Kini tinggallah perawat bernama Ima yang terdiam menatap iba pada gadis yang terbaring lemah di atas ranjang pesakitan.
"Memang sudah seharusnya psikiater lah yang masuk dalam ranah ini." bisiknya sembari menyelimuti tubuh pasiennya.
***
      Nida memasuki ruangan Dr. Richard dengan hati dipenuhi oleh berbagai prasangka. Hati kecilnya merasa ada yang salah dengan putrinya, akan tetapi ia masih belum tahu apa itu. Ruangan yang ia masuki tampak menyejukkan matanya. Tak seperti biasanya, ruangan dokter yang tengah ia datangi ini bernuansa hijau dengan dipenuhi oleh berbagai tanaman hias. Tak kalah mengagetkan, terdapat jendela yang cukup besar yang selalu dibuka ketika penghuninya berdiam di sana. Udara segar pun masuk melalui jendela yang menganga lebar. Udara yang benar-benar meringankan pikiran itu berasal dari kebun di belakang ruangan dr. Richard.
      "Ahh, Bu Nida. Silahkan duduk!" sapa dokter berhidung mancung itu sembari menyodorkan tangannya yang kemudian disambut hangat oleh Nida.
      "Baik. Anda tentu sudah dapat menebak kenapa saya perlu memanggil anda secara pribadi di ruangan ini ...." pria lajang keturunan Chinese itu memandang wajah Nida untuk memperhatikan ekspresi yang ditimbulkan oleh tamunya itu. Ia cukup takjub, perempuan di depannya itu terlihat sangat tenang. Memang benar rupanya berita yang beredar mengenai kepiawaian pengacara itu dalam menghadapi berbagai kasus, selalu bersikap tenang dan hati-hati. Persis seperti itu lah yang kini ditunjukkan oleh Nida.
      Dr. Richard sempat tak percaya jika perempuan setenang ini memiliki anak sekacau Rena. Sungguh perpaduan yang aneh, batinnya.
      "Berdasarkan analisa nampaknya saudari Rena mengalami mental illness. Namun, untuk membuktikan kebenarannya, saya rekomendasikan seorang psikiater untuk menganalisa kasus putri Anda. Sebentar lagi psikiater itu akan tiba ...." tuturnya sembari menatap lekat ekspresi perempuan separuh baya itu. Sekali lagi ia meyakini, "Nida memang pengacara handal. Bahkan kasus putrinya pun tak menunjukkan ekspresi kepanikan di wajahnya." Dokter berwajah oriental itu meyakini jika perempuan di hadapannya itu sedang merencanakan sesuatu untuk kebaikan ia dan putrinya.
      "Baiklah, Dok. Saya tunggu di ruangan dimana putri saya dirawat. Permisi!" Nida menyalami dr. Richard sembari tersenyum, lalu bergegas menuju ruangan putrinya.
      Sesungguhnya hati ibu mana yang tak hancur saat mendengar berita buruk tentang anaknya. Namun, sebagai seorang pengacara yang terbiasa mendengar berbagai kasus membuat perempuan beralis tebal itu mampu bersikap tenang, menunjukkan kedewasaan usia, kematangan pikir, dan ketenangan jiwanya. Ia tak ingin larut dalam kesedihan, apalagi kepanikan. Saat ini yang perlu ia lakukan hanyalah fokus pada kesehatan mental dan kesembuhan kaki anaknya. Ya, anaknya itu kini tak hanya di vonis sakit mental, juga mengalami cidera berat pada kedua kakinya. Nampaknya ia memang benar-benar harus berjuang untuk menyembuhkan luka batin sekaligus luka raga yang sedang dialami oleh putrinya.
      Ahh, ingin rasanya ia menangis, kemudian membunuh mantan suaminya. Penyebab segala petaka.