Oleh :
Nama : Mhd. Hari Pradiva Hrp
NIM : 215040207111190
Kelas : C
Matkul : Agama Islam
Dosen : Siti Rohmah M.HI
FAKULTAS PERTANIAN
MALANG
2021
Abstrak
Hubungan agama dan politik telah lama diperdebatkan. Bagi pandangan yang memahami bahwa agama dan politik adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, namun bagi pandangan sekularisme memahami bahwa agama bersifat teologis dan privat sementara itu, politik berbicara keduniawian. Perdebatan ini juga merangsek masuk dalam keislaman dan politik di Indonesia. Sejarah perjalanan politik Indonesia menunjukkan sebuah pergumulan yang sangat panjang dan variatif. Kenyataan tersebut, dapat dilihat sejak masa kesultanan, masa penjajahan, dan masa kemerdekaan dengan berbagai gerakan politik yang mewarnai masa-masa tertentu. Visi politik yang disodorkan paling tidak ada tiga model, yaitu: 1) Islam sebagai kultur politik, di mana simbol-simbol yang tidak terdapat dalam doktrin, tetapi diwariskan dari generasi terdahulu, 2) Islam sebagai etika politik di mana nilainilai etika yang terdapat dalam doktrin, dan 3) Islam sebagai ideologi politik, di mana Islam diperjuangkan menjadi dasar negara atau setidak-tidaknya syari’at Islam diakui oleh negara meskipun hanya berlaku bagi pemeluknya.
Pendahuluan
Islam merupakan agama yang universal, agama membawa misi rahmatan serta membawa konsep kepada ummat manusia mengenai persoalan yang terkait dengan suatu sistem sperti konsep politik, perekonomian, penegakan hukum, dan sebagainya. Kemudian Dalam bidang politik misalnya, Islam mendudukannya sebagai sarana penjagaan urusan umat.[1]
Islam, perbincangan seputar hubungan agama dengan politik adalah sebuah wacana klasik. Meski telah menjadi fokus diskusi selama berabad-abad, persoalan tersebut tidak pernah terjawab secara tuntas. Pada era yang semakin kompleks ini, diskusi tentang hubungan keduanya semakin hangat dan marak diperbincangkan bersamaan dengan kebangkitan umat Islam di seantero dunia Islam. Sebab pada dasarnya, Islam adalah satu sistem kepercayaan di mana agama mempunyai kaitan erat dengan politik. Islam memberikan kerangka makna dan cara pandang bagi individu ataupun bagi masyarakat, termasuk dalam bidang politik.[2]
PEMBAHASAN
Islam dan politik merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan, karena memiliki hubungan dalam bentuk interrelasi secara fungsional, yaitu Islam berfungsi bagi politik dan sebaliknya politik juga berfungsi bagi Islam. Hubungan yang erat antara Islam dan politik dapat dilihat dari dua hal; pertama, dari aspek Islam sebagai doktrin, seperti konsep ulul amri (QS. Al-Nisa [4]: 59), syura (QS. Al-Syura [42]: 38), dan sebagainya. Kedua. Dari aspek Islam sebagai suatu realita sosial, dapat dilihat sejarah terbentuknya pemerintahan Madinah melalui kontrak politik (Piagam Madinah) antara Nabi Muhammad saw, dengan penduduk Madinah yang terdiri atas kelompok Muhajirin, kelompok Anshar, dan kelompok Yahudi.[3][4]
Karena itu, Islam dan politik merupakan tema yang sangat menarik bagi para peneliti dan penulis sejarah masyarakat Islam, baik oleh sejarawan Barat maupun oleh sejarawan muslim sendiri. Hal ini dapat dilihat perdebatan yang terjadi seputar Islam dan politik, khususnya di Indonesia berlangsung sejak masa sebelum kemerdekaan.
Politik adalah ilmu pemerintahan atau ilmu siyasah, yaitu ilmu tata negara. Pengertian dan konsep politik atau siyasah dalam Islam sangat berbeda dengan pengertian dan konsep yang digunakan oleh orang orang yang bukan Islam. Politik dalam Islam menjuruskan kegiatan umat kepada usaha untuk mendukung dan melaksanakan syari'at Allah melalui sistem kenegaraan dan pemerintahan. la merupakan sistem peradaban yang lengkap yang mencakup agama dan negara secara bersamaan.[5]
Islam dan Politik di Indonesia
Islam datang ke Indonesia melalui proses perjalanan yang cukup jauh dari Timur Tengah sampai ke Asia Tenggara. Sulit diketahui waktu yang pasti kedatangan Islam ke Indonesia, tetapi kemungkinan Islam telah di bawah ke Indonesia sejak abad I Hijriah. Namun suatu kenyataan yang pasti bahwa kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan secara damai.[6]
Setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, maka persoalan yang dihadapi selanjutnya adalah masalah yang sangat asasi, yaitu masalah dasar dan ideology negara. Para wakil rakyat Indonesia yang duduk di PPKI ketika itu terbagi atas dua kelompok, satu pihak mereka yang mengajukan agar negara itu berdasarkan kebangsaan tanpa berkaitan dengan ideologi keagamaan dan pada pihak lainnya mereka yang mengajukan Islam sebagai dasar negara.[7]
Pada sidang perdana PPKI, 18 Agustus 1945, Muhammad Hatta sebagai Wakil Ketua mengusulkan agar frase “yang beragama Islam” dihapus dengan alasan presiden dengan sendirinya beragama Islam karena 95 % rakyat Indonesia memeluk agama Islam, dan agar UUD dapat diterima oleh daerah-daerah non-Islam. Demikian pula Muhammad Hatta mengusulkan supaya anak kalimat yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” pada pasal 29 ayat 1 UUD 45 itu dihapus saja. Sidang menerima usulan Hatta dan hilanglah kesempatan untuk menjadikan Islam sebagai ideology politik bagi Republik Indonesia.[8]
Peluang untuk memperjuangkan kembali Islam sebagai ideologi negara tercipta ketika diselenggarakan pemilu 1955,36 yang bertujuan untuk memilih anggota parlemen (DPR) dan anggota konstituante yang akan menyusun UUD yang tetap bagi RI. Konstituante hasil pemilu 1955 itu mengawali rangkaian sidangnya yang panjang pada 10 November 1956 di Bandung. Isu-isu pokok yang pernah diperdebatkan dalam sidang BPUPKI kembali mengemuka, yaitu dasar negara, bentuk negara, dan beberapa hal yang diperlukan untuk suatu UUD. Setelah hampir tiga tahun bersidang, berbagai isu telah diselesaikan, kecuali dasar negara. Dari berbagai konsep yang ditawarkan terpola dalam dua dasar yang sulit dikompromikan pada saat itu. Partai-partai Islam yang terdiri atas Masyumi, NU, PSII, dan Perti bersatu dalam Konstituante untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. berhadapan partai-partai non-Islam yang dimotori oleh PNI dan PKI yang mempertahankan Pancasila sebagai dasar Negara.[9]
Ditinjau dari konteks manapun, runtuhnya Orde Lama dan bangkitnya Orde Baru tetap merupakan persoalan amat penting bagi bangsa Indonesia. Salah satu hal menarik untuk dicermati adalah dampak perubahan ekonomi dan social politik masyarakat Indonesia.
Bagi umat Islam yang selama ini tertekan, bangkit bersama tentara untuk mengamankan Negara RI dengan menumpas kaum penghianat itu. Karena merasa berjasa dalam gerakan penumpasan G 30 S/PKI, dan sekaligus menegakkan Orde Baru, umat Islam melihat ada peluang untuk kembali memainkan peranan dalam pemerintahan.
Awalnya, kalangan umat Islam muncul harapan baru berupa akan lahirnya partai Islam baru yang dapat menampung aspirasi politiknya atau harapan adanya rehabilitasi Masyumi yang dalam era demokrasi liberal pernah mendominasi salah satu partai politik Islam terkuat. Sayang, ternyata harapan tetap tinggal harapan, karena pemerintah belum memandang perlu adanya partai Islam seperti yang didambakan itu. Di lain pihak, rekayasa sosial politik makin mendorong pemerintah untuk mengefektifkan kebijakan stabilitas politik. Apa yang terjadi adalah campur tangan pemerintah dalam berbagai segi kehidupan, termasuk politik makin kuat. Prakondisi pembangunan yang sangat terfokus pada pertumbuhan ekonomi tersebut sangat dihantui oleh ketakutan terjadinya chaos atau trauma politik seperti yang pernah terjadi sebelumnya. [10]
Kegigihan umat Islam dalam memperjuangkan lahirnya partai Islam baru, membuahkan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Namun dari sejarah lahirnya partai ini sudah tercium adanya gejala yang tidak sehat sekaligus mencerminkan tidak adanya kemandirian umat Islam. Pada 5 Pebruari 1968 Jenderal Soeharto mengumumkan bahwa tidak seorang pun pemimpin bekas Masyumi diizinkan memegang peranan pimpinan dalam Parmusi baru itu. Keputusan ini merupakan suatu kekecewaan yang amat besar bagi pengikat Masyumi. Mungkinlah partai baru ini akan memiliki kesempatan memperoleh simpati kaum muslimin, tanpa melibatkan para pemimpin bekas Masyumi, seperti Natsir dan Prawoto dalam kegiatan-kegiatannya[11]
Namun beberapa tahun kemudian, rezim Orde Baru tidak mampu lagi bertahan. Akhirnya pada 21 Mei 1998 Seoharto resmi mengundurkan diri dan menyerahkan kepada habibi jabatan Presiden RI., maka berakhir pulalah periode ini, dan lahirlah periode reformasi.
Islam meletakkan politik sebagai satu cara penjagaan urusan umat (ri'ayah syu-ÃQ
al-ummah). Islam dan politik tidak boleh dipisahkan, kerana Islam tanpa politik akan melahirkan terbelenggunya kaum muslimin yang tidak mempunyai kebebasan dan kemerdekaan melaksanakan syariat Islam. Begitu pula politik tanpa Islam, hanya akan melahirkan masyarakat yang mengagungkan kekuasaan, jabatan, bahan, dan duniawi saja, kosong dari aspek moral dan spiritual. Oleh kerana itu, politik dalam Islam sangat penting bagi mengingatkan kemerdekaan dan kebebasan melaksanakan syariat Islam boleh diwadahi oleh politik.[12]
Pemikiran Politik dalam Islam berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Beberapa nama pemikir muslim yang menjadi rujukan dalam pemikiran politik diantaranya Al-Mawardi (w.1058 M), Ibn Taimiyyah (w.1328 M) Ibn Khaldun (w.1406 M), Ibn Abd al-Wahhab (w.1793 M), Jamaluddin al-Afghani (w.1897 M), dan Muhammad Abduh (w.1905 M). Selain beberapa nama itu, tokoh pergerakan Islam yang tidak kalah penting adalah Hasan al-Banna. Beliau berasal dari tanah Mesir dan mempunyai pemikiran yang menarik dalam bidang politik.
Ada dua hal yang bersifat kontradiktif dalam konteks hubungan politik antara Islam dan negara di negara-negara Muslim atau negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Indonesia. Kedua hal tersebut yakni; Pertama, posisi Islam yang menonjol karena kedududukannya sebagai agama yang dianut sebagian besar penduduk negara setempat. Kedua, sekalipun dominan Islam hanya berperan marjinal dalam wilayah kehidupan politik negara bersangkutan. Sebagai agama yang dominan dalam masyarakat Indonesia, Islam telah menjadi unsur yang paling berpengaruh dalam budaya Indonesia dan merupakan salah satu unsur terpenting dalam politik Indonesia. Namun demikian Islam hanya berperan marjinal dalam wilayah kehidupan politik nasional.
Nuansa politik dalam Islam telah berkembang sejak zaman Rasulullah SAW. Oleh karena itu, menurut keyakinan mayoritas Muslim menerapkan model masyarakat Islam ideal era Nabi SAW bukanlah utopia, sebab model itu pernah terbukti dalam sejarah. Jika pada periode Mekah kaum muslimin masih menempati posisi marginal dan senantiasa tertindas, maka pada periode Madinah mereka telah mengalami perubahan yang sangat dramatis: umat Islam menguasai pemerintahan dan bahkan merupakan a self governing community. Di Madinah peran Nabi Muhammad SAW selain sebagai agamawan beliau juga sebagai negarawan.11 Sejak saat itu oleh pakar politik modern, Islam dipandang sebagai suatu sistem pemerintahan politik dan sekaligus agama[13].
Agama dan Politik
Politik adalah ilmu pemerintahan atau ilmu siyasah, yaitu ilmu tata negara. Pengertian dan konsep politik atau siyasah dalam Islam sangat berbeda dengan pengertian dan konsep yang digunakan oleh orang orang yang bukan Islam. Politik dalam Islam menjuruskan kegiatan umat kepada usaha untuk mendukung dan melaksanakan syari'at Allah melalui sistem kenegaraan dan pemerintahan. la merupakan sistem peradaban yang lengkap yang mencakup agama dan negara secara bersamaan.19 Sejak IM didirikan oleh Al-Banna kondisi Mesir dan dunia Arab berada dalam lingkungan pemikiran Barat. Para tokoh sekuler hanya membatasi aktivitas agama sebatas dinding masjid dan menjadi urusan pribadi Padahal pada dasarnya Islam adalah sistem yang sempurna.[14]
Kesuksesan dakwah Rasulullah pun merupakan suatu implementasi dari strategi politik yang beliau rancang, bisa kita lihat mulai dari hijrah ke Madinah hingga puncaknya adalah Fathu Makkah (penguasaan Mekah). Ketika hijrah ke Madinah, Rasulullah dan para sahabat bukannya mencoba lari dari intimidasi rezim kafir Quraisy, namun justru sebaliknya Rasulullah dan para sahabat melakukan konsolidasi politik yakni mulai dari membangun kekuatan politik internal hingga mengadakan koalisi politik dengan kaum Yahudi dan Nasrani melalui nota perjanjian tentang persoalan-persoalan internal maupun eksternal umat.
Adapun yang dimaksud dengan politik sisi internal adalah mengatur roda pemerintahan, menjalankan tugas-tugasnya, merinci hak-hak dan kewajibankewajibanya, melakukan pengawasan terhadap penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan kebaikan dan dikritik serta diluruskan jika kemudian mereka menyimpang. Sedangkan yang dimaksud dengan sisi kebebasan dan kemerdekaan bangsa, menanamkan rasa kepercayaan diri, kewibawaan, dan meniti jalan menuju sasaran - sasaran yang mulia, yang dengan cara itu bangsa akan memelihara harga diri dan kedudukan tinggi dikalangan bangsa-bangsa lain, serta membebaskan dari penindasan dan intervensi pihak lain dalam urusan-urusanya dengan menetapkan pola interaksi bilateral maupun multilateral yang menjamin hakhaknya serta mengarahkan semua negara menuju perdamaian internasional yang peraturan ini bisa mereka sebut Hukum Internasional.[15]
Konsep Khalifah Islamiyah Hassan al-Banna
Hassan al-Banna menilai bahwa khalifah merupakan rukun atas berlangsungnya pemerintahan Islam. Ia menandaskan bahwa langkah-langkah menuju khalifah Islaminyah wajib dilaksanakan dengan menguatkan barisan keluarga. Sehinggakemampuan umat Islam benar-benar tangguh dalam membentuk khalifah Islamiyah. Imam tidak mutlak dari Ikhwanul Muslimin, siapapun bila memang mampu dapatmenjadi Imam, dan ikhwanul muslimin sebagai garda depan melindungi. Dalam kaitan ini. Al-Banna mengajak untuk menghindari jauh-jauh dari partai-partai politik dan lembagalembaga politik lainnya yang mengakibatkan perpecahan. Ia sangat menolak multi partai dalam sebuah pemerintahan.[16]
Islam di Indonesia
Untuk mempelajari suatu agama, termasuk agama Islam harus bermula dari mempelajari aspek geografis dan geografi persebaran agama-agama dunia. Setelah itu dapat dipahami pula proses kelahiran Islam sebagai salah satu dari agama dunia, terutama yang dilahirkan di Timur Tah, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Ketiganya dikenal sebagai agama langit atau wahyu. Kedua hal itu, geografi persebaran dan persebaran agama itu sendiri. Selanjutnya untuk dapat memahami proses perkembangan Islam sehingga menjadi salah satu agama yang dianut oleh penduduk dunia yang cukup luas, harus dikenali lebih dahulu tokoh penerimaan ajaran yang sekaligus menyebarkan ajaran itu, yaitu Muhammad saw., sang pembawa risalah. Keberhasilan proses Islamisasi di Indonesia ini memaksa Islam sebagai pendatang, untuk mendapatkan simbol-simbol kultural yang selaras dengan kemampuan penangkapan dan pemahaman masyarakat yang akan dimasukinya dalam pengakuan dunia Islam. Langkah ini merupakan salah satu watatk Islam yan pluralistis yang dimiliki semenjak awal kelahirannya.[17]
Kedatangan Islam di berbagai daerah Indonesia tidaklah bersamaan. Demikian pula kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang didatanginya mempunyai situasi politik dan sosial budaya yang berlainan. Proses masuknya Islam ke Indonesia memunculkan beberapa pendapat. Para Tokoh yang mengemukakan pendapat itu diantaranya ada yang langsung mengetahui tentang masuk dan tersebarnya budaya serta ajaran agama Islam di Indonesia, ada pula yang melalui berbagai bentuk penelitian seperti yang dilakukan oleh orang-orang barat (eropa) yang datang ke Indonesia karena tugas atau dipekerjakan oleh pemerintahnya di Indonesia. Tokoh tokoh itu diantaranya, Marcopolo, Muhammad Ghor, Ibnu Bathuthah, Dego Lopez de Sequeira, Sir Richard Wainsted.[18]
Karakteristik Politik Islam
Upaya yang paling penting dalam menganalisis karakteristik pemikiran politik Islam dalam perspektif orientasi ideologis di antara gerakan-gerakan politik Islam adalah dengan kategorisasi. Upaya kategorisasi ini tidak bisa dihindarkan jika seseorang akan menganalisis suatu fenomena yang kompleks, seperti gerakan-gerakan Islam di seluruh dunia atau dalam suatu negeri Muslim tertentu.
Pertama, paradigma Integralistik. Paradigma ini mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama (Islam) dan negara tidak dapat dipisahkan (integrated). Islam adalah din wa dawlah. Apa yang merupakan wilayah agama juga otomatis merupakan wilayah politik atau negara, Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Antara keduanya merupakan totalitas utuh dan tidak dapat dipisahkan.
Kedua, Paradigma Substantif. Pengikut paradigma ini mengajukan pandangan bahwa agama dan negara berhubungan secara mutualistik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling membutuhkan-menguntungkan. Dalam kaitan ini, agama membutuhkan negara. Sebab, melalui negara, agama dapat berbiak dengan baik. Hukum-hukum agama juga dapat ditegakkan melalui kekuasaan negara. Begitu juga sebaliknya, negara memerlukan kehadiran agama, karena hanya dengan agama suatu negara dapat berjalan dalam sinaran etik-moral.
Ketiga, Paradigma Sekularistik. Paradigma ini menolak kedua paradigma sebelumnya; integralistik dan substantif. Sebagai gantinya, diajukanlah konsep pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara pada Islam, atau menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara. Agama bukanlah dasar negara, tetapi agama lebih bersifat sebagai persoalan individual semata.
Penutup
Karakteristik pemikiran politik Islam, yang secara esensial berhubungan dengan watak dari bentuk pemerintahan dalam Islam dan rekonsiliasi antara idealitas keagamaan dan realitas politik, telah menjadi masalah utama dalam pemikiran politik Islam dan telah menimbulkan berbagai macam solusi. Solusi- solusi ini berpangkal, utamanya dari penafsiran atas sumbersumber Islam al-Qur’an dan sunnah. Masalah ini, dan bagaimana kedua sumber tersebut diinterpretasikan oleh para pemikir politik Islam, keragaman kondisi politik dan budaya yang dihadapi oleh para pemikir tersebut juga mempengaruhi watak dari pemecahan masalah dan ekspresi dari pemikiran-pemikiran tersebut.
Islam politik masa kesutanan (abad ke 13-17 sudah terbentuk kultur politik Islam berupa pemakaian simbol-simbol tradisi politik Islam, seperti penggunaan aksara Arab-Melayu untuk membuat dokumen resmi negara, penggunaan tahun Hijriyah untuk kalender resmi pemerintah, dan adanya masjid kerajaan. Sultan pada periode ini menjalankan dua fungsi utama, sebagai penguasa dan sebagai pelindung agama Islam. Pada zaman penjajahan Belanda, ketika Sultan kehilangan otoritas dan simbolsimbol Islam kehilangan makna pada abad ke 18, maka kekuatan Islam politik berada di tangan pribadi atau kelompok Islamis yang berada di luar struktur kesultanan. Dalam kondisi seperti ini, Islam digunakan sebagai acuan etika politik, sehingga kaum Islamis mengadakan perlawanan seperti diperlihatkan oleh kaum Paderi, ulama Aceh, Pangeran Diponegoro, dan ulama tarekat di Banten pada abad ke 19.
Karena para pemikir politik Islam berangkat dari keyakinan yang sama tentang keagamaan, yaitu Islam, dan mereka concern pada masalah yang sama, yaitu bagaimana mensenyawakan nilainilai Islam ke dalam realitas politik, maka mereka menempatkan Syari’ah sebagai basis moral dan politik untuk masalah-masalah politik Islam. Tetapi persepsi mereka terhadap Syari’ah dan bagaimana nilai-nilai Syari’ah tersebut diimplementasikan dalam kehidupan politik telah memunculkan keragaman pendapat.
Dengan demikian jika dilihat dari paparan di atas terkait dengan pemikirian Hasan Al-banna antara Politik dan Islam (Agama) penulis menarik kesimpulan bahwasanyajelas ruang lingkup dari Islam itu sendiri tidak memungkinkan untuk tidak menyentuh lingkup politik dan negara.
Hal ini juga terkait dengan aturan dalam Islam itu sendiri yang mengatur urusan-urusan yang memerlukan kekuasaan sebagai pelaksanaannya. Jadi agama dan politik mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan.Namun jika di telaah dari pemikiran Hasan Al-banna ini tentu salah satu sebagai bahan acuan untuk masyarakat Indonesia, meskipun kita adalah negara demokrasi, dan juga bukan Negara Agama, namun alangkah ilmiyahnya hubungan antara negara dan agama tidak bisa dipisahkan, serta saling membutuhkan di antara kedua ini.
KESIMPULAN
Keragaman pendapat ini menunjukkan bahwa tradisi pemikiran politik Islam itu kaya, beraneka ragam, dan lentur. Dilihat dari perspektif ini, dalam tulisannya, “Islam and Political Development”, Michael Hudson mengemukakan bahwa sebenarnya pertanyaan yang patut dikemukakan bukanlah yang kaku dan salah arah karena bergaya mendikhotomi, yakni ‘apakah Islam dan pembangunan politik itu bertentangan atau tidak,’ melainkan ‘seberapa banyak pemikiran Islam dan bagaimana yang sesuai dengan sistem politik modern.
DAFTAR PUSTAKA
- Abdul Halim Mahmud,Ali, Ikhwanul Muslimi Konsep Gerakan Terpadi, Jilid I dan II, terj.Masykur Hakim dan Ubaidillah, Jakarta : Gema Insani Press,1997
- Abdul Mu”iz Ruslan, Utsman Utsman, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin: Studi Analisis Evaluatif terhadap Proses Pendidikan Politik Ikhwan untuk para Anggota khususnya dan seluruh Masyarakat Mesir Umumnya, dari tahun 1928 hingga 1945, Solo: Era Intermedia, 2000
- Al-Banna, Hasan, Panggilan al-Quran, (Terj), Pustaka, 1998
- Al-Banna, Hasan, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Solo: Era Intermedia, 2005
- Azhar, Muhammad, Filsafat Politik, Perbandingan Antara Islam dan Barat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997
- Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Postmodernisme, Jakarta: Paramadina, 1996
- Abdullah, Taufik (ed). Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: MUI, 1992.
- Abdullah, Taufik. “Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara” dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddique (ed). Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES, 1989.
- Al-Marsudi, Subandi. Pancasila dan UUD 45 dalam Paradigma Reformasi. Jakarta: Rajawali Press, 2003.
- Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966- 1993), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999..
- Anwar, M. Syafi’i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995.
- Basyaib, Hamid dan Hamid Abidin (Ed), Mengapa Partai Kalah, Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu ’99 sampai Pemilihan Presiden, Jakarta: Alvabet, 1999.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H