Mohon tunggu...
Hariman A. Pattianakotta
Hariman A. Pattianakotta Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Penyuka musik

Bekerja sebagai Pendeta dan pengajar di UK. Maranatha

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pejuang Itu Dipanggil Dok Mo

10 November 2020   14:25 Diperbarui: 10 November 2020   15:03 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Awal tahun 2020.  Hampir seluruh dunia dilanda pandemi virus Covid-19. Indonesia yang berada di garis khatulistiwa dengan limpahan sinar matahari pun tak imun dari serangan Covid.

Di bulan Maret, virus yang tak kasat mata ini sudah membuat panik. Banyak orang mulai tertular. Virus dengan cepat menghantam penduduk di berbagai daerah di Indonesia. 

Perpindahan penduduk antar wilayah dan pulau yang berlangsung cepat menjadi media paling efektif dalam meluaskan pandemi Covid-19 ke berbagai penjuru negeri. Dan, Indonesia pun dinyatakan darurat Covid-19.

Menurut data WHO per 9 November 2020, kasus Covid-19 yang terkonfirmasi di Indonesia sebanyak 437, 716 orang. Korban yang meninggal berjumlah 14.614 orang. Ini data yang terkonfirmasi. Jumlah yang sebenarnya bisa lebih besar dari data yang dicatat WHO.

Hingga menjelang akhir 2020, pandemi Covid-19 tak juga berakhir. Padahal, berbagai upaya sudah dilakukan. Di Indonesia sendiri pemerintah telah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Darurat Kesehatan dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah diterapkan pemerintah, baik Pusat maupun Daerah. Namun, terjangan badai Covid belum juga berlalu. 

TPK Memunculkan Harapan

Satu soal terbesar dalam penanganan pandemi Covid-19 adalah belum ditemukannya anti virus aktif. Para ilmuwan masih berupaya di berbagai negara mencari-temukan anti virus.

Ada konglomerat dunia dan perusahaan raksasa yang ikut dalam upaya tersebut. Banyak pihak berinvestasi untuk itu. Selain penting untuk menolong jiwa manusia, investasi tersebut tentu menjanjikan keuntungan.

Apa pun motifnya, kita berharap semoga dorongan kemanusiaan dan kasihlah yang terbesar dan terkuat. Bukan dorongan untuk meraup keuntungan finansial di tengah pandemi yang menyebabkan krisis dalam berbagai aspek kehidupan. 

Motif untuk menyelamatkan manusia di masa pandemi diperlihatkan oleh para dokter dan tenaga medis. Mereka merisikokan diri mereka. Dengan penuh kasih dan keberanian mereka berjuang merawat yang sakit dan memerangi Covid-19.

Di antara para dokter itu ada seorang perempuan berparas cantik. Ia lahir di Purwokerto pada 8 Agustus 1971. Ibu dari seorang putra yang juga berprofesi sebagai dokter ini tiba-tiba menjadi perhatian publik, khususnya di Indonesia. 

Namanya melejit karena TPK. Terapi Plasma Konvalesen. Dokter dan dosen fakultas kedokteran Universitas Kristen Maranatha ini adalah  pelopornya.

TPK adalah terapi yang melibatkan pemberian plasma dari donor pasien Covid-19 yang telah sembuh kepada pasien Covid-19 yang masih menderita penyakit tersebut. TPK menjadi anti virus pasif.

Dalam buku "Penatalaksanaan TPK bagi Pasien Covid-19" yang diluncurkan oleh Tim TPK Covid-19 Indonesia, disebutkan bahwa TPK sebelumnya sudah diterapkan dalam mengatasi penyakit Virus Ebola dan merupakan terapi yang direkomendasikan boleh WHO pada tahun 2014.

Hongkong menggunakan TPK saat wabah SARS-CoV-1, H1N1 dan MERS-CoV. Saat ini, Wuhan Cina dan Amerika Serikat juga melakukan TPK. Bisa jadi karena hal ini, jumlah tenaga medis yang meninggal di Wuhan tidak sebanyak di Indonesia. 

Artikel-artikel yang memperlihatkan efektivitas dan keamanan TPK pun sudah banyak. Hal tersebuti mendorong dokter yang memiliki beberapa kepakaran ini untuk memelopori pemakaian TPK di Indonesia. 

Dalam laman Facebooknya, sang dokter yang  hobi ngopi ini membagi kisah sukses TPK. Ada banyak orang yang sudah tertolong. Hanya ada beberapa yang diangkat. Salah satunya ibu S yang di rawat di ICU RS PJ Jakarta. Ibu S bisa terselamatkan nyawanya melalui TPK. 

Di tengah kemuraman akibat pandemi Covid-19 yang menyebabkan kematian sangat banyak orang, TPK membuat kita bisa tersenyum sumringah. TPK memberikan harapan, ketika anti virus aktif belum ditemukan. 

Perjuangan Sang Dokter

Setelah melakukan pembacaan yang mendalam atas banyak artikel di berbagai jurnal internasional. Memeriksa hasil-hasil riset yang terkait dengan dunia bakteri dan virus, sang dokter yang gemar belajar ini tiba pada kesimpulan bahwa TPK adalah salah satu alternatif jitu mengobati pasien Covid-19.

Namun, hasil studinya tidak serta-merta diterima. Di kalangan dokter sendiri ada yang meragukan. Padahal, faktanya TPK lebih menolong dan sudah terbukti. 

Doni Monardo, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, dalam pengantar di buku Penatalaksanaan TPK menyebutkan bahwa sejak 11 April 2020 seorang dokter di RS Tangerang sudah memakai metode TPK, dan hasilnya baik. Beberapa RS rujukan dan RS swasta di Indonesia juga melakukan hal yang sama berdasarkan permintaan keluarga.

Sayangnya, TPK  tidak ditetapkan sebagai salah satu kebijakan nasional untuk mengobati pasien Covid-19. Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan di tengah maraknya bisnis alat-alat medis, tender APD, serta bisnis rapid test dan swab.

Akan tetapi, dokter yang penyuka seni ini tidak kehilangan semangat untuk memperkenalkan TPK pada masyarakat. Hal ini didorong oleh panggilannya sebagai seorang dokter untuk menekan angka morbiditas dan mortalitas atau kematian. 

Baginya time is life. Karena itu, ia mengajak banyak pihak untuk berpacu dengan waktu mengatasi Covid-19. Ia gigih memperjuangkan keyakinan dan hasil studinya tentang TPK demi kemanusiaan, bukan untuk keuntungan.

Sampai-sampai ia harus menyurati Presiden Joko Widodo. Sebab, ada pihak-pihak tertentu yang berupaya mencekal TPK karena tidak menguntungkan secara bisnis. 

Padahal, terapi ini dapat dipakai untuk menyelamatkan nyawa manusia sampai ditemukannya vaksin. Bukan hoaks kalung anti Covid-19 atau vaksin-vaksinan.   Dan, TPK itu sudah terbukti lebih banyak menyelamatkan.

Dr. Theresia Monica Rahardjo, dr., Sp.An., KIC., M.Si., MM., MARS. Itulah nama dan gelar dokter yang gigih memperjuangkan kesehatan pasien Covid-19 melalui TPK. Gelarnya yang terbilang panjang itu menjadi bukti bahwa ia sosok yang kapable dan credible secara akademik. Pengalaman juga memperlihatkan bahwa ia adalah seorang dokter yang sungguh peduli dengan pasien. Pejuang kemanusiaan dalam bidang medis ini dapat kita panggil: "Dok Mo".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun