Harusnya judul ini sedikit lebih jauh, dari Baubau ke Jakarta. Tapi karena informasi pelayaran yang acakadut, saya mau tak mau mencukupkan perjalanan sampai Makassar dulu
Sebenarnya yang saya incar adalah perjalanan kapal kelas I, namun yang tersedia hanyalah kapal tanpa kelas KM Nggapalu. Dulunya kapal ini menyediakan layanan kelas I dan II, namun kemudian sebagian besar kapal Pelni sekarang sudah tidak punya kelas lagi.
"Kalau mau pakai Kelas I, kakak harus tunggu tanggal 28 nanti, naik KM Sinabung. Itu ada kelas satunya," jawab penjual tiketnya.
Delapan hari lagi menunggu berarti cost menginap saya harus bertambah 8 x Rp 220 ribu. Hitung-hitungannya lebih ekonomis menyegerakan diri ke Makassar lalu naik pesawat. Lagipula ada undangan menghadiri konser dari Mas Ananda Sukarlan.
Kafe kecil ini bagus, karena terletak di sudut bangunan di lantai dua, sehingga kita bisa menikmati kapal-kapal kecil hilir mudik, sementara KM Nggapulu bersiap-siap menurunkan dan memuat kembali penumpang. Saya kembali mengisi waktu dengan menulis dan mencicil pekerjaan.
"Oh ini bapak salah naik dek. Bukan di dek 5 karena kasurnya nomor 2011. Turun lagi pakai tangga di tengah. Lalu ke paling ujung kapal," kata seorang penumpang di dek 5 dengan nomor kasur 5122 yang saya temui. Di sini nyaris seluruh dek terisi kasur yang saling bersebelahan.
Di dek 5, saya menemukan kasur saya sudah diisi orang lain. "Ya sudah diisi sebelahnya saja Pak. 2008," Katanya sambil menunjuk kasur paling ujung di dekat dinding kapal. "Boleh juga sih," pikir saya. Kalau di pinggir berarti saya harus berimpit-impitan nantinya karena antar kasur tidak diberi sekat. Mirip asrama haji atau barak.
"Bangun mas, udah selese.." Katanya mengingatkan. Seisi theater sudah kosong tidak ada penonton dan lampu sudah dinyalakan.
Malas balik ke tempat tidur dan ingin bebas dari kepengapan, saya keluar dan bertemu seorang pedagang minuman bernama Ivan. "Telinga saya agak susah mendengar, Pak. Bekas kena petasan waktu kecil," katanya meminta maaf dan menyeduh kopi yang saya pesan dengan nyaris berteriak.
"Kalau mau santai sedikit, minumnya di dek 7 saja. Ada kafe dan kursi di situ," Demikian petunjuk Mas Ivan sambil menunjuk tangga menuju ke atas. Saya ikuti petunjuknya, menuju pantat kapal.
Betul ternyata ada semacam tempat duduk panjang yang memungkinkan kita rebahan dan bersantai. Hanya saja kafenya sudah tutup.
Saya coba naik lagi, ternyata ada minimarket. Di sini tersedia es krim dan minuman dingin untuk yang kegerahan. Tapi harganya tentu agak mahal dibanding minimarket di daratan. Sebotol Aqua ukuran besar dihargai Rp 15 ribu.
Di dek ini, saya tertidur hingga pagi. Beberapa kali saya kebelet buang air, dan baru menemukan masalah di kapal bagus ini, kebersihan toiletnya!
Ya... tentu saja dengan jumlah toilet yang bisa dibilang minim, diakses ratusan orang, dan beberapa ada yang mampet, membuat saya agak mual menggunakan toilet di kapal ini. Tapi mau bagaimana lagi, tidak ada pilihan lain.
Mungkin akan bagus kalau disediakan urinoir, sehingga orang seperti saya yang agak jijikan tidak dipaksa menyaksikan pemandangan horor dari toilet mampet.
Pagi menjelang, saya mendengarkan kabar musibah dari Maya, menanyakan apakah Tommy Bernadus, Kompasianer partner saya dalam bertualang, baru saja meninggal. Karena kebetulan sedang di posisi laut yang sinyalnya sedang lemah, saya tidak bisa mengecek secara keseluruhan kabar tersebut.
Baru setelah makan siang saya bisa mengakses informasi dengan agak lancar karena kapal sudah mendekat ke Jeneponto. Saya tulis kalimat belasungkawa di media sosial.
Penjaga kafenya, seolah tahu hati saya sedang gundah, lalu memutarkan lagu jenaka yang hampir selalu saya dengar selama perjalanan keliling Sulawesi.Â
Su lama dekat hampir maso minta,Â
Hati so ancor mo kas salah siapaÂ
Ado Mama ini paling sial ow,Â
Su jaga bae-bae orang pu jodoh
Sungguh sebuah lagu yang ironis namun jenaka, menghilangkan sedikit kegundahan saya.Â
"Kepada seluruh penumpang dipersilakan mengambil makanan, gratis di dek 4. Silakan mengantri dengan tertib," pemberitahuan dari announcer mengagetkan saya.
Saya baru tahu bahwa dari harga tiket yang saya dapatkan, masih mendapat makan siang gratis. Walaupun antreannya mengular panjang, tapi saya agak terhibur dengan hiburan dangdut gratis yang disajikan oleh awak kapal.
Usai makan, penumpang tiba-tiba disuruh balik ke tempat tidur masing-masing. "Kami akan mengadakan sweeping," demikian pengumuman dari pengeras suara. Saya tanyakan dengan penasaran apa yang terjadi, dan penumpang yang masih makan di sekitaran tangga memberitahu bahwa ada pencurian.
Syukurnya karena hampir tiap sudut ada CCTV, pelakunya cepat tertangkap dan digelandang oleh pasukan polisi ke ruang tertutup. Penumpang yang merasa barangnya kehilangan, satu per satu dipanggil dan dikembalikan barang miliknya.
Lumayan juga, ada laptop, HP, dan uang tunai jutaan. Semua dilakukan saat semua orang terlelap. Padahal sudah berkali-kali diumumkan bahwa tidak boleh mengisi baterai HP saat sedang terlelap, karena mudah sekali diambil orang jahat.
Inilah risikonya kalau naik kapal dalam keadaan berdesak-desakan. Harusnya kita sangat awas terhadap barang bawaan berharga. Namun, sekali lagi, dengan bantuan teknologi yang terpasang hampir di setiap sudut kapal, pelakunya dengan mudah tertangkap.
Di luar itu semua, transportasi kapal tidak selambat yang sering dibayangkan orang. Setidaknya dibanding saya harus berputar-putar lagi dari Kendari, melalui jalur darat ke Makassar, yang harusnya memakan waktu sekitar 1,5 sampai 2 hari, maka dengan Kapal Laut dari Pelni, cukup ditempuh dalam 16 jam.
Maka demikianlah petualangan saya dalam perjalanan Baubau ke Makassar. Luar biasa berkeringatnya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H