Mohon tunggu...
HUM
HUM Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Sebut saja saya HUM, panggilan inisial yang melekat ketika saya beranjak dewasa. Saat masa anak-anak yang begitu lucunya sampai masa remaja yang sedemikian cerianya, tidak pernah terbersit sekalipun panggilan HUM, tapi yang namanya takdir siapa yang bisa menolaknya kan..?!\r\n\r\nhttp://www.69hum.com\r\n email : hardono.umardani@bicycle4you.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bike to Work : (Mati Gaya) Pertamax Tanpa Subsidi

24 Maret 2012   17:02 Diperbarui: 1 April 2017   08:51 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Den Paijo memang habis nyangkul tegalan kulon ndeso apa, kok nggak biasanya pegel-pegel minta pijet..?” tanya Mbah Siyem sambil memainkan jemarinya yang mulai keriput di betis Paijo.

“Kok nyangkul to, Mbah? Kan ada si Parjo. Ini tuh critane kemarin kan habis sepeda santai sama konco-konco kantor, Mbah.” Paijo sewot dikira habis nyangkul tegalan.

“Lha wong sepeda santai kok malah pegel-pegel to, Den Paijo. Kudune kan jadi sehat, ya to.?”

“Ya begitu, Mbah. Kepengennya olahraga biar sehat lha kok ya konco-konco itu milih jalur sepeda-an jauh…naik turun...arep copot rasane dengkule, Mbah..!” Paijo malah jadi curhat ke Mbah Siyem.

“Kalo’ naik sepeda jangan sering-sering lho, Den Paijo.”

“Lho, emang kenapa Mbah..?”

“Bisa turun berok nanti, Den.., lha kan Den Paijo dah ada mobil, enak..nggak perlu tenaga.” Kata Mbah Siyem sambil sedikit termenung.

Perlahan ingatan pada suaminya terlintas di benak Mbah Siyem. Kondisi  yang serba susah memaksa dia harus bekerja serabutan demi menghidupi keluarga. Dia masih ingat, dulu tiap hari suaminya harus pulang pergi kerja naik sepeda. Bukan seperti alasan Paijo untuk berolahraga, tapi memang itu satu-satunya sarana transportasi yang bisa mengantarkannya sampai ke pasar tempat dia jadi buruh panggul tanpa megeluarkan biaya selain tetesan keringat. Jarak pasar kota cukup jauh membuat suami Mbah Siyem sering mengeluh sakit bagian bawah perut. Demi menghidupi keluarga semua keluhan tidak dirasakan, tangisan lapar anak-anaknya yang berjumlah empat orang seakan jadi obat paling mujarab penghilang rasa nyerinya. [caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Setia sehidup semati...(Doc : AP)"]

[/caption]

Mbah Siyem mengakhiri pijatannya dengan pelan, takut membangunkan Paijo yang rupanya terlelap keenakan oleh pijitan Mbah Siyem, mungkin juga sedang mimpi dipijat gadis Java Dunia.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun