Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menziarahi Makam Jambon, Memaknai Ulang Toleransi

26 September 2019   20:17 Diperbarui: 27 September 2019   01:57 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sambal-belut2-5d8cb74d0d823043c31b98c2.jpeg
sambal-belut2-5d8cb74d0d823043c31b98c2.jpeg
"Lalu kesepakatan yang diributkan itu?" Tanya saya sambil menyuap kepalan nasi pertama. Mbah San memberikan sesendok sambel belutnya. Saya coba, ternyata pedas luar biasa! Beda dengan sambel belut yang saya coba di Lapangan Kottabarat di Solo.

"Kesepakatannya sebenarnya cuma berdoanya cukup di rumah saja. Yang di pemakaman tidak usah." Untuk hal seperti ini saya merasa wajar. Makam Jambon sebenarnya sempit dan dikelilingi perumahan padat. Ukuran pemakaman ini hanya sebesar lapangan tenis. Sisanya bangunan-bangunan khas kuburan jawa kuno, yang di dalamnya juga kuburan.

Sehingga bisa dipahami kalau orang sebaik ini bila seluruh kerabat, teman, saudara, dan semua orang yang pernah dia tolong menyanyi dan berdoa bersama, seperti biasanya orang kristen memakamkan saudara seagamanya. Tentu akan penuh sesak dan akan mengganggu orang yang tinggal di balik dan seberang pemakaman.

"Semua sudah disepakati para tetua kampung, tokoh masyarakat, tetangga, dan tentunya keluarga. Itu saja kesepakatannya tidak ada yang lain." Mbah San lalu mencemplungkan gula batu dan mengaduk cangkir teh saya.

"Lalu soal nisan salib yang terpotong itu, bagaimana?"

"Nah itulah dia, yang tidak dibicarakan sebelumnya. Coba ngomong dulu mau pakai nisan salib kepada kita semua. Ini kan tidak, akhirnya tiba-tiba di tengah proses pemakaman kami cuma menemui nisannya sudah terpotong begitu saja. Tidak tahu juga siapa pelakunya," Jawab Mbah San.

"Iya yang saya lihat warga lain pun netral-netral saja bentuk nisannya, tanpa identitas agama. Adanya malah makam Jawa." Timpal saya.

"Itu kamu mengerti," Jawab Mbah San. Alisnya dinaikkan, sehingga keningnya berkerut panjang. sebagai tanda setuju. Matanya berbinar karena saya menangkap penjelasannya.

Memang kalau dibandingkan dengan semua makam yang ada di situ, memasang nisan salib yang ukurannya besar seperti yang hingga kini tertancap di kuburan beliau, akan tampak sangat mencolok. Karena itulah mungkin salib itu kemudian dipotong dan ditancapkan begitu dalam ke tanah, sehingga bentuknya menjadi mirip dengan nisan-nisan yang lain.

"Andai keluarga meminta izin dan memberitahukan akan memasang salib, mbah bakalan setuju?" Tanya saya menguji.

"Kalau ditanya ke saya ya saya sudah bilang, saya ini tidak hendak mengurusi iman bebtuk kubur orang. Silakan saja. Itu masalah iman di hati masing-masing," Jawab Mbah San.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun