Tak pernah ada identitas yang tunggal. Faktor pembentuk identitas selalu beragam. Berbagai unsur bercampur membentuk siapa kita.Â
Manusia itu hibrida. Bahkan, identitas itu tidak statis. Kita selalu bergerak, berjumpa dengan yang lain. Kita selalu ada dalam ruang dan waktu yang terus berubah. Sehingga siapa kita pun bersifat dinamis.Â
Sedemikian rupa dinamika perubahan itu terjadi sampai kita sendiri tidak bisa memahami diri kita secara sempurna. Selalu ada ruang-ruang di mana kita sendiri merasakan ada yang "aneh", yang asing, yang kita tidak mengerti dari diri kita.Â
Dalam relasi dengan seorang yang paling intim dengan kita, suami atau istri, kerap kita mendapati sesuatu yang berbeda, yang tidak sama dengan apa yang selama ini kita kenal tentang dia. Artinya, perubahan itu merupakan sebuah keniscayaan yang turut membentuk kedirian kita.
Bila eksistensi dan dinamika manusia itu dipahami, maka kita tidak mudah dan tidak akan tega mengalienasi orang lain atau melihat mereka sebagai ancaman. Sebaliknya, dengan melihat mereka, kita justru melihat yang asing dalam diri kita. Dan jalan satu-satunya supaya kita bisa hidup dengan baik dan menjadi sungguh-sungguh merdeka adalah berdamai dengan yang asing itu. Kita akan menerima yang asing dalam diri kita sendiri maupun menerima sang liyan yang datang dengan segala keasingannya.
Merangkul Yang Lain
Merangkul, bukan mengeksklusi, menjadi satu-satunya kemungkinan paling baik untuk kita bisa berdamai dan hidup dengan rukun.Â
Perangkulan itu tentu membutuhkan kebesaran hati dan kasih. Bahkan, dengan kesadaran untuk siap menanggung risiko.Â
Dalam kesadaran itu, kita membangun politik pengakuan. Politik yang dimaksudkan di sini adalah seni untuk membangun hidup bersama. Inilah esensi politik, sehingga politik itu dikatakan suci, sebab politik bertujuan mulia: menciptakan kebaikan bersama, bonum commune.
Politik pengakuan itu harus timbal-balik. Ia berwatak resiprokal. Di situ terselip spirit dialogis. Spirit ini tidak sama dengan bakumalawang (adu pendapat yang tidak jelas) untuk saling menjatuhkan. Bukan pula adu gagasan untuk saling membungkam. Namun, bercakap untuk saling memahami, saling menerima, saling menjaga, bahkan saling menghidupi. Gagasan politik inilah yang harus dikedepankan demi rekonsiliasi yang sejati.Â
Gagasan politik pengakuan berbeda secara kontras dengan politik penyangkalan. Politik penyangkalan berusaha membungkam dan menyingkirkan yang lain.