Mey terbangun dari tidurnya, bayangan masa lalu mulai menghantuinya. Ia masih dapat merasakan bagaimana kencangnya suara sang ibu sewaktu memarahinya dahulu, di kala ia baru berumur tiga tahun. Ia juga ingat bagaimana ibunya memelototkan matanya dan memukul bokongnya saat ia yang masih polos itu melakukan kesalahan.
Mey sangat suka disentuh dan menyentuh. Ia paham itu lah bahasa cintanya. Namun, ibunya tak memahaminya, dan selalu berakhir marah-marah saat Mey kecil mencoba menyentuh ibunya.
Mey ingin memutus mata rantai inner child negatif yang diderita oleh sang ibu dan dirinya. Ia tak ingin, bayinya mengalami trauma yang sama, jerat masa lalu yang berulang dan berjejak. Meski sesungguhnya, nasibnya tak lebih baik dari sang ibu; sama-sama memiliki seorang suami yang tak peka dan egois.
***
Pagi itu Mey berniat pergi ke pasar. Ia telah membuat daftar belanjaan agar membantunya tetap fokus saat sedang berbelanja, maklum ketika sudah di pasar berbagai godaan belanja di luar kebutuhan kerap datang.
Mey berangkat sendirian, sebelum pergi ia menitipkan bayinya kepada suaminya.
"Mas, tolong jaga Molly. Aku mau ke pasar sebentar!" Sang suami tak menjawab, sibuk dengan game online di ponselnya. Melihat kelakuan suaminya, Mey mendadak geram. Direbutnya ponsel keluaran terbaru itu, hingga membuat si empunya mendadak marah.
"Denger ga, aku bilang apa?" tanya Mey, mencoba mengeluarkan suara serendah mungkin. Agar tak menyulut perkelahian.
"Iya, denger! Sini hp-ku," sahut sang suami sembari merebut ponsel dari genggaman Mey. Mey menarik napas pelan. Mencoba bersabar.
"ASI perah udah aku siapin, yaa ... di atas nakas. Denger-denger takutnya Molly jatuh. Dia sekarang sudah banyak gerak." Mey mencoba memperingati suaminya. Namun, tak digubris.
Pada akhirnya pergi lah, Mey. Meski dengan hati yang berat. Entah mengapa bisa demikian. Pun ketika sedang dalam keramaian pasar. Mey masih belum bisa menenangkan hatinya. Dicobanya memilah-milah daging merah untuk makanan pendamping bayinya. Tak lupa ia belikan mainan kerincingan. Namun, lagi-lagi pikirannya tak tenang. Ia selalu merasa ingin pulang.
Sementara itu, seorang laki-laki tampak panik dan bingung. Ia menggigit kukunya, pertanda sedang berpikir keras. Matanya menatap lekat pada seonggok tubuh yang tergeletak di atas lantai marmer.