Setiap getar-getir di dada, kupancarkan risauku ke langit sore,
Serupa geletar sinar yang menjalar, di dada senja yang gemetar.
Kekasihku, yang tetap kujaga dalam dadaku ialah sayap-sayap waktu;
detak-detik rindu yang tidak berhenti mendebarkan namamu.
Barangkali, seperti inilah rindu yang kumaksud,
jalannya sudah sempoyongan, tubuhnya gemetar,
tapi dadanya masih sanggup berdebar.
Senja berakhir, malam tiba.
di bawah tatapan lampu temaram, sepi mengajariku mencari terang,
meggelayuti tubuhku; yang telanjang disunyikan malam.
malam lebih terasa beku karena rindu.
kepalaku telaga bening, dan kau ikan yang tenang berenang,
dalam segala hal yang kurenungkan.
sebab itu kekasih, aku masih menjadikanmu api;
sebagai segala sesuatu, agar menyala di kepalaku;
membara, menjilat lantai sunyi dadaku.
Tetaplah menjadi kekasihku,
agar sunyiku dapat memaafkan kesedihanmu,
agar ketabahanku bisa mendoakan kebaikanmu.
masuklah kau dalam sajakku,
menjadi susunan kata, menjadi segala sesuatu,
segala hal yang kutuliskan, dengen cara paling tabah
Inilah puisi ketabahanku,
puisi yg bersemayam dalam dada kecemasanku,
ia tak pernah mengeluh, mendoakan kebaikanmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H