“Iya.”
“Lha kok cuma dipegang-pegang dan dielus-elus sih?”
“Iya.”
“Hahahahahaha...” kali ini aku yang tertawa terbahak-bahak sampai perutku sakit. Hehehe, ini bukan tertawa sinisme lho. Aku benar-benar geli. “Mungkin, pundhak Pak Darjo dipegang-pegang dan dielus-elus oleh Pak Gubernur karena saking kagumnya dan saking bangganya dengan sifat enthengan berburu tikus dan memelihara kokok beluk,” kataku.
Walaupun sibuk menduduki jabatan ketua 12 organisasi, beliau masih kober (sempat) menjalani pekerjaan yang bagi anak/menantu, istri dan cucu-cucunya ndoresani (agak nista) menjadi pemburu tikus sawah. Pekerjaan ini menjadi renggan (tanggung jawab yang tidak bisa ditinggalkan barang sehari pun) pergi ke sawah tak memandang cuaca sedang mendung, hujan, badai, petir dan kilat.
“Kesabaran dan keteguhan hati saya dalam mengelola karantina/penangkaran sempat teruji ketika di sarang maxi sedang ada 18 ekor kokok beluk. Bayangkan Mas, satu ekor kokok beluk tak bakal kenyang kalau semalam hanya makan satu ekor tikus. Minim harus makan 6 ekor tikus dewasa. Berarti saya harus dapat 108 ekor tikus dewasa dalam sehari,” kata Pak Darjo dengan berapi-api.
“Ck ck ck ck...” aku berdecak kagum dengan jiwa volunteerism tinggi yang dimiliki.
“Kesabaran dan keteguhan hati makin diuji ketika orang rumah (istri dan anak cucunya mengoceh, ‘wis lah Pak, wis tua aja ngangsa mburu tikus bae. Ya nek terang, nek udan nyong kewatir mbok kesamber bledheg.’”
(Sudah lah Pak, sudah tua jangan terlalu bersemangat berburu tikus terus. Ya kalau terang, kalau hujan saya kewatir kalau kesambar petir).
“Tapi bagaimana lagi? Kalau saya tidak berburu tikus di sawah, nanti kokok beluk pada mati semua?“ Betul apa kata beliau.
Lantai sangkar maxi setiap hari harus dibesrihkan dari sisa-sisa potongan tubuh tikus cabikan burung hantu. Tak jarang, buntut tikus atau kaki tikus tidak termakan. Jika tidak segera dibuang akan menghadirkan aroma busuk. Kalau organ dalam tubuh tikus pasti habis dilalap, karena burung hantu terlebih dulu melahapnya.