"Mey ...," bisiknya pelan. Mey menggeliat. Wanita beranak satu itu mengucek matanya, tak percaya dengan penglihatannya; suaminya berkata lembut dan membelai rambutnya.
"Mey ... sayang," desah Mohan, Mey semakin heran. Mohan mengambil tangan istrinya, lalu menyelipkan jemarinya di sana.
"Mey, tolong dengarkan aku sebentar saja. Tolong pahami posisiku ...." Mey menyimak dengan raut keheranan.
"Aku tahu ini berat ...." Mohan menggantungkan kalimatnya untuk mengambil napas lebih banyak agar membuatnya tenang.
"Molly, tidak hilang," ujar Mohan. Raut kebingungan terukir jelas di wajah Mey. Perempuan berhidung mancung itu menatap lekat-lekat ke sepasang mata suaminya, menuntut penjelasan.
"Waktu itu aku asyik maen game. Molly menangis kencang ... tapi tak aku hiraukan. Kemudian entah berapa lama, aku masuk ke kamar ... dan ...." Lagi-lagi Mohan menggantungkan kalimatnya. Kali ini untuk memantau ekspresi istrinya; ada sebingkai kemarahan di sana. Mohan bergidik. Bersiap dimarahi ataupun dipukul.
"Molly sudah tergeletak di lantai. Tak bergerak sedikitpun. Saat itu aku panik ... lalu menelpon ibu ... setelah ibu datang, ibu segera membawa Molly ke rumah sakit ...." Mohan menjabarkan kronologi kala itu. Sementara Mey mendengarkan tanpa ekspresi apapun.
"Ibu bilang Molly dalam keadaan kritis. Ia koma sekarang," sesalnya. Mohan menatap wajah istrinya. Namun, tak ada ekspresi di sana. Sepertinya Mey mulai kehilangan kesadarannya. Kali ini tak lagi separuh, melainkan sudah sepenuhnya gila.
Mohan merengkuh tubuh Mey. Namun, Mey tak membalas. Pandangan wanita itu tampak kosong.
"Mey, maafkan aku!" bisik lelaki berhidung pesek itu, air mata mulai membanjiri pipinya.
"Mey, kita temui putri kita, ya?" ajaknya. Namun, Mey bergeming. Lagi-lagi tanpa ekspresi.