Kaum Adat, tanpa mandat dari Kesultanan mengundang pemerintah kolonial Belanda untuk terlibat. Pada 1821, pemerintah kolonial menandatangani perjanjian dengan Kaum Adat dan mengirimkan tentara ke perbukitan dan pelosok Minangkabau untuk memukul mundur pengaruh Kaum Padri.
Jatuh bangun pasukan Belanda melawan kekuatan kaum Padri membuat beberapa kekalahan fatal diantaranya meninggalnya Letnan Kolonel Raaff, terbununhnya  Mayor Frans Laemlin, diperparah dengan semakin menipisnya cadangan dana untuk perang.
Pada periode antara 1821 hingga 1833, dengan kekuatan mental baru yang didapatkan pemerintahan kolonial atas kemenangan Perang Jawa, tentara kolonial terus memperkuat korsa mereka untuk fokus pada Perang Padri, dengan kekuatan tambahan pasukan dari Kaum Adat.Â
Tuanku Imam Bonjol mengambil peran sebagai pemimpin Kaum Padri untuk melawan tentara Kolonial sekaligus saudara-saudara mereka Kaum Adat yang telah bersekutu dengan Belanda.Â
Kesadaran persaudaraan yang menggugah
Pada Periode antara 1833 hingga 1838, atas dasar rasa persaudaraan dan kesadaran akan kejinya politik adu domba Belanda, kekuatan Kaum Padri bersatu dengan kaum Adat matrilineal melawan pendudukan Belanda yang tanpa disadari telah mengakar kokoh akibat lemahnya persatuan antara dua kutub yang sama-sama kuat di ranah Minang tersebut.Â
Di lain pihak, Belanda pun memperkuat pertahanan dan serangan. Benteng-benteng di daerah Bukittinggi dan Batusangkar dibangun. Seakan terlambat, meski telah bersatu, Kaum Adat dan Padri tak bisa menghalau kekuatan Belanda yang telah terlanjur mengakar sehingga hampir semua tanah Minangkabau, hingga pelosok berhasil diduduki oleh Belanda.
Banyak dari  pemimpin kaum Padri dan Kaum Adat gugur dalam pertempuran. Pada16 Agustus 1837, pertahanan Imam Bonjol di Benteng Bonjol runtuh. Guna mempermudah aksinya, Belanda mengasingkan Tuanku Imam Bonjol ke Cianjur, Ambon hingga Manado, Sulawesi Utara. Â
Tak cukup sampai di sana, Â Belanda atas dalih untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, kemudian mewajibkan pribumi untuk menanam kopi dan diharuskan menjual hasil kopinya kepada Belanda dengan harga yang amat rendah -belakangan kebijakan ini kita ketahui sebagai gerakan Cultuurstelsel.
***
Kisah mengenai begitu kelamnya Sejarah Perang Padri patut menjadi pelajaran bagi kita bahwa sesungguhnya perpecahan sesama saudara satu bangsa bahkan satu iman justru akan mendatangkan keuntungan pada musuh yang sebenarnya.