Angel menghela napas. Dia tahu ini tidak akan mudah. Mana ada makhluk hidup yang akan memberikannya nyawa mereka dengan suka rela.
"Memang benar, Hima. Banyak orang tua yang masih hidup. Bahkan yang paling tua berumur hampir seratus tahun lebih. Kenapa mereka tidak dijemput? Jawabannya mudah sekali. Karena belum waktunya. Suratan takdir yang sudah tertulis sebelum bumi ini ada sudah menuliskan nama mereka. Ada yang beruntung mendapat umur panjang, dan ada pula yang hanya mendapat umur pendek. Tapi bukan itu intinya, Hima. Selama apa pun mereka hidup, jika hidupnya hanya dipenuhi dengan kebencian, itu sama saja bohong. Nol besar. Tidak ada gunanya.
"Namun, yang berumur pendek dan di sepanjang kehidupannya berbuat baik walau hanya secuil. Itu sudah memiliki tiket spesial untuk melihat surga. Dan kau mendapatkannya, Hima. Kebaikan yang kau lakukan, sudah dicatat baik-baik."
Hima mengernyitkan dahi, "Kebaikan apa yang telah aku lakukan? Aku hanya terbaring di kasur ini selama 6 bulan lamanya."
"Tentu kau tidak menyadarinya. Karena kebaikan sejati hadir tanpa diketahui. Kau selalu tersenyum melihat dokter favoritmu tiba. Memberinya sapaan hangat yang jarang dia terima dari pasien lain. Membuatnya bercerita dengan tulus mengenai perjalanannya. Itu sebuah kebaikan yang indah, Hima. Setiap hari, dokter itu selalu mendapat tekanan hebat dari pekerjaannya. Dimaki-maki oleh pasien lain sudah menjadi makanannya. Namun, di saat dia datang menjengukmu, mengambil sampel darahmu. Kau selalu riang. Tanpa kau ketahui, sifatmu itulah yang membuat sang dokter lebih menghargai hidup. Kebenciannya dengan pekerjaannya sirna dengan hanya melihat tubuhmu ini. Kau gadis yang hebat, Hima."
Hima tertegun. Dia tidak pernah menyadari tindakan kecilnya itu memiliki efek yang besar. Matanya berair. Hima terharu.
"Tempat terbaik sudah menunggumu, Hima. Tempat di mana kau tidak perlu meminjam nyawa lagi. Tempat di mana kau bisa berjalan dan berlarian bebas lagi. Tambahkan dengan hujan. Hujan di sana sangat indah. Kau bisa bermain sepuasnya sembari menunggu hari kebangkitan tiba. Karena di sana, semuanya abadi. Abadi menjadi milikmu, Hima. Bagaimana? Bisa aku ambil sekarang?" Angel tersenyum. Senyumnya indah. Sosok gadis berambut pirang bermata biru itu membuatnya tambah indah.
"Besok. Besok kau bisa menjemputku. Hari ini, jika kau berkenan, izinkan aku bertemu dengan kedua orang tuaku. Aku ingin menatap wajah mereka, agar di sana, aku bisa melukis wajah mereka. Apa tidak apa?" tanya Hima. Wajah gadis itu kini berseri. Tatapannya mantap.
"Baiklah. Biasanya hal itu dilarang. Tapi, ini rahasia kita berdua saja. Besok malam aku akan menjemputmu. Sampai ketemu besok malam, Hima." Angel mengedipkan matanya. Badannya melayang. Lalu dalam hitungan detik sudah menghilang. Meninggalkan Hima sendirian dengan keheningan.
Hima tersenyum. Perasaannya lega. Pikirannya terasa ringan. Percakapan dengan Angel tadi membuatnya nyaman.
"Sepertinya memang sudah waktunya. Aku memang sedih harus meninggalkan ayah dan ibu. Tapi, suatu saat aku akan bertemu mereka lagi." Hima menangis. Tangis bahagia.