Kedatangan Islam di berbagai daerah Indonesia tidaklah bersamaan. Demikian pula kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang didatanginya mempunyai situasi politik dan sosial budaya yang berlainan. Proses masuknya Islam ke Indonesia memunculkan beberapa pendapat. Para Tokoh yang mengemukakan pendapat itu diantaranya ada yang langsung mengetahui tentang masuk dan tersebarnya budaya serta ajaran agama Islam di Indonesia, ada pula yang melalui berbagai bentuk penelitian seperti yang dilakukan oleh orang-orang barat (eropa) yang datang ke Indonesia karena tugas atau dipekerjakan oleh pemerintahnya di Indonesia. Tokoh tokoh itu diantaranya, Marcopolo, Muhammad Ghor, Ibnu Bathuthah, Dego Lopez de Sequeira, Sir Richard Wainsted.[18]
 Karakteristik Politik Islam
      Upaya yang paling penting dalam menganalisis karakteristik pemikiran politik Islam dalam perspektif orientasi ideologis di antara gerakan-gerakan politik Islam adalah dengan kategorisasi. Upaya kategorisasi ini tidak bisa dihindarkan jika seseorang akan menganalisis suatu fenomena yang kompleks, seperti gerakan-gerakan Islam di seluruh dunia atau dalam suatu negeri Muslim tertentu.
      Pertama, paradigma Integralistik. Paradigma ini mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama (Islam) dan negara tidak dapat dipisahkan (integrated). Islam adalah din wa dawlah.  Apa yang merupakan wilayah agama juga otomatis merupakan wilayah politik atau negara, Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Antara keduanya merupakan totalitas utuh dan tidak dapat dipisahkan.
    Kedua, Paradigma Substantif. Pengikut paradigma ini mengajukan pandangan bahwa agama dan negara berhubungan secara mutualistik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling membutuhkan-menguntungkan. Dalam kaitan ini, agama membutuhkan negara. Sebab, melalui negara, agama dapat berbiak dengan baik. Hukum-hukum agama juga dapat ditegakkan melalui kekuasaan negara. Begitu juga sebaliknya, negara memerlukan kehadiran agama, karena hanya dengan agama suatu negara dapat berjalan dalam sinaran etik-moral.
     Ketiga, Paradigma Sekularistik. Paradigma ini menolak kedua paradigma sebelumnya; integralistik dan substantif. Sebagai gantinya, diajukanlah konsep pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara pada Islam, atau menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara. Agama bukanlah dasar negara, tetapi agama lebih bersifat sebagai persoalan individual semata.
 Penutup
       Karakteristik pemikiran politik Islam, yang secara esensial berhubungan dengan watak dari bentuk pemerintahan dalam Islam dan rekonsiliasi antara idealitas keagamaan dan realitas politik, telah menjadi masalah utama dalam pemikiran politik Islam dan telah menimbulkan berbagai macam solusi. Solusi- solusi ini berpangkal, utamanya dari penafsiran atas sumbersumber Islam al-Qur’an dan sunnah. Masalah ini, dan bagaimana kedua sumber tersebut diinterpretasikan oleh para pemikir politik Islam, keragaman kondisi politik dan budaya yang dihadapi oleh para pemikir tersebut juga mempengaruhi watak dari pemecahan masalah dan ekspresi dari pemikiran-pemikiran tersebut.
Islam politik masa kesutanan (abad ke 13-17 sudah terbentuk kultur politik Islam berupa pemakaian simbol-simbol tradisi politik Islam, seperti penggunaan aksara Arab-Melayu untuk membuat dokumen resmi negara, penggunaan tahun Hijriyah untuk kalender resmi pemerintah, dan adanya masjid kerajaan. Sultan pada periode ini menjalankan dua fungsi utama, sebagai penguasa dan sebagai pelindung agama Islam. Pada zaman penjajahan Belanda, ketika Sultan kehilangan otoritas dan simbolsimbol Islam kehilangan makna pada abad ke 18, maka kekuatan Islam politik berada di tangan pribadi atau kelompok Islamis yang berada di luar struktur kesultanan. Dalam kondisi seperti ini, Islam digunakan sebagai acuan etika politik, sehingga kaum Islamis mengadakan perlawanan seperti diperlihatkan oleh kaum Paderi, ulama Aceh, Pangeran Diponegoro, dan ulama tarekat di Banten pada abad ke 19.
     Karena para pemikir politik Islam berangkat dari keyakinan yang sama tentang keagamaan, yaitu Islam, dan mereka concern pada masalah yang sama, yaitu bagaimana mensenyawakan nilainilai Islam ke dalam realitas politik, maka mereka menempatkan Syari’ah sebagai basis moral dan politik untuk masalah-masalah politik Islam. Tetapi persepsi mereka terhadap Syari’ah dan bagaimana nilai-nilai Syari’ah tersebut diimplementasikan dalam kehidupan politik telah memunculkan keragaman pendapat.
   Dengan demikian jika dilihat dari paparan di atas terkait dengan pemikirian Hasan Al-banna antara Politik dan Islam (Agama) penulis menarik kesimpulan bahwasanyajelas ruang lingkup dari Islam itu sendiri tidak memungkinkan untuk tidak menyentuh lingkup politik dan negara.