Mohon tunggu...
Harfi Admiral
Harfi Admiral Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Sepertinya, menulis sudah menjadi kewajiban

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hima dan Angel

24 Mei 2022   11:05 Diperbarui: 24 Mei 2022   11:06 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Malaikat (Pexels.com)

Gadis itu menghela napas untuk kesekian kalinya. Hima namanya, yang berarti bunga. Tatapannya jauh menembus jendela kaca yang membatasinya dengan dunia luar. Hujan sedang turun. Butiran-butirannya membasahi bumi. Air tergenang di jalanan. Begitu juga di jendela yang sedang ditatap gadis itu. Air hujan membentuk pola abstrak yang indah untuk dipandang.

November. Hujan selalu turun di bulan ini. Biasanya, hujan hanya akan turun di malam hari, sedangkan siangnya panas matahari berpijar terang. Namun sekarang, entah apa penyebabnya, hujan turun sedari pagi. Suasana terlihat sendu. Mendung. Seperti suasana yang sedang dirasakan Hima sekarang.

"Setidaknya aku masih bisa menghitung butir air yang menempel di jendela," gumam Hima.

Hari ini seharusnya adalah jadwal dokter dari rumah sakit datang ke rumah Hima. Jadwal check up. Penyakit yang datang secara tiba-tiba 6 bulan yang lalu, membuat gadis itu hanya bisa berbaring lemah di rumahnya. Jangankan berdiri, duduk saja dia tidak mampu. Dokter pun masih belum bisa mengkonfirmasi jenis penyakit yang menggerogoti tubuh kecil Hima. Walau sudah dibujuk untuk dirawat di rumah sakit, Hima dan kedua orang tuanya lebih memilih rumah sebagai tempat Hima dirawat.

Hima selalu menunggu kunjungan dokter dari rumah sakit itu. Favoritnya. Setiap minggu sekali dokter itu akan datang dan menceritakan apa saja yang dia lihat selama perjalanan menuju rumah Hima. Di saat dokter itu bercerita, Hima dengan wajah ceria akan mendengarkannya. Walaupun pada akhirnya jarum suntik yang dibenci Hima tetap akan menusuknya, mengambil sampel darahnya, setidaknya cerita dokter itu mampu membuat Hima bahagia.

Hima kini menatap langit-langit kamarnya. Warna birunya sudah memudar. Padahal dia sudah berjanji akan mencat kamarnya dengan warna merah. Mengganti suasana katanya. Hima bahkan juga sudah membuat sketsa untuk merenovasi kamarnya. Melihat-lihat contoh kamar yang ideal di internet. Namun, semua itu harus terkubur rapat-rapat sekarang. Badannya sudah tidak bisa digerakkan. Hanya kepalanya saja yang masih bisa bergerak-gerak.

"Sebentar lagi ujian tengah semester,"gumam Hima. "Sepertinya Abyad akan mengambil posisi juara pertamaku. Curang sekali dia." Hima tertawa kecil. Matanya masih memandang langit-langit kamarnya.

"Bagaimana kabar teman-teman di sekolah ya? Apa sekolah itu sudah berganti warna? Atau bisa jadi sekolah itu sudah bertambah banyak gedungnya? Lalu, bagaimana dengan Bintang? Apa Dego berhasil mengungkapkan perasaannya ke Bintang? Wah, aku jadi malu sendiri membayangkan mereka berdua berpacaran." Hima tersenyum lebar. Berimajinasi selalu membuatnya lupa akan penyakitnya.

Hujan masih turun dengan lebatnya di luar sana. Sesekali gemuruh petir terdengar keras. Meninggalkan cahaya biru yang datang setelahnya. Hima yang masih melihat ke langit-langit kamarnya mulai mengantuk. Matanya perlahan-lahan terpejam. Gadis itu tertidur.

***

Hima membuka matanya. Badannya terasa segar setelah tidur.

"Berapa lamu aku tertidur?" pikir Hima.

"Akhirnya bangun juga."

Hima terkejut. Matanya mengerjap-ngerjap. Suara itu mengagetkannya.

"Aku di atas sini." Suara itu keluar lagi.

Hima akhirnya bisa melihat sosok itu. Sosok itu melompat dari atas lemari setinggi dua meter. Badannya seperti melayang.

"Siapa kau?" tanya Hima.

"Aku? Aku adalah temanmu. Teman seluruh manusia. Kadang ada juga yang menganggap diriku ini sebagai ancaman. Tergantung cara manusia itu melihatku." Sosok itu sekarang sudah berdiri di samping Hima yang tengah terbaring. "Hai, Hima. Apa kabar?"

"Teman? Aku tidak pernah bertemu denganmu. Lalu, bagaimana bisa kau tahu namaku?" tanya Hima lagi.

Sosok itu tiba-tiba berubah wujud. Sekarang sosok itu terlihat seperti kakek tua. Badannya tiba-tiba membungkuk.

"Aku tahu nama semua orang, Hima. Semuanya. Dari tujuh miliar manusia yang hidup sekarang, aku tahu semuanya." Sosok itu menjawab santai. Wujudnya berubah lagi. Kali ini dia berwujud wanita cantik. Rambutnya indah.

Hima kebingungan. "Kenapa kau bisa berubah wujud seperti itu? Apa kau penyihir? Apa maumu?"

Sosok wanita cantik itu tertawa. Suaranya merdu. Bergema di langit-langit kamar. "Astaga, Hima. Tidak ada yang namanya penyihir di dunia ini. Mereka hanya mitos. Tidak dijamin kebenarannya."

Kali ini, sosok itu berganti wujud lagi. Wujudnya berubah menyeramkan. Dengan empat tanduk di kepalanya. Hidungnya memanjang. Matanya merah. Mulutnya melebar.

Hima segera memejamkan matanya. Takut melihat sosok itu.

"Sangat menyeramkan," lirih Hima. "Aku tidak mau melihatmu dengan bentuk seperti itu." Hima masih memejamkan matanya.

Sosok itu tertawa lagi, "Maafkan aku. Lalu, wujud macam apa yang ingin kau lihat agar kita bisa memulai percakapan ini?"

"Apa kau kenal temanku Bintang? Apa kau bisa berubah wujud menjadi seperti dirinya? Aku sangat merindukan Bintang," jawab Hima sambil masih menutup matanya.

"Tentu aku tahu, Hima. Tunggu sebentar." Sosok itu mulai melakukan perubahan wujud untuk kesekian kalinya. Wujudnya sekarang berubah menjadi anak perempuan seumuran Hima. Rambut pirangnya dikepang dua. Bola matanya indah berwarna biru.

"Kau sudah bisa membuka mata sekarang, Hima."

Hima membuka matanya secara perlahan. Dilihatnya sosok gadis cantik di sampingnya. Hima tertawa kecil. Ada gumpalan air yang membendung di matanya.

Sosok itu terlihat kebingungan. "Kenapa kau tertawa? Apa ada yang lucu?"

"Maafkan aku." Hima menggeleng. "Aku hanya merasa senang. Setelah sekian lama tidak melihat Bintang, akhirnya aku melihatnya lagi. Walaupun tidak asli."

Sosok itu mengerjapkan matanya. Lucu sekali melihat sosok itu kebingungan dengan tubuh seseorang.

"Bagaimana kau melakukan trik itu? Sangat hebat. Apa kau bisa mengajarkannku?" tanya Hima.

"Ini bukan trik, Hima. Ini adalah kemampuan." Sosok itu menggeleng pelan. "Astaga, aku sampai lupa memperkenalkan diri. Namaku Angel. Aku adalah malaikat. Dan aku ditugaskan ke sini untuk menjemputmu. Mengambil apa yang sedang kau pinjam selama ini."

"Malaikat?" Alis Hima terangkat. "Well, tentu saja kau malaikat. Melihat kemampuanmu tadi, mana mungkin manusia biasa bisa melakukannya. Kau juga bilang bahwa penyihir itu tidak ada. Tentu aku percaya."

"Ini menakjubkan, Hima!" Angel tersenyum riang.

"Apanya yang menakjubkan?" Hima bertanya.

"Tidak semua orang akan langsung percaya. Mereka akan terus bertanya pertanyaan-pertanyaan yang membosankan. Bahkan, sampai pernah ada yang memintaku untuk meledakkan gunung. Konyol, bukan?"

Hima tertawa, "Kau bilang menjemputku, kan? Lalu mengambil apa yang aku pinjam? Memangnya aku meminjam apa?"

"Nyawa," kata Angel. "Nyawa yang kau pakai sekarang harus dibalikkan ke tempat asalnya. Semua makhluk hidup juga akan ditagih jika waktunya sudah datang. Dan, ya, waktumu sudah datang, Hima."

"Aku? Sekarang? Kenapa secepat ini? Aku bahkan belum menikah. Aku selalu membayangkan bisa menikah dengan lelaki tampan. Membayangkan kehidupan romantis yang akan kami jalani. Bagaimana dengan sekolahku? Orang tuaku? Kenapa harus aku? Bukannya ada banyak orang-orang yang meminjam nyawanya lebih lama dari pada aku? Bagaimana dengan orang-orang berumur 70 tahun? Atau bahkan sampai 90 tahun. Kenapa tidak mereka duluan?"

Angel menghela napas. Dia tahu ini tidak akan mudah. Mana ada makhluk hidup yang akan memberikannya nyawa mereka dengan suka rela.

"Memang benar, Hima. Banyak orang tua yang masih hidup. Bahkan yang paling tua berumur hampir seratus tahun lebih. Kenapa mereka tidak dijemput? Jawabannya mudah sekali. Karena belum waktunya. Suratan takdir yang sudah tertulis sebelum bumi ini ada sudah menuliskan nama mereka. Ada yang beruntung mendapat umur panjang, dan ada pula yang hanya mendapat umur pendek. Tapi bukan itu intinya, Hima. Selama apa pun mereka hidup, jika hidupnya hanya dipenuhi dengan kebencian, itu sama saja bohong. Nol besar. Tidak ada gunanya.

"Namun, yang berumur pendek dan di sepanjang kehidupannya berbuat baik walau hanya secuil. Itu sudah memiliki tiket spesial untuk melihat surga. Dan kau mendapatkannya, Hima. Kebaikan yang kau lakukan, sudah dicatat baik-baik."

Hima mengernyitkan dahi, "Kebaikan apa yang telah aku lakukan? Aku hanya terbaring di kasur ini selama 6 bulan lamanya."

"Tentu kau tidak menyadarinya. Karena kebaikan sejati hadir tanpa diketahui. Kau selalu tersenyum melihat dokter favoritmu tiba. Memberinya sapaan hangat yang jarang dia terima dari pasien lain. Membuatnya bercerita dengan tulus mengenai perjalanannya. Itu sebuah kebaikan yang indah, Hima. Setiap hari, dokter itu selalu mendapat tekanan hebat dari pekerjaannya. Dimaki-maki oleh pasien lain sudah menjadi makanannya. Namun, di saat dia datang menjengukmu, mengambil sampel darahmu. Kau selalu riang. Tanpa kau ketahui, sifatmu itulah yang membuat sang dokter lebih menghargai hidup. Kebenciannya dengan pekerjaannya sirna dengan hanya melihat tubuhmu ini. Kau gadis yang hebat, Hima."

Hima tertegun. Dia tidak pernah menyadari tindakan kecilnya itu memiliki efek yang besar. Matanya berair. Hima terharu.

"Tempat terbaik sudah menunggumu, Hima. Tempat di mana kau tidak perlu meminjam nyawa lagi. Tempat di mana kau bisa berjalan dan berlarian bebas lagi. Tambahkan dengan hujan. Hujan di sana sangat indah. Kau bisa bermain sepuasnya sembari menunggu hari kebangkitan tiba. Karena di sana, semuanya abadi. Abadi menjadi milikmu, Hima. Bagaimana? Bisa aku ambil sekarang?" Angel tersenyum. Senyumnya indah. Sosok gadis berambut pirang bermata biru itu membuatnya tambah indah.

"Besok. Besok kau bisa menjemputku. Hari ini, jika kau berkenan, izinkan aku bertemu dengan kedua orang tuaku. Aku ingin menatap wajah mereka, agar di sana, aku bisa melukis wajah mereka. Apa tidak apa?" tanya Hima. Wajah gadis itu kini berseri. Tatapannya mantap.

"Baiklah. Biasanya hal itu dilarang. Tapi, ini rahasia kita berdua saja. Besok malam aku akan menjemputmu. Sampai ketemu besok malam, Hima." Angel mengedipkan matanya. Badannya melayang. Lalu dalam hitungan detik sudah menghilang. Meninggalkan Hima sendirian dengan keheningan.

Hima tersenyum. Perasaannya lega. Pikirannya terasa ringan. Percakapan dengan Angel tadi membuatnya nyaman.

"Sepertinya memang sudah waktunya. Aku memang sedih harus meninggalkan ayah dan ibu. Tapi, suatu saat aku akan bertemu mereka lagi." Hima menangis. Tangis bahagia.

Hujan yang turun dengan derasnya sedari siang, akhirnya reda. Seperti perasaan Hima yang kini sudah tenang. Matahari muncul dari balik awan. Disertai dengan indahnya pelangi. Hima, gadis kecil itu kini tengah menatap pelangi. Indah sekali.

Terinspirasi dari buku Jostein Gaarder, Cecilia and The Angel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun