Mohon tunggu...
Dian Chandra
Dian Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Arkeolog mandiri

Pemilik buku: Sapatha dari Negeri Seberang (2021), Lalu (2022), Relung (2022), Jalan-jalan di Bangka (2022), Hen (2022), Aksara Anindya (2022), Aksara Mimpi (2023), Diary para Hewan (2023), dan Kepun (2023)

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Aksara Mimpi || Bab 4 Skizofrenia Paranoid

8 Oktober 2023   13:07 Diperbarui: 8 Oktober 2023   13:42 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/id/vectors/penyakit-kejiwaan-kecemasan-murung-4364348/

Bab 4 

Skizofrenia Paranoid


Bandung, 2010

Seorang perempuan paruh baya sedang berjalan setengah berlari melewati lorong rumah sakit. Tujuannya ada pada ruang Bougenvile, tempat dimana anaknya dirawat.

Pagi tadi, sekitar pukul 05.30 WIB, ia mendapatkan telepon daru seorang polisi yang mengatakan bahwa putrinya jatuh dari atas bianglala. Tentu ia panik bukan main. Terlebih mputrinya yang telah hilang selama satu hari itu, ditemukan dalam kondisi berdarah-darah di sekujur badannya di sebuah wahana permainan di Kota Bandung.

"Bandung, sejauh itu kau pergi, Ren?" batin perempuan paruh baya berambut sebahu itu.

Sesampainya di depan kamar yang dimaksud, kehadirannya segera disambut oleh dua orang polisi, satu orang pria paruh baya, seorang dokter, dan beserta dua orang perawat.

"Apa yang sedang terjadi? Bagaimana keadaan Rena?" cecarnya, penuh dengan kepanikan.

Seorang pria berumur tak lebih dari empat puluh lima tahun, berprofesi dokter segera menghampiri, "Anak ibu mengalami patah pada kedua kakinya. Namun, ada satu hal penting yang nanti perlu dibicarakan lebih lanjut. Untuk saat ini, temuilah dahulu anak Anda!" jawab  dokter berkacamata itu.

Ternyata perempuan dengan wajah cemas itu adalah ibu dari Rena. Seorang single parent, bernama Nida.

Gegas, Nida memasuki ruang yang dihuni oleh putri satu-satunya. Terlihat seorang gadis muda terbaring lemas tak berdaya. Ya, dia lah Rena.

Menyadari kedatangan sang ibu, Rena pun membuka matanya. Keduanya pun menangis bersamaan.

"Maaf kan, aku Ma. Aku tak mengerti mengapa ini semua dapat terjadi? Seakan-akan aku bermimpi. Tak ada yang dapat aku percayai. Penglihatanku, pendengaranku, langkah kakiku, bahkan pikiran, dan hatiku sudah tak dapat aku percayai lagi!" jerit Rena histeris. Mamanya tampak terpukul melihat ulah Rena yang tak biasanya.

Mendengar suara gaduh dari dalam, kedua polisi pun segera masuk ke dalam kamar. Rupanya, diikuti oleh seorang perawat dan seorang pria.

"Ada apa, ini?" tanya salah satu polisi berlogat Bali. Seketika ibu dan anak itu terdiam, mencoba untuk mencari-cari kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi.

"Bu, Nida! Anda telah ditunggu Dokter Richard di ruangannya." sela seorang perawat bergigi gingsul mencoba menengahi.

Nida merasa ada yang ganjil, buru-buru ia beranjak pergi menuju ruangan Dr. Richard, meninggalkan Rena sendirian ditemani oleh dua orang polisi dan salah seorang perawat. Rena terlihat cemas, ia takut akan ditanyain macam-macam. Beruntung kedua polisi itu tak bertanya apapun jika tanpa ada orang tua yang mendampingi Rena. Rupanya, dua orang polisi dan seorang perawat itu memang diminta oleh Dr. Richard untuk menjaga Rena sebelum Dokter khusus datang untuk memeriksa Rena lebih dalam lagi.

Siang mulai beranjak, semakin siang rumah sakit bercat hijau itu mulai dipenuhi oleh para pasien dengan berbagai keluhan penyakit. Sayup-sayup terdengar desau angin yang berembus masuk melalui jendela ruangan tempat Rena di rawat. Rena menghirup dalam-dalam udara segar yang masuk, tanpa ia sadari badannya bergerak turun dari ranjang, lalu berjalan menuju ke jendela. Namun, selang infus berhasil mencegah gerakannya. Ia tak kehilangan akal, dicabutnya jarum yang sedari subuh bertengger di punggung tangan kirinya, lalu cepat-cepat ia berlari menuju jendela. Ia hampir saja akan melompat ke luar jendela, jika saja tak dicegah oleh dua orang polisi.

"Lepaskan, lepaskan aku! Aku harus bertemu Salvat." teriak gadis berusia belasan tahun itu. Melihat pasiennya mulai berulah, dengan sigap perawat berjilbab merah itu menyuntikkan sesuatu ke lengan kanan pasiennya hingga selang beberapa saat tubuh gadis berkulit sawo matang itu mendadak lemas, lalu tertidur.

"Sepertinya ini sudah bukan dalam ranah kami," celetuk salah satu polisi dengan bordir nama 'Santoso' diseragamnya.

"Ya, kau benar. Sebaiknya kita tak meneruskan kasus ini. Khasian gadis ini, dia terlalu muda untuk menjadi gila ...," sahut rekan polisi yang berlogat Bali. Dua orang polisi itu pun segera undur diri, tak hanya raga mereka, tapi juga atas kasus yang menimpa Rena.

            Kini tinggallah perawat bernama Ima yang terdiam menatap iba pada gadis yang terbaring lemah di atas ranjang pesakitan.

"Memang sudah seharusnya psikiater lah yang masuk dalam ranah ini." bisiknya sembari menyelimuti tubuh pasiennya.

***

            Nida memasuki ruangan Dr. Richard dengan hati dipenuhi oleh berbagai prasangka. Hati kecilnya merasa ada yang salah dengan putrinya, akan tetapi ia masih belum tahu apa itu. Ruangan yang ia masuki tampak menyejukkan matanya. Tak seperti biasanya, ruangan dokter yang tengah ia datangi ini bernuansa hijau dengan dipenuhi oleh berbagai tanaman hias. Tak kalah mengagetkan, terdapat jendela yang cukup besar yang selalu dibuka ketika penghuninya berdiam di sana. Udara segar pun masuk melalui jendela yang menganga lebar. Udara yang benar-benar meringankan pikiran itu berasal dari kebun di belakang ruangan dr. Richard.

            "Ahh, Bu Nida. Silahkan duduk!" sapa dokter berhidung mancung itu sembari menyodorkan tangannya yang kemudian disambut hangat oleh Nida.

            "Baik. Anda tentu sudah dapat menebak kenapa saya perlu memanggil anda secara pribadi di ruangan ini ...." pria lajang keturunan Chinese itu memandang wajah Nida untuk memperhatikan ekspresi yang ditimbulkan oleh tamunya itu. Ia cukup takjub, perempuan di depannya itu terlihat sangat tenang. Memang benar rupanya berita yang beredar mengenai kepiawaian pengacara itu dalam menghadapi berbagai kasus, selalu bersikap tenang dan hati-hati. Persis seperti itu lah yang kini ditunjukkan oleh Nida.

            Dr. Richard sempat tak percaya jika perempuan setenang ini memiliki anak sekacau Rena. Sungguh perpaduan yang aneh, batinnya.

            "Berdasarkan analisa nampaknya saudari Rena mengalami mental illness. Namun, untuk membuktikan kebenarannya, saya rekomendasikan seorang psikiater untuk menganalisa kasus putri Anda. Sebentar lagi psikiater itu akan tiba ...." tuturnya sembari menatap lekat ekspresi perempuan separuh baya itu. Sekali lagi ia meyakini, "Nida memang pengacara handal. Bahkan kasus putrinya pun tak menunjukkan ekspresi kepanikan di wajahnya." Dokter berwajah oriental itu meyakini jika perempuan di hadapannya itu sedang merencanakan sesuatu untuk kebaikan ia dan putrinya.

            "Baiklah, Dok. Saya tunggu di ruangan dimana putri saya dirawat. Permisi!" Nida menyalami dr. Richard sembari tersenyum, lalu bergegas menuju ruangan putrinya.

            Sesungguhnya hati ibu mana yang tak hancur saat mendengar berita buruk tentang anaknya. Namun, sebagai seorang pengacara yang terbiasa mendengar berbagai kasus membuat perempuan beralis tebal itu mampu bersikap tenang, menunjukkan kedewasaan usia, kematangan pikir, dan ketenangan jiwanya. Ia tak ingin larut dalam kesedihan, apalagi kepanikan. Saat ini yang perlu ia lakukan hanyalah fokus pada kesehatan mental dan kesembuhan kaki anaknya. Ya, anaknya itu kini tak hanya di vonis sakit mental, juga mengalami cidera berat pada kedua kakinya. Nampaknya ia memang benar-benar harus berjuang untuk menyembuhkan luka batin sekaligus luka raga yang sedang dialami oleh putrinya.

            Ahh, ingin rasanya ia menangis, kemudian membunuh mantan suaminya. Penyebab segala petaka.

***

            Menjelang sore, Rena didatangi oleh seorang perempuan berumur tak lebih dari empat puluh tahun. Dia lah dr. Ayu Parameswari, Sp.Kj, psikiater yang akan memvonis Rena. Dokter ahli kejiawaan itu dengan tenang mengajak Rena berdiskusi selayaknya seorang sahabat. Sungguh-sungguh ia perhatikan segala bentuk body gesture yang ditunjukkan oleh pasien yang tengah duduk di atas ranjang tepat di sampingnya duduk.

            Terbata-bata Rena menceritakan detail kejadian yang menimpanya selama berada di Bandung hingga berujung melompat dari wahana bermain. Dokter berkulit seputih patung Yunani itu juga menggali informasi seputar masa lalu gadis SMA itu. Saat menceritakan masa lalunya, gadis berwajah melayu itu tampak tertekan, seperti enggan berkisah. Ujung-ujungnya gadis itu hanya berkata, "Semua orang jahat, Bu!" ujarnya, lalu tak ada lagi yang ia ucapkan. Gadis itu mendadak bisu dan tuli, sedang matanya tertuju ke luar jendela. Namun, ketika dokter jiwa itu menelusuri arah pandang gadis bertubuh ringkih itu, ia hanya menemukan deretan pohon yang rindang.

            "Salvat, ada di sana, Bu!" tunjuk Rena. Namun, lagi-lagi yang terlihat hanyalah deretan pohon ketapang. Ayu-- nama panggilan dokter kejiwaan, menarik nafas sepelan mungkin. Mendadak ia merasa iba dengan anak SMA yang tengah memandang ke luar jendela itu, "Seumur hidup kau harus meminum obat, Nak!" ujarnya pelan.

 ***

Nida menemui dr. Ayu di ruang kerjanya. Kemudian setelah berbincang-bincang tentang masa lalu dan keseharian seorang Rena, dokter ahli kejiwaan itu pun menunjukkan kuasanya melalui sebuah vonis.

"Dari cara bicara yang kacau, mata yang kosong, serta ilusi yang mendorongnya melakukan hal-hal di luar nalar, saya memutuskan anak Ibu menderita Skizofrenia Paranoid ...." dr. Ayu menatap penuh wajah perempuan yang duduk di hadapannya, hanya terhalang meja. Sedikit ia temukan raut keterkejutan di wajah perempuan cantik itu. Ya, meski hanya sekilas, sisanya dengan lekas perempuan itu dapat menguasainya kembali. Bersikap setenang mungkin.

"Skizofrenia Paranoid adalah penyakit yang menyerang otak...,"

"Rena harus rutin minum obat seumur hidupnya, jangan sekalipun terlewat. Selain itu saya harap putri Ibu rutin berkonsultasi ke psikolog, lebih bagus lagi ke seorang psikiater." Tutup dr. Ayu.

***

            Nida mendorong ke luar sebuah kursi roda yang diduduki oleh putrinya. Mereka akan bergerak menuju mobil yang telah terparkir tepat di pintu ke luar rumah sakit. Tiba-tiba  Rena menggapai tangan ibunya, membuat perempuan yang telah melahirkannya itu menghentikan lajunya, untuk kemudian berjongkok di hadapan Rena.

            "Ada apa, Nak?"

            "Ma, aku ingin tetap sekolah dan melanjutkan kuliah dengan usahaku sendiri!"

            "Ta-tapi, Nak, keadaanmu ...."

            "Keadaan yang lumpuh dan gila, begitu maksud Mama?" Rena meraih tangan ibunya, menciumnya, lalu menggenggamnya, "Ma, aku tak bisa hidup seperti ini selamanya. Aku akan berjuang mencapai cita-citaku. Suatu hari aku akan ke Paris, suatu saat aku akan sukses. Tak peduli aku harus meminum obat seumur hidup, asal aku dapat menebar manfaat untuk sesama."

            Melihat kesungguhan dan tekad yang membara di mata putrinya, membuat sang ibu luluh juga, hingga mengijinkan sang anak melanjutkan pendidikannya.

***

Ini kesekian kalinya Rena terbangun dari tidurnya dalam keadaan yang payah, matanya sembab dan pipinya basah. Ditambah pula air mata yang tak mau berhenti turun, sedang dadanya terasa sangat sesak tatkala ia sentuh. Setelah kesadarannya telah terkumpul dengan sempurna, ia mulai mampu mencerna apa sebab tangisan dan sesaknya itu. Rupanya, karena ia telah bermimpi laki-laki yang sama untuk kesekian kalinya. Tak terhitung berapa kali ia bermimpi tentang laki-laki dengan tinggi menjulang yang pergi begitu saja meninggalkannya sendirian di ujung stasiun kereta.

Rena terduduk di tepi ranjang, ia mendekap erat tubuhnya sendiri. Keringat mulai mengucur dari dahinya. Diliriknya jam mungil di atas nakas.

"Pukul 02.00, selalu begini." lirihnya hampir-hampir akan menangis lagi. Ia kuat-kuatkan dirinya agar tak ada yang menguasainya lagi. Kemudian pandangannya teralih pada sebuah botol kaca berukuran 60 ml.

"Obat, aku butuh obat!" jeritnya tak tahan lagi menahan desakan dari dalam otaknya. Lekas diraihnya botol obat itu. Namun, karena tergesa-gesa botol berisi puluhan obat rekomendasi dokter kejiwaan itu malah jatuh berguling ke bawah, lalu hancul berkeping-keping di tas lantai granit. Seketika ia pun memekik.

Dari kejauhan terdengar suara langkah kaki yang berderap-derap, mungkin setengah berlari menuju ke kamar Rena. Benar saja tak lama kemudian muncul Nida dari balik pintu dengan ekspresi cemas.

"Nak, kamu kenapa?" tanya Nida sambil melangkah menghampiri Rena yang tengah memegang kepalanya seakan menahan sesuatu agar tak ke luar dari kepalanya.

"Ma, di kepalaku seperti ada yang mendesak ke luar. Aku takut ...."

"Tenangkan dirimu, Nak. Atur nafas ...," jawab Nida sambil memeluk tubuh ringkih Rena. Mata perempuan itu tertuju pada pecahan botol yang berhamburan di atas lantai.

            "Aku harus membuat Rena tenang tanpa bergantung pada obat," batinnya.

            "Rena, dengar, Nak! Kamu itu istimewa, kamu pintar, cerdas, dan baik hati. Mama sayang kamu, Nak. Pelan-pelan lupakan semua hal negatif itu. Lawan, Nak ... lawan!" seru Nida berusaha menyemangati Rena.

            "Buktikan, kamu bisa kuliah, ke Paris, kerja ...," cetus Nida sekali lagi berusaha membangkitkan energi positif dari dalam pikiran putrinya.

"Aku menyerah di atas bara cinta yang menyesatkan ...," batin Rena.

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun