Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Ingin Bantu Lombok? Berwisatalah di Tengah Bencana

31 Agustus 2018   11:43 Diperbarui: 31 Agustus 2018   11:53 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukan, saya bukan menganjurkan wisata bencana ke Lombok. Bukan maksudnya manteman disarankan mengeksploitasi penderitaan para pengungsi untuk foto-foto pencitraan tanpa meninggalkan bantuan.

Saat terjadi gempa Lombok, saya sedang menyiapkan tour #1000kmJKW yang kedua. Sebelumnya di Sumatera yang bisa dibaca di tulisan-tulisan saya sebelumnya. Untuk trip kedua ini saya menjelajahi Jawa, dari Jakarta hingga Jawa Timur. Singgah sebentar di Jogja untuk membantu meramaikan event Literasi Digital Inklusif di Sleman. Saat Mas Kokok Dirgantoro saya ceritakan rencana ini, ia tertarik. 

Kebetulan memang ingin bertemu teman-teman Jogja juga, katanya. Mas caleg sugih dari PSI ini lama terkapar karena sakit sehingga membuat teman-temannya khawatir. Jadi sekalian menyambung kembali tali silaturahmi, saya bawa Mas Kokok untuk menikmati perjalanan darat mengunjungi kebun bawang di sekitar Brebes, pasar tradisional, hingga makan jamur di Muntilan, menuju Temanggung. Lalu menghirup kopi dan bertukar cerita tentang tembakau super mahal di Srintil. Berakhir dengan kunjungan ke fasilitas pengolahan biogas. Semua tempat atas request Mas Kokok sendiri. 

Lepas dari mengantar Mas Kokok ke bandara untuk pulang ke Jakarta, saya jadi bengong sendiri. "Lah mau ngapain lagi nanti sampai di Banyuwangi?" Soalnya terus terang saya tidak punya plan jelas di Jawa. Di Sumatera saya hapal titik-titik yang mau diceritakan. Tapi Jawa? Banyuwangi sama Banyumas saja saya tertukar dan  jadi bahan tertawaan haters di twitter. Hahaha. 

dokpri
dokpri
Butuh sekitar setengah hari perjalanan dari Banyuwangi ke Lombok. Setelah menyeberang ke Bali, seorang teman kuliah bernama Hetty yang menjadi seniman di sana menyisipkan lima lembar uang merah. "Terserah mau diapakan," katanya. Saya janjikan uang tersebut tidak akan saya gunakan untuk kepentingan pribadi, tapi disalurkan ke pengungsi Lombok. 

Sampai di Padang Bai, mobil diperiksa polisi karena mengularnya mobil bantuan untuk Lombok. Petugas yang memeriksa terkejut melihat saya dengan tampang slengekan "Dari Jakarta ini? Sendirian". "Iya pak, bawa titipan bantuan dari teman-teman." Sambil mengacungkan jempol, ia mengembalikan SIM dan STNK saya. Ya, bantuan ke Lombok tidak pernah kurang, justru bertumpuk dan antri. Di pelabuhan Lembar, sudah jelas tertera peta dari BNPB, menjelaskan titik-titik mana saja bantuan mesti disalurkan. 

dokpri
dokpri
Perlahan-lahan, setelah berkeliling Lombok, saya jadi sadar, harusnya saat ini Lombok masuk fase pemulihan atau pasca bencana. Betul ada gempa-gempa susulan, namun sebenarnya gempa kecil yang sudah tidak semenakutkan yang pertama, walaupun kita semua tetap harus waspada. 

Saat saya bertanya ke teman-teman yang sudah lebih dulu terjun, jawaban mereka dari hari ke hari tetap sama. "Terpal kurang, kirimkan beras, minyak goreng, pembalut, dan lainnya." Nah lho.. sampai minggu-minggu setelahnya masih saja minta hal yang sama, berarti ada yang janggal dengan Lombok ini. 

Sesampai di Mataram, saya tanyakan ke Ibu-Ibu penjual nasi pepes tai minyak di  Gomong. "Ya ada.. gempa sebenarnya jarang. Tapi hampir tiap gempa warga ditipu penjahat." Saya berkerinyit. "Pernah saya sedang jualan, sekampung lari semua ke atas. 

Ternyata mereka baru saja melihat ada orang pakai motor klakson-klakson. 'Air naik...! Air naik..!' katanya. Balik-balik motor sudah hilang 6 buah." Katanya terkekeh, miris. Saya jadi menyadari jahat dan kejinya menyebarkan berita bohong dan ramalan-ramalan gempa yang selama ini kita lakukan di media sosial. 

Warga Lombok mengungsi sebagian besar bukan karena tidak punya rumah. Memang ada yang homeless karena rumahnya runtuh. Namun bukan itu problem utama di Lombok. Sebagian warga justru beraktivitas normal, ada di rumah saat siang, sebagian kecil yang bertani tetap menggarap kebun dan sawah, yang berdagang di pasar tetap ke pasar, tapi balik lagi ke pengungsian saat sore hari. 

Ya, mereka mengungsi lebih karena takut gempa terulang. Bukan karena gempa itu sendiri. "Kami kalau malam mengungsi ke lapangan tenis ini. Siang balik lagi kerja seperti biasa. Takutnya nanti waktu tidur ada gempa atau peringatan tsunami, tidak bisa dengar," kata Bu Mardiah. Melihat saya pakai baju #JKWadalahkita, dia usil minta rumah karena selama ini dia tidak punya rumah. Saya tertawa dan merekam requestnya lewat video yang kemudian dimentionkan ke akun @jokowi.

Fenomena trauma ini tidak sekedar terjadi di Mataram saja. Ada yang menuding pengamatan saya karena hanya terjun di Mataram. Keliru. Saya sudah sampai Santong, yang letaknya di Lombok Utara, yang merupakan salah satu lokasi yang terparah. Di sana saya bertemu relawan lokal, Akhwan, yang terjun hingga ke pelosok-pelosok Lombok Timur, sejak bantuan belum bisa masuk ke sana. "Betul, Bang!" katanya, "Problemnya adalah warga ketakutan kembali ke rumah."

Saya lihat ada beberapa sebab warga enggan balik ke rumahnya dan hidup normal seperti biasa.

Pertama, keusilan sebagian dari kita di Luar Lombok, terutama ibukota Jakarta, yang berusaha kelihatan pintar dan intelek, sibuk menyebar ramalan-ramalan gempa yang diprediksi akan terjadi lagi dalam waktu dekat, dengan alasan Indonesia itu ring of fire, rawan bencana, sedang ada pergerakan lempeng bla bla.

Media tidak mau ketinggalan dalam kontes adu bodoh ini. Berita-berita dikemas dalam headline yang bombastis. Jalan retak karena tanah amblas dibuat headline semacam Bumi Lombok Terbelah dan Menganga. Padahal ya cuma jalan retak. Tapi dibuat seolah mobil bisa tertelan masuk dalam retakan itu. Wong kambing aja ga akan bisa ketelan, apalagi mobil...

Maksudmu baik, supaya semua waspada. Tapi di lapangan "kebaikan" bin kebodohan itu ditelan mentah-mentah oleh warga pengungsi, sehingga mereka ikut-ikutan parno. Ingat sebagian dari mereka punya media sosial lho. Mereka membaca analisa penuh kebodohan bertopeng kepintaran yang kalian sebarkan itu..

Saya jadi harus berkali-kali menyadarkan warga bahwa gempa itu sama sekali tidak bisa diramal. Tidak ada yang namanya prediksi gempa. Seorang profesor ahli peneliti gempa sekalipun akan angkat tangan kalau ditanya kapan, di mana, pukul berapa gempa berikutnya terjadi. There is no such thing!

Lalu apa alasan lainnya mereka masih mengungsi? Karena di pengungsian mereka masih dimanja bantuan. Masih bisa dapat beras, telur, baju dll secara gratis. Malaskah mereka? Bukan malas. Tapi dikondisikan malas. Hampir tidak ada yang perlu mereka lakukan di tenda-tenda selain melamun dan menunggu. Toh nanti akan ada relawan datang memberikan sembako gratisan. 

Itulah yang membuat sebagian dari mereka emosi. DiPHP akan dapat ini itu, lalu mereka berpangku tangan menunggu bantuan itu datang. Lalu ternyata janji-janji bantuan itu tidak terpenuhi. Lalu jalan diblokir, warga demo, mobil bantuan distop dan dijarah.

Saya coba konfirmasi lagi ke Akhwan, si relawan lokal. Betul lagi, katanya. "Karena termanja oleh bantuan, beberapa warga mulai kecanduan. Sebenarnya sudah terima, lalu ngaku belum." Mereka minta bantuan lagi dan lagi. Dalam kondisi ini, apa yang terjadi? Bantuan hanya akan tersalur ke tempat yang paling dekat dengan pelabuhan. Itulah kenapa Mataram cepat tertangani, Lombok Utara lambat, dan Lombok timur paling tersendat. Bukan salahnya pemerintah.

Bukan apa-apa. Yang paling dekat jaraknya dengan pelabuhan ya Mataram. Bantuan itu dicegat dan dimintai sejak awal berjalan. Ujungnya ya sudah habis sebelum sampai Lombok Utara dan Timur.

Itulah penyebab video-video protes warga yang viral selama gempa. Merasa ga kebagian. Yang sudah kebagian, kecewa kenapa ga kebagian lagi. Begitu terus sampe Lebaran Kuda.

Salahkah mereka? Tidak.. sebagian dari kesalahan itu justru akibat perlakuan kita sendiri ke warga pengungsi. Kitalah yang menciptakan suasana chaotic tersebut. Kita yang sibuk memberikan bantuan instan yang "tingal lep.."

Penyebab ketiga ada kaitan erat dengan yang sebelumnya. Lombok adalah Pulau Wisata. Pertaniannya sudah disalip penghasilan dari wisata. Maka saat wisata hancur-hancuran setelah gempa, mereka kebingungan mau ngapain. 

Para pengrajin, pengusaha makanan, tukang sablon, supir, tour guide dll, semua patah arang. Stres dan lesu menjangkiti mereka. Ya gimana engga? Anak istru butuh makan, sementara pemasukan nihil. Terpaksa diam di tenda menunggu kondisi membaik. Tabungan nyaris tak berguna karena ATM banyak mati.

Mereka tentu ingin berdaya. Ingin mandiri, tidak dimanjakan. Satu per satu buka warung di tengah-tengah tenda pengungsian. Tapi ya namanya orang sama-sama susah, sama-sama ga berduit, siapa juga yang mau beli? Terpaksalah mereka melamun menunggui daganganya ga dibeli-beli. Relawan banyak yang sibuk makan makanan jatah mereka sendiri. Padahal pengungsinya jualan. Cape-cape buka warung, masak, ga ada yang beli, akhirnya basi. Pengennya untung malah buntung..

Ya akhirnya jadi lingkaran setan pemanjaan pengungsi.

Singkatnya, pengungsi itu short of cash. Relawan yang ada belum sadar atau bahkan tidak ambil pusing dengan kondisi mereka. Yang dilakukan masih konvensional, mendata berapa banyak jumlah pengungsi, lalu hitung berapa beras, mi instan yang dibutuhkan, lalu bagikan.

Terjun langsung ke pengungsi itu hal mulia untuk dilakukan, tapi hati-hati, karena bisa jadi niatnya benar, tapi eksekusinya salah. Sehingga alih-alih membantu, kita malah membuat mereka makin terjerembab dalam penderitaan. 

Mereka makin jauh bergantung dan semakin bergantung dengan bantuan, hingga akhirnya ga bisa lagi melakukan apa-apa, atau lebih tepatnya terkondisi untuk tidak bisa melakukan apa-apa.

Tidak salah membagikan mi instan dan sembako, tapi itu harusnya hanya dilakukan saat gempa terjadi. Kalau 2-3 mingu setelah bencana masih juga sibuk membagikan sembako, tidak ada upaya menyiapkan mereka untuk kembali ke rumah, tidak menyiapkan mereka untuk kembali mandiri, berarti ada sesuatu yang salah dengan penanganan bencana kita.

Itulah yang menginspirasi saya untuk membuat aksi #3lauk10ribu yang sebelumnya sudah sukses dilakukan untuk memberdayakan ibu-ibu di rumah susun, bekas gusuran Kalijodo. Kondisinya mirip, pasca penggusuran, mereka kesulitan mendapat pekerjaan di rumah susun. Short of cash, mereka dilarang balik ke profesi lamanya, melacur di rumah susun. 

Lah tidak punya keahlian lain, akhirnya terpaksa bergantung ke rentenir yang bagikan bantuan instan dengan niat jahat menjerat mereka dalam pinjaman tak berujung, dengan bunga nyaris 50% seminggu. Seminggu!

Terakhir saya bereksperimen dengan bukibuk mantan penghuni Kalijodo di Rusun Pulogebang, mereka sanggup sediakan 1000 porsi #3lauk10ribu untuk 17 Ramadhan di Masjid Luar Batang. Bayangkan, mantan p*lacur memberi makan jamaah masjid paling keramat di Jakarta dan anak yatim di malam lailatul qadr. Saya kok yakin bukibuk itu akan diampuni kesalahannya oleh Tuhan dan masuk surga semua... Dan dapat upah hingga Rp 5 juta pula!

Maka saya coba eksperimen dulu di pengungsi di Islamic Center NTB. Mereka tidak terlalu ribet dengan penderitaan gempa karena tendanya ada di sebelah kompleks rumah. Saya coba ajak bicara bukibuk setempat. Saya perhatikan mereka sangat sibuk, sibuk menunggui warung daruratnyya yang sepi sambil melamun.

Saya tanya, "Siapa di sini yang jago masak?'. Satu orang Ibu yang terbiasa jualan nasi di sekolah, didaulat jadi kepala koki. Lalu tanpa diperintah, mereka otomatis sudah tahu dan bagi tugas, siapa mengerjakan apa. Satu orang komandan tukang bungkus, satu orang tukang potong-potong, satu merebus telur dan ngaduk-ngaduk. Percayalah dengan the power of bukibuk. Mereka selalu tahu apa yang harus dilakukan! 

Bantuan saya tidak sebesar relawan-relawan lain. Cuma Rp 1 juta, karena uang saya sudah habis dibelikan mainan untuk anak-anak pengungsi dan menyeberang (menyeberang dari Bali ke Lombok butuh Rp 910 ribu, sementara dari Banyuwangi ke Bali butuh Rp 150 ribuan).

Tapi saya ingin mereka berdaya, mendapat manfaat maksimal, dengan uang sesedikit itu. Cuma dengan Rp 1 juta, kita bisa tolong 100 orang untuk makan enak, tiga lauk. Dan yang masak diupah Rp 300 ribu. Cukup sehari dapat Rp 300 ribu. Jumlah yang luar biasa besar bagi bukibuk yang sudah 2 minggu melamun menunggui dagangan kopinya, nyaris tanpa ada pembeli.

Syarat utama kesuksesan #3lauk10ribu adalah penyumbangnya ga boleh tahu beres. Kita harus kontrol ketat harga beras, lauk, bumbu, dan sayurannya. Bukan apa-apa, dari beberapa kali pengalaman, bukibuk punya kelemahan, senang markup! Harga ayam cuma 32 ribu, misalnya, bisa jadi dibilang 40 ribu. Itu wajar saja, dan bukan dosa. 

Namanya juga orang lagi butuh duit, pasti butuh mencari keuntungan, minimal ga rugi, transportasi mereka harus diganti. Tapi praktik seperti ini mengacaukan perhitungan budget, dan akhirnya yang rugi mereka juga. Soalnya nanti upah mereka dihitung dari selisih uang Rp 10 ribu per porsi yang diberikan donatur dengan biaya memasak real mereka.

Maka yang harus belanja adalah saya. Bukan bukibuk. Beli sendiri ke pasar terdekat, saya pilih bukibuk yang sebenarnya juga pengungsi. Dapat harga telur Rp 24-25 ribu sekilo. Nah di sinilah tekniknya. Karena bukibuk itu sendiri pengungsi, maka saya bilang saya mau belanja untuk makanan pengungsi. 

Merasa senasib sepenanggungan, ia dengan spontan memberi harga diskonan. Rp 23-24 ribu sekilo! Dan tentu tidak begitu saja saya manfaatkan untuk berpelit ria. Setelah ditawar murah, sisa uangnya kita pakai lagi untuk jasanya yang lain. Minta carikan kertas bungkus makanan, carikan tukang angkut, minta informasi sana sini, dan lainnya. Kita bayarkan uang lebih untuk jerih payahnya itu. Bukan main senangnya si Ibu saat tahu saya melebihkan total uang belanjaan kepadanya!

Hal sama terjadi dengan penjual ikan tuna yang saya beli. Awalnya berikan harga Rp 55-60 ribu per kilogram. Tapi saat tahu saya ingin memberikan makan ke pengungsi, lalu dilebihkan daging lain-lainnya, sehingga ujungnya dapat murah. Lalu dia bersedia luangkan waktunya beberapa menit untuk diwawancara. Saya bayarkan lebihan untuk sedikit keringatnya itu. Kita bisa mendapatkan berbagai manfaat yang saling dipertukarkan.

Itulah teknik berdagang ala dunia timur yang dikuasai oleh bukibuk, alias pasar feminim, kata Mas Kokok Herdhianto Dirgantoro yang memberikan istilah untuk membedakan dengan pasar ala dunia barat yang maskulin, dikuasai laki-laki, serba fix, semua harga terdaftar, dan sulit untuk ada tawar menawar dan pertukaran jasa. Ilmu ini saya dapatkan dari Mas Kokok.

Selesai belanja semua bahan dengan total sekitar Rp 700 ribu, saya sewa jasa kuli panggul, alias Tukang Son, kalau bahasa warga setempat. Padahal hitung-hitungannya untuk memberi makan 100 orang butuh Rp 1 juta. Karena ditawar dan ada berbagai pertukaran jasa dan informasi, maka ada selisih Rp 300 ribu. Inilah yang nantinya akan dibayarkan kepada bukibuk pengungsi yang memasak.

Tidak butuh lama karena namanya juga bukibuk, sudah biasa memasak banyak untuk keluarga besarnya. Jadi disuruh masak 100 orang buat mereka perkara enteng. Tinggal jalankan tugas masing-masing dan jadilah itu masakan. 100 porsi. Mereka semua berdaya!

Beberapa kali saya buat aksi #3lauk10ribu, saya selalu dimaki karena dianggap pelit cuma budgetin 10 ribu per porsi. Makanannya dihina dina karena dituding cuma kasih ikan teri atau ikan cuek. Fitnah yang luar biasa dari haters, karena kenyataanya yang diberikan adalah 3 lauk yang mewah. Satu lauk yang paling mahal, satu sedang, dan satu murah.

Terjemahannya bisa apa saja. Kalau di Jakarta, saya bisa belanja di Pelelangan Ikan, menawar langsung ke tokek pemilik storage ikan. Dan saya tahu orang China selalu murah hati kalau kita bilang mau bikin bantuan. Saya bisa menyakikan mulai dari ikan tuna hingga ikan selar.

dokpri
dokpri
Di Lombok, yang disajikan di Mataram adalah Ikan tuna, telur, dan tempe, plus sayur supaya makin bergizi dan beritamin. Tidak layak di mananya? Di Santong, aksi #3lauk10ribu kedua, saya malah memanfaatkan daging 1/3 kambing jatah saya karena ikut berqurban (anggap saja gratis). Saya berqurban dua ekor kambing (1 ekor titipan dari teman di Jakarta). Maka dapat sekitar 5kg daging kambing. Sekalian saya minta bagian-bagian yang biasanya kurang diminati seperti gajih, kaki, jeroan, hingga usus. Dapatlah sekitar 10 kg.

Cari punya cari, di Tenda Santong ada dua orang bukibuk, atau lebih tepatnya neknenek bernama Bu Murni dan Bu Aen. Satu pedagang sembako, satu tukang masak jempolan. Dari Bu Murni, saya beli segala keperluan  bumbu, dan lainnya. Bu Murni saya minta organize bukibuk dan tentukan resep. Turun sedikit ke arah Kayangan, ketemu nenek-nenek penjual tempe. Ada 20 papan dari warungnya yang sepi pembeli. Karena sepi, si ibu pengungsi menjual tempe-tempenya murah. Rp 2000-3000 sepapan. Karena bilang untuk pengungsi, dia tambahkan lagi beberapa papan.

dokpri
dokpri
Telur? Sayur? Bumbu? Tinggal kita data saja dari tiap tenda. Sebenarnya bukibuk menyimpan stok pangan di tenda untuk makan keluarganya. Memang jumlahnya tidak besar. Ada yang cuma setengah kilo, seperempat kilo. Ada yang cuma 3-4 butir telur. Tapi saya pesan kepada mereka, kumpulkan saja persediaan itu! Kalau masih kurang, baru belanja di pasar. 

Dengan demikian mereka bisa dapat uang cash untuk belanja lagi ke pasar, ketimbang bahan makanan itu cuma menganggur. "Beras beli saja dari tenda saya, ada ini 25 kilo, cukuplah untuk 100-200 orang." kata Bu Murni yang berdagang sembako. Lalu tambahkan sedikit beras yang saya ambil dari tenda PMI.

Saat turun ke daerah Pamenang untuk mengambil uang di ATM, di jalan saya bertemu Pak Juniadi, peternak ikan nila yang kebingungan karena air bersih dan pakan ternak langka. Ia menjual murah seluruh ikannya karena butuh uang tunai. Kita borong lagi 6 kilogram. Dapat Rp 300 ribuan, ia tersenyum lebar.

Dan akhirnya terkumpul berbagai bahan makanan yang lumayan untuk memberi makan sekitar 300-400 orang. Menunya? Serahkan saja ke bukibuk! Mereka sudah tahu resepnya. Akhirnya jadilah Sop Gajih Kambing, Gulai Kambing, Orek Tempe Goreng, Telur Rebus, Ikan Nila Goreng, Acar Wortel dan Timun, dan dihiasi sambal beberuk ala Lombok yang pedas luar biasa.

Lalu dalam sekejap terciptalah pengungsi-pengungsi yang berdaya. Bukibuk yang super strong, jauh lebih strong dari pakbapaknya yang masih melamun mau cari kerja apaan untuk menafkahi keluarga. Tenda di sekitar tenda Bu Murni lalu riuh dengan suara bukibuk yang memotong bawang, sayur, daging dan sebagainya, diiringi teriakan anak-anak mereka yang bermain. Bukibuk memang tak sebesar pakbapak tenaganya, tapi soal keuletan, mereka tiada tandingannya... Pakbapak seperti kita malah lebih loyo.

Nah karena porsi yang dimasak lebih besar, dan daging kambingnya bisa dibilang gratis karena hasil kewajiban menyembelih hewan kurban, maka bukibuk di Santong dapat selisih lebih besar dari bukibuk pengungsi Mataram. Total mereka bisa dapat sekitar 700 ribu. Belum termasuk selisih profit yang mereka dapat dari jual beli bumbu, beras, dan lainnya.

Siapa bukibuk yang ga senang dibuat berdaya, tidak manja menunggui bantuan?

dokpri
dokpri
Terus gimana dengan anak-anaknya? Ada lagi bukibuk penjual mainan kecil di belakang lapangan pengungsi. Ia sedih bukan main karena rumahnya rubuh total. Dasar gigih, di depan rumah ia dirikan warung mainan. Semua sisa mainan tersisa dari rumahnya, ia jual.

Sukses? Sukses sepi.. Siapa juga yang mau membeli mainan, kebutuhan tersier, saat cari makan aja susah? Paling cuma ditowal-towel anak-anak lalu dimarahi orangtuanya karena ga punya duit untuk membeli.

Maka saya beli mainan-mainan murah itu. Harganya cuma Rp 3 ribu-15 ribu per item. Jauh lebih murah ketimbang Pasar Gembrong. Saat saya bilang untuk dibagikan ke anak-anak, ia berikan korting luar biasa besar. Lagi-lagi, ciri khas Pasar Feminim ala Indonesia seperti yang diceritakan Mas Kokok.

Mainan itu dibagikan kepada anak-anak saat bukibuknya sibuk masak, ga sempat mengurus anak. Tentu bukan dibagikan langsung. Mereka harus berkeringat dulu. Maka saya imingkan mainan kecil untuk siapa saja yang mau membantu memilah dan mengumpulkan sampah basah. 

Dalam sekejap anak-anak itu sibuk berlarian keliling tenda. "Ayo mau mainan tidak? Kalau mau, kumpulkan daun. kertas, dan sisa masakan ke kardus sana. Plastik dan botol tidak boleh ikut, pisahkan," saya berteriak berkali-kali sampai mereka paham memisahkan sampah kering dan basah.

Lingkungan pengungsian dibersihkan nakanak, cuma dengan modal sejumput mainan... 

Selesai mengumpulkan sampah dapur dan dedaunan, anak-anak itu disuruh baris di depan keran. Kepada mereka diajarkan untuk selalu cuci tangan dengan sabun setelah memegang sampah. Bukan apa-apa, korban gempa itu banyaknya karena diare dan infeksi, setelah tertimpa reruntuhan. Maka penting mengajarkan anak-anak itu mencuci tangan pakai sabun.

"Enak, Om.. harum!!" kata mereka sambil mencium tangannya, ngantri lagi menunggui mainan jatah mereka. Mengajarkan anak-anak daerah untuk mengerti arti kata antri bukan perkara mudah. Tapi anak-anak mana yang ga mau kalau diimingi mainan? Ogah antri? Ya mainannya ga dapet lah...

Selelesai nakanak kumpulkan sampah, giliran bukibuk dan pakbapaknya diajarkan manajemen sampah di pengungsian. Sulit untuk menemukan pemulung atau petugas kebersihan yang mau repot-repot bersihkan sampah. Terakhir saya lewat di salah satu pengungsian yang sudah ditinggal, terlihat gunungan sampah yang luar biasa.

Di mobil masih tersisa tempe, ragi fermipan, nasi hangat, keranjang cucian, dan kotak kardus di mana-mana. Perfect! Kita ajarkan mereka kotak takakura. Tentu ga bisa sempurna karena bahan terbatas. Tapi lumayanlah.

Silakan cari seperti apa cara membuat kotak takakura. Yang sulit dicari cuma sekam, jadi saya ganti dengan pasir saja. Lalu starternya pakai nasi hangat, tempe, gula pasir, fermipan, tepung, diaduk jadi satu. Jadilah adonan roti yang harum. Dalam sekejap ragi dan kapang terbentuk.

Agak sulit meyakinkan mereka membuat kotak takakura. Awalnya saya ditertawakan, karena dipikir mau bikin adonan roti atau donat. "Lah bikin roti kok dicampur nasi dan tempe!" begitu seruan mereka sambil ketawa-ketawa.

dokpri
dokpri
Ya, meyakinkan bukibuk dan pakbapak yang sudah tua agak susah. Buat mereka sampah itu mesti dibakar, yang berarti menghasilkan polusi dan membuat anak-anak bisa sakit ISPA. 

Saya coba tarik remaja perempuan yang pikirannya masih terbuka. Sambil mengajarkan mitigasi gempa, diajarkan cara membuat kotak takakura. Satu orang bernama Jannah, anak Bu Murni, kuliah di Teknik. Ia cukup mengerti dan bisa ikut meyakinkan teman-temannya yang lain.

dokpri
dokpri
Saat pembagian makanan, saya ditarik salah satu bukibuk dengan penuh rasa jumawa. "Kita mau kasih makan bapak bapak tentara!" katanya sambil tertawa-tawa. Iya, ada tentara dari Bali yang lahap menyantap gulai kambing dan sambal beberuk yang disajikan. "Enak! Baru sekarang saya makan masakan Lombok!" kataya singkat saat ditanya bagaimana rasanya. Lalu mereka juga dengan sumringah bertanya "Mana teman bapak yang lain?"

"Lah untuk apa Bu?" tanya saya.

dokpri
dokpri
"Ya disuruh lah makan di sini. Capek itu mereka kerja. Ayo diajak makan." Lah.. saya kan nyetir sendirian ke Lombok. Siapa ya yang mau diajak makan? E.. tapi saya baru ingat di posko RW 1 tempat saya parkir ada sekumpulan relawan Bulan Sabit Merah Indonesia dan Sekolah Relawan. "Nah unik ini," pikir saya. "Biasanya relawan yang kasih makan pengungsi, sekarang pengungsi yang kasih relawan makan malam. Yuk, diundang ke tenda Bu Murni!" saya mengajak mereka. Beberapa ada yang dengan riang datang ke tenda Bu Murni, ada yang minta dibungkuskan saja karena di posko kerjaan mereka banyak sekali.

dokpri
dokpri
Tapi yang jelas sekarang posisinya sudah berbeda, pengungsi itu sudah percaya diri karena bisa kasih makan warga sekitar.

"Di mana poskonya pak?" Tanya salah satu pakbapak sana terheran-heran karena saya membuat banyak sekali bantuan dalam satu waktu. Hanya sehari selama Idul Adha, dan sendirian, saya bisa mengorganize bukibuk dan nak anak menyediakan 300 porsi makanan, membersihkan sampah di pengungsian, dan megedukasi dengan mitigasi gempa. "Ya di mobil, Pak. itu posko saya," mereka terkekeh-kekeh, mungkin tak percaya, dengan jawaban saya.

dokpri
dokpri
Ya iya, kalau kita belagak jadi hero, mau kerjakan segalanya sendiri, hasilnya bantuan yang bisa dihasilkan cuma sedikit. Coba percayakan kepada pengungsi-pengungsi itu banyak tugas yang biasanya dimonopoli oleh relawan. Percayalah pasti mereka bisa dimandirikan, pasti hasilnya akan berlipat ganda!

Sehari di Santong, saya balik ke Islamic Center NTB di Mataram, ketemu lagi dengan bukibuk yang sama. Di pasar sudah tersedia ikan-ikan murah. Ikan kakap kuning Rp 40 ribu, ikan languan 45 ribu, kerang hijau 15 ribu, kerang dara 25 ribu. Lalu sayur-sayuran murah-meriah karena, lagi-lagi saya bilang untuk bantuan pengungsi. Mereka teriak "Alhamdulillah, ada pemborong.." Iya, ibaratnya saya itu buat mereka penglaris. Berharap setelah saya membeli, rezekinya makin terbuka. Dan dengan jujur mereka mengatakan "Siapapun yang datang ke sini borong bahan makanan pasti kami kasih korting pak." Kata seorang penjual bawang. Kenapa? Ya karena mereka sendiri pengungsi.

Bu Mardiana, menyebutkan bahwa sejak gempa, Pasar Kebun Roek di barat Mataram sepi pembeli. Jangankan pembeli, kuli panggul, atau tukang son menurut bahasa setempat, tidak berani ke pasar karena takut pasar rubuh. Maka kalau ada pemborong seperti saya walaupun cuma beli 20-30kg ikan, daging, dan sayuran, akan dianggap dewa penyelamat oleh pedagang. Buktinya minta kol 6 kilogram, dikasihnya 6,5 kg. Beli kerang 6 kg, dikasih 6,25 kg. Beli ikan harusnya bayar kalau membersihkan sisiknya, dikasih free jasa bersihkan.

Kenapa ini ga dilakukan relawan kita? Kenapa setelah 3 minggu masih saja kasih mereka makanan jadi dan instan?

Lah terus sepanjang ini cerita, apa hubungannya sama berwisata di Lombok? Kok ga ada wisata-wisatanya? Tanya teman saya di messanger.

Iya sabar, ceritanya belum full saya ketikin.

Jadi setelah bercerita panjang lebar, saya baru tahu dari Akhwan kalau penopang ekonomi saat bencana terjadi adalah pertanian. "Kalau biasanya, minimal warga Lombok itu dapat 50-75 ribu per hari dari wisata. Dari pertanian MAKSIMAL 50-75 ribu per hari. Lah sekarang kebalik, yang bertani masih tenang berjualan dan menggarap kebun, yang di bidang wisata bengong."

Ya, berdasarkan cerita Akhwan, warga Lombok Utara dan Timur, walaupun tidak punya pantai sekeren dan selengkap Lombok Barat, menggantungkan diri dari wisatawan yang hendak memanjat ke Gunung Rinjani, melancong ke Segara Anak di tengah-tengahnya. Lalu mandi air panas di sana. Sejak gempa dan banyak yang menularkan hoax bencana Lombok, sekarang tak ada satu orang pun berminat ke sana.

Itulah hasil "perjuangan" kalian yang sembarangan share! Alih-alih membantu, kebodohan kalian malah menambah-nambahi penderitaan warga!

Nah, untuk manteman seperti Ina Surbakti Manik, Nancy Cynthia Weber, dan lainnya yang masih berminat kembali ke Lombok tanggal 25 nanti, saya pesankan jangan lagi menyuapi warga bantuan. Have fun saja di Lombok, dan belanjakan duit kalian seroyal mungkin di pengungsian. Punya cucian, cucikan ke warga sekitar, bayarkan upah mereka mencuci Lapar? Belilah makanan di tenda pengungsi. Ngantuk? Beli kopi di warung sekitar.

Mau bikin acara memberi makan pengungsi? Berasnya jangan dibeli di indomaret lagi. Beli saja beras di tenda-tenda pengungsi, berapapun sedikitnya. Mereka punya kok telur, bawang, sayur, dan minyak goreng. Belilah itu semua, karena yang mereka butuhkan bukan lagi bantuan, tapi uang cash untuk diputarkan.

Jika ingin lebih jauh membantu, belilah oleh-oleh dari Lombok dari pengungsi. Saat menulis ini, saya dalam perjalanan pulang ke Jakarta, sedang musim bunga alpukat. Alpukat di Santong is the best. Pisangnya juga luar biasa enak. 

Bentuknya pendek dan bulat. Baunya harum dan manis. Pisang ini pisang makan, bukan pisang goreng. Bisa dimakan begitu saja. Kulitnya tebal sehingga aman dibawa pulang agak lama ke Jakarta.

Selain pisang dan alpukat, ada cengkeh dan kopi. Santong terkenal dengan cengkehnya yang juga is the best dari seluruh cengkeh di Indonesia. Beli saja 3-4 kg, sudah cukup untuk bikin mereka senyum. Kopi Santong lumayan enak, juga bisa dijadikan oleh-oleh. Tapi kalau berencana ke Lombok Timur, ada kopi yang jauh lebih enak. Lebih tepatnya Sembalun. Daerah itu terkenal dengan kopi luwaknya yang luar biasa. Harganya juga murah untuk ukuran kopi luwak, 150-200 sekilo. 

Luwaknya bukan sekedar branding luwak atau luwak dipaksa makan kopi, tapi luwak yang hidup liar dan makan kopi secara random, jadi ini beneran kopi luwak, bukan luwak-luwakan.

Beli, jangan memberi. Berkarya, bukan menengadahkan tangan. Berdayakan jangan dimanjakan. Status Bencana Nasional itu akan makin dalam menenggelamkan pengungsi gempa Lombok kepada ketidakberdayaan. Makin lama warga disuapi bantuan, makin terpuruk ekonomi mereka. Maka sudah benar sikap Pak Presiden Joko Widodo berkeras tidak mau memberikan status bencana nasional kepada gempa Lombok.

Gimana, sudah dapat inspirasi bagaimana menolong warga korban gempa Lombok. Yuk.. kalau sudah mengerti silakan datang dan berwisatalah di tengah Bencana Lombok.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun