Itulah teknik berdagang ala dunia timur yang dikuasai oleh bukibuk, alias pasar feminim, kata Mas Kokok Herdhianto Dirgantoro yang memberikan istilah untuk membedakan dengan pasar ala dunia barat yang maskulin, dikuasai laki-laki, serba fix, semua harga terdaftar, dan sulit untuk ada tawar menawar dan pertukaran jasa. Ilmu ini saya dapatkan dari Mas Kokok.
Selesai belanja semua bahan dengan total sekitar Rp 700 ribu, saya sewa jasa kuli panggul, alias Tukang Son, kalau bahasa warga setempat. Padahal hitung-hitungannya untuk memberi makan 100 orang butuh Rp 1 juta. Karena ditawar dan ada berbagai pertukaran jasa dan informasi, maka ada selisih Rp 300 ribu. Inilah yang nantinya akan dibayarkan kepada bukibuk pengungsi yang memasak.
Tidak butuh lama karena namanya juga bukibuk, sudah biasa memasak banyak untuk keluarga besarnya. Jadi disuruh masak 100 orang buat mereka perkara enteng. Tinggal jalankan tugas masing-masing dan jadilah itu masakan. 100 porsi. Mereka semua berdaya!
Beberapa kali saya buat aksi #3lauk10ribu, saya selalu dimaki karena dianggap pelit cuma budgetin 10 ribu per porsi. Makanannya dihina dina karena dituding cuma kasih ikan teri atau ikan cuek. Fitnah yang luar biasa dari haters, karena kenyataanya yang diberikan adalah 3 lauk yang mewah. Satu lauk yang paling mahal, satu sedang, dan satu murah.
Terjemahannya bisa apa saja. Kalau di Jakarta, saya bisa belanja di Pelelangan Ikan, menawar langsung ke tokek pemilik storage ikan. Dan saya tahu orang China selalu murah hati kalau kita bilang mau bikin bantuan. Saya bisa menyakikan mulai dari ikan tuna hingga ikan selar.
Cari punya cari, di Tenda Santong ada dua orang bukibuk, atau lebih tepatnya neknenek bernama Bu Murni dan Bu Aen. Satu pedagang sembako, satu tukang masak jempolan. Dari Bu Murni, saya beli segala keperluan  bumbu, dan lainnya. Bu Murni saya minta organize bukibuk dan tentukan resep. Turun sedikit ke arah Kayangan, ketemu nenek-nenek penjual tempe. Ada 20 papan dari warungnya yang sepi pembeli. Karena sepi, si ibu pengungsi menjual tempe-tempenya murah. Rp 2000-3000 sepapan. Karena bilang untuk pengungsi, dia tambahkan lagi beberapa papan.
Dengan demikian mereka bisa dapat uang cash untuk belanja lagi ke pasar, ketimbang bahan makanan itu cuma menganggur. "Beras beli saja dari tenda saya, ada ini 25 kilo, cukuplah untuk 100-200 orang." kata Bu Murni yang berdagang sembako. Lalu tambahkan sedikit beras yang saya ambil dari tenda PMI.
Saat turun ke daerah Pamenang untuk mengambil uang di ATM, di jalan saya bertemu Pak Juniadi, peternak ikan nila yang kebingungan karena air bersih dan pakan ternak langka. Ia menjual murah seluruh ikannya karena butuh uang tunai. Kita borong lagi 6 kilogram. Dapat Rp 300 ribuan, ia tersenyum lebar.
Dan akhirnya terkumpul berbagai bahan makanan yang lumayan untuk memberi makan sekitar 300-400 orang. Menunya? Serahkan saja ke bukibuk! Mereka sudah tahu resepnya. Akhirnya jadilah Sop Gajih Kambing, Gulai Kambing, Orek Tempe Goreng, Telur Rebus, Ikan Nila Goreng, Acar Wortel dan Timun, dan dihiasi sambal beberuk ala Lombok yang pedas luar biasa.