, mulai dari tindakan dengan cara-cara yang paling barbar, yaitu dengan melakukan kekerasan dan pembantaian terhadap yang lain; sampai tindakan dengan cara-cara yang paling halus, disertai berbagai rasionalisasi agar bisa diterima. Akan tetapi ujungnya tetap sama: penyingkiran. 

Ketakutan dan kecurigaan adalah bom atom dalam relasi. Akibatnya tidak hanya akan menghancurkan yang lain, tetapi juga akan merusak kehidupan kita sendiri, sebab kita yang takut dan curiga terhadap yang lain adalah cerminan dari ketidaktahuan dan ketidakdewasaan kita dalam memahami diri sendiri dan orang lain.

Identitas itu Hibrida

Tak pernah ada identitas yang tunggal. Faktor pembentuk identitas selalu beragam. Berbagai unsur bercampur membentuk siapa kita. 

Manusia itu hibrida. Bahkan, identitas itu tidak statis. Kita selalu bergerak, berjumpa dengan yang lain. Kita selalu ada dalam ruang dan waktu yang terus berubah. Sehingga siapa kita pun bersifat dinamis. 

Sedemikian rupa dinamika perubahan itu terjadi sampai kita sendiri tidak bisa memahami diri kita secara sempurna. Selalu ada ruang-ruang di mana kita sendiri merasakan ada yang "aneh", yang asing, yang kita tidak mengerti dari diri kita. 

Dalam relasi dengan seorang yang paling intim dengan kita, suami atau istri, kerap kita mendapati sesuatu yang berbeda, yang tidak sama dengan apa yang selama ini kita kenal tentang dia. Artinya, perubahan itu merupakan sebuah keniscayaan yang turut membentuk kedirian kita.

Bila eksistensi dan dinamika manusia itu dipahami, maka kita tidak mudah dan tidak akan tega mengalienasi orang lain atau melihat mereka sebagai ancaman. Sebaliknya, dengan melihat mereka, kita justru melihat yang asing dalam diri kita. Dan jalan satu-satunya supaya kita bisa hidup dengan baik dan menjadi sungguh-sungguh merdeka adalah berdamai dengan yang asing itu. Kita akan menerima yang asing dalam diri kita sendiri maupun menerima sang liyan yang datang dengan segala keasingannya.

Merangkul Yang Lain

Merangkul, bukan mengeksklusi, menjadi satu-satunya kemungkinan paling baik untuk kita bisa berdamai dan hidup dengan rukun. 

Perangkulan itu tentu membutuhkan kebesaran hati dan kasih. Bahkan, dengan kesadaran untuk siap menanggung risiko. 

Dalam kesadaran itu, kita membangun politik pengakuan. Politik yang dimaksudkan di sini adalah seni untuk membangun hidup bersama. Inilah esensi politik, sehingga politik itu dikatakan suci, sebab politik bertujuan mulia: menciptakan kebaikan bersama, bonum commune.

Politik pengakuan itu harus timbal-balik. Ia berwatak resiprokal. Di situ terselip spirit dialogis. Spirit ini tidak sama dengan bakumalawang (adu pendapat yang tidak jelas) untuk saling menjatuhkan. Bukan pula adu gagasan untuk saling membungkam. Namun, bercakap untuk saling memahami, saling menerima, saling menjaga, bahkan saling menghidupi. Gagasan politik inilah yang harus dikedepankan demi rekonsiliasi yang sejati. 

Gagasan politik pengakuan berbeda secara kontras dengan politik penyangkalan. Politik penyangkalan berusaha membungkam dan menyingkirkan yang lain.

Politik penyangkalan itu tidak manusiawi. Semanis dan sehalus apa pun ia dikemas, upaya mengeksklusi yang lain itu sama dengan menghina diri sendiri, menghina citra kemanusiaan universal, dan menghina Tuhan, selaku Pencipta dan Pemilik kehidupan.

Ajaran agama apapun, menurut saya, bertentangan dengan politik penyangkalan. Islam mengajarkan setiap umatnya untuk menjadi rahmat, rahmatan lilalamin, bagi yang lain. Kristen mengajarkan umatnya untuk mengasihi tulus orang yang berbeda, bahkan diminta untuk mendoakan dan memberkati orang yang memusuhinya. Demikian juga dengan agama-agama yang lain, selalu mengajarkan umatnya untuk berbuat baik dan berlaku benar demi kemanusiaan dan kehidupan.

Agama yang benar tidak mengajarkan politik penyangkalan. Dengan kata lain, politik penyangkalan itu bertolak belakang, baik dengan kemanusiaan universal maupun dengan ajaran-ajaran agama.

Kita hanya memiliki satu pilihan untuk rekonsiliasi dan hidup yang manusiawi, yakni politik pengakuan. Dengan politik pengakuan ini, manusia bisa saling merangkul, saling mendengar, saling menjaga, dan saling menghidupi di dalam perbedaan. Ini cara terbaik untuk menyatakan apa yang orang Maluku sebut, "katong samua basudara," kita semua bersaudara; dan karena itu kita semua baku sayang dan baku rangkul, kita semua saling menyayangi dan saling merangkul.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun