Maret 2018,
Lemah. Tanpa air mata yang diharapkan.
Memendam asa. Bertahun-tahun lalu. Menyimpan luka.
Menolak fajar yang dibentangkan mentari lain.
demi serumpun mawar putih. Meski sebaris perih tak menghampiri, tapi api yang telah lama menyala. Masih.
Tetap ada. Bara.
Tetap bara. Menghanguskan luka. Â
Bisikan-bisikan tanpa wujud, mulai sering terdengar di telinga Mey. Tak hanya itu ia mulai mengalami delusi. Sementara suara-suara sumbang yang ke luar dari mulut suami dan mertuanya terus saja merongrongnya.
"Bisa ngurus anak ga, sih? Kok dari tadi nangis terus!" teriak suaminya di saat Milly, putri mereka yang baru berumur beberapa hari itu menangis sepanjang hari. Sementara Mey tak kuasa membujuk bayinya agar tenang. Bagaimana bisa menenangkan si bayi, jikalau suasana hati si ibu sedang tak baik-baik saja. Bukankah bayi bisa memahami suasana hati ibunya sendiri. Bayi akan bahagia jika sang ibu juga berbahagia. Begitu aturannya.
***
Januari , 1997
"Diaaaam!" bentak Raya tatkala putrinya merengek-rengek sedari tadi, sedang ia sudah lelah dengan segala pekerjaan rumah. Rasanya ia sudah tak sanggup lagi menjalani perannya sebagai seorang ibu. Terkadang ia ingin putrinya itu mati saja. Namun, pikiran itu segera dibuangnya jauh-jauh. Bagaimanapun putrinya tak bersalah. Ia lah yang salah, masih memendam luka masa lalu dan berada di lingkungan toxic.
Putri kecilnya itu meringkuk sendirian, di sudut ranjang. Ia tak mengerti mengapa ibunya tega membentaknya dengan mata yang seram. Balita itu takut, ia takut telah membuat marah mamanya. Ia juga takut mamanya akan menyerahkannya kepada sang nenek, seperti sering diucapkan ibunya dikala marah.
"Mama, ga suka yaa kamu ga nurut. Kalo ga nurut, mama kasih ke nenek, aja lah!" bentak Raya di suatu malam, sedang suaminya malah tertidur pulas. Tak peduli dengan kerepotan istrinya dalam mengurus anaknya, pun dengan batin Raya yang mulai sakit.
***
September 2018,