Sahabatku yang berbahagia, mungkin Anda pernah, atau bahkan sedang mengalami sebuah tekanan atau tantangan hidup. Rasanya langit mau runtuh menimpa kepala kita. Biasanya apa yang terjadi ketika menghadapi tekanan semacam itu? Stres, depresi?
Scott Pect, penulis buku 'The Road Less Travelled' pernah mengatakan bahwa seseorang disebut depresi, ketika dirinya tidak mampu menerima kenyataan yang sedang dialaminya.
Rupanya dunia psikologi sudah membuat urutan tahapan ketika seseorang mengalami tekanan, meliputi:
1. Penyangkalan (denial),
2. Kemarahan (anger),
3. Tawar-menawar (negotiation),
4. Depresi (depression), dan
5. Penerimaan (acceptance)
Jadi depresi itu ternyata sebuah proses yang terjadi dalam rangka penerimaan sebuah tekanan.
Yang kita tidak tahu, ternyata filsafat Jawa juga memiliki banyak ajaran kebijaksanaan yang mencerminkan cara orang Jawa menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan hidup. Â Salah satunya adalah konsep 'Limo Ngo' yang meliputi: nglawan, ngamuk, ngalih, nglokro, dan nglakoni, yang menggambarkan tahapan-tahapan emosional yang dialami seseorang ketika menghadapi kepahitan.
Berikut penjelasan dari tahapan tersebut dalam konteks filsafat Jawa:
1. Nglawan: Tahap Penyangkalan (Denial)
Tahap pertama ketika seseorang mengalami kepahitan adalah penyangkalan. Orang tersebut berusaha menolak kenyataan, meyakinkan dirinya bahwa apa yang terjadi belum benar-benar nyata atau bisa dihindari.
Pada tahap nglawan, seseorang mencoba melawan kenyataan dan berusaha menyangkal masalah yang terjadi. Nglawan ini bisa dalam bentuk upaya meyakinkan diri sendiri bahwa masalah tersebut bisa dihindari, atau merasa bahwa keadaan buruk tersebut tidak mungkin terjadi. Penyangkalan menjadi cara awal seseorang untuk menghindari rasa sakit atau perasaan tertekan yang berlebihan.
2. Ngamuk: Tahap Kemarahan (Anger)
Ketika kenyataan tidak bisa lagi dipungkiri, seseorang mulai memasuki tahap kemarahan. Ini adalah fase di mana emosi negatif mulai muncul, biasanya dalam bentuk frustrasi, kemarahan, atau kebencian terhadap situasi atau pihak lain. Dalam budaya Jawa, fase ini dikenal dengan ngamuk, yang artinya meledaknya emosi yang tidak terkendali.
Ngamuk adalah reaksi yang sangat emosional terhadap ketidakadilan atau rasa ketidakberdayaan. Orang yang mengalami fase ini bisa melampiaskan kemarahan pada orang-orang di sekitarnya atau pada diri sendiri. Ini adalah respons yang manusiawi ketika seseorang tidak bisa menerima situasi yang menyakitkan, dan ngamuk menjadi ekspresi dari ketidakmampuan mereka mengendalikan emosi di tengah ketidakpastian.
3. Ngalih: Tahap Tawar-menawar (Negotiation)
Setelah kemarahan mereda, seseorang akan mencoba untuk bernegosiasi dengan kenyataan. Dalam filsafat Jawa, tahap ini disebut ngalih, yang artinya mencari jalan lain atau berpindah arah. Pada tahap ini, seseorang mulai mencari solusi atau alternatif untuk memperbaiki situasi.
Ngalih dalam tahap ini adalah bentuk negosiasi batin, di mana seseorang berusaha untuk membuat kesepakatan dengan keadaan atau bahkan dengan dirinya sendiri. Mereka mungkin mulai berpikir, "Bagaimana jika saya melakukan hal ini, mungkin situasinya bisa lebih baik?" atau "Jika saya mengubah sesuatu, mungkin saya bisa menghindari dampak buruk dari masalah ini." Ngalih adalah cara seseorang untuk menemukan jalan keluar atau cara agar masalah tidak terasa terlalu berat.
4. Nglokro: Tahap Depresi (Depression)
Ketika tawar-menawar tidak membuahkan hasil yang memuaskan, seseorang bisa jatuh ke dalam depresi. Dalam filosofi Jawa, fase ini disebut nglokro, yang berarti merasa lemah, tak berdaya, dan kehilangan semangat hidup. Ini adalah tahap yang paling berat dan menyakitkan dalam proses menghadapi kepahitan.
Pada fase nglokro, seseorang merasakan beban emosional yang sangat besar dan merasa tidak ada jalan keluar. Mereka mungkin merasa putus asa, kehilangan motivasi, dan menarik diri dari kehidupan sosial. Nglokro adalah fase di mana seseorang benar-benar merasa tidak berdaya menghadapi kenyataan yang ada, dan butuh waktu untuk bisa keluar dari keterpurukan ini.
5. Nglakoni: Tahap Penerimaan (Acceptance)
Setelah melalui berbagai emosi dan perjuangan, tahap terakhir adalah penerimaan. Dalam filsafat Jawa, ini disebut nglakoni, yang artinya menjalani atau menerima dengan ikhlas. Pada tahap ini, seseorang akhirnya mampu menerima kenyataan dan mulai hidup berdampingan dengan situasi yang sebelumnya dianggap sulit atau menyakitkan.
Nglakoni bukan berarti menyerah, melainkan menerima keadaan dengan penuh kesadaran dan ikhlas. Pada tahap ini, seseorang menyadari bahwa ada hal-hal yang memang tidak bisa diubah, dan yang terpenting adalah bagaimana menjalani hidup meski dalam kondisi yang tidak ideal. Nglakoni memberikan kedamaian batin karena seseorang telah melewati berbagai fase emosional dan akhirnya mencapai titik penerimaan.
Jadi Sahabatku, rupanya jalan yang jarang dilalui orang (Road Less Travelled) ketika menerima kepahitan hidup itu ada. Bahkan filsafat Jawa dengan konsep nglawan, ngamuk, ngalih, nglokro, dan nglakoni memberikan panduan tentang bagaimana seseorang secara alami menghadapi berbagai bentuk kepahitan hidup. Setiap tahapan emosi ini adalah bagian dari proses manusiawi dalam menghadapi kenyataan yang sulit. Dari melawan dan menyangkal kenyataan, meledak dalam kemarahan, mencari solusi, terpuruk dalam keputusasaan, hingga akhirnya menerima dan menjalani dengan ikhlas---semua tahapan ini membantu seseorang mencapai kedamaian dan keseimbangan batin.
Pesan dari salah satu guru saya, "Jika suatu saat kamu tertekan, kamu boleh kok nglawan, ngamuk, ngalih dan nglokro. Tapi ojo suwe-suwe (jangan lama-lama). Segeralah nglakoni, alias acceptance. Maka kamu akan menemukan kebahagiaan hidup sejati"
Semoga bermanfaat
Tabik
www.thecafetherapy.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H