Berita menyebutkan makam almarhum yang beragama minoritas, Albertus Slamet Sugihardi, ada di pojokan, dipisahkan dengan jatah makam warga yang lain. Agak lama saya mencari dari pojok satu ke pojok lainnya.
Sampai ke ujung belakang pemakaman. "Kok ga nemu juga, ya?" Pikir saya. Sementara mentari terus beranjak ke ufuk barat, rasa gatal terus menyerang betis saya, karena nyamuk makin mengganas.
Warakadah, ternyata makam Pak Slamet, demikian almarhum biasa dipanggil warga, ada di bagian paling depan. Tidak pula disisihkan di pojokan, sama sekali.
Di depan, belakang, kanan, dan kirinya kuburan warga sekitar, sehingga bisa disimpulkan posisinya biasa aja, membaur dengan yang lain. Dengan demikian justru paling mudah diakses dan dikunjungi dibanding makam-makam lainnya yang ada di belakang.
Setelah berdoa dan mengantarkan alfatihah untuk kebaikan sang almarhum, saya mengitari kembali pemakaman ini, untuk bisa memahami seperti apa sebenarnya kasus pemancungan salib tersebut.
Sisa lainnya malah seperti nisan Eropa, karena bangunan semennya menutupi seluruh bidang kubur, dengan bentuk kotak polos. Ini mirip dengan nisan-nisan ala Belanda yang saya menjadi bahan skripsi dulu di Museum Prasasti.
"Ya, Makam Jambon itu sebenarnya netral saja. Tapi kebetulan karena nyaris seisi kompleks ini muslim, maka isi kuburannya pun jenazah-jenasah orang Islam," Kata Mbah San, seorang warga cukup senior yang merebus air di dalam teko di pinggir jalan untuk menjamu saya di kedainya.
Sambil menunggu masanya makan malam, saya memesan sambel belut ditemani tempe gembus dan nasi kucing, yang disiapkan dengan cekatan olehnya. Â