Mohon tunggu...
Dian Chandra
Dian Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Arkeolog mandiri

Pemilik buku: Sapatha dari Negeri Seberang (2021), Lalu (2022), Relung (2022), Jalan-jalan di Bangka (2022), Hen (2022), Aksara Anindya (2022), Aksara Mimpi (2023), Diary para Hewan (2023), dan Kepun (2023)

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Aksara Mimpi || Bab 3 Ilusi

8 Oktober 2023   11:49 Diperbarui: 8 Oktober 2023   12:56 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab 3

Ilusi


Bandung, 2010

"Jadi, akan kemana kita? Ada ide?" tanya Salvat. Rena berpikir sejenak. Sesungguhnya ia ingin langsung memesan hotel. Namun, ini kesempatan besar untuk mendekati Salvat.

Melihat Rena yang tampak berpikir keras. Salvat pun langsung mengambil keputusan, "Ayo, kita ke Kawah Putih Ciwidey! Aku yang bayar!" ajak Salvat tanpa menunggu jawaban dari Rena, dengan ragu gadis SMA itu mengikuti Salvat. Salvat menyewa taxi untuk mengantarkan mereka ke tempat tujuan.

Di sepanjang perjalanan, Rena merasa risih dengan pandangan supir taxi yang terus menatapnya dari balik kaca. Lelaki paruh baya yang saat ini sedang mengemudi tampak mengernyitkan dahi, tatkala Rena mulai mengajak Salvat bercakap-cakap. Namun, malah bapak supir yang menjawabnya, "Neng, bolos sekolah ya? Seragamnya belum diganti tuh!" sambar supir taxi dengan kartu nama bernama Ipang itu.

Rena melengos, sedang Salvat hanya terkikik-kikik. Aura tampannya seketika menguap.

"Hati-hati kalo bepergian sendiri, Neng! Selalu waspada. Jangan gampang percaya sama orang lain!" ujar Pak Ipang sembari sesekali  menatap aneh Rena dari balik kaca.

Sepanjang perjalanan sembari mengemudi, Pak Ipang terus saja mengoceh. Rena dan Salvat hanya diam, memandang jauh ke luar jendela.

***

Kawah Putih Ciwidey adalah negeri dongeng yang menjadi nyata, dengan kabut putih yang tak ada habisnya. Pun dingin yang menusuk tulang, dan ranting-ranting mati yang masih tertancap, membuat siapa pun yang berada di sana akan terhisap ke dalam alam mimpi.

Bayangkan di balik tebalnya kabut terdapat kehidupan para peri mungil. Lalu di sana, lebih jauh lagi, di balik angkuhnya perbukitan rupanya berdiri kokoh istana kuno ala kastil negeri dongeng. Bayangkan pula kau tersesat di kawah putih itu. Peri-peri mungil berhidung mancung mulai menghampirimu. Bertanya ini dan itu, lalu mengasihanimu yang tersesat tak tahu arah jalan pulang.

Bayangkan pula kau bermalam di sana, di pemukiman para peri yang serupa kunang-kunang di malam hari. Mereka menyambutmu dengan suka cita, menyalakan api unggun hanya untuk menghangatkan tubuhmu yang mulai gemetar kedinginan, kemudian menari-nari menyambutmu dalam kumpulan mereka.

Bayangkan jika sesungguhnya kau tak benar-benar tersesat, tetapi sedang menghindari kejaran seorang penyihir hitam. Kau telah berbohong kepada para peri. Karena ulahmu itu mereka akan terkena imbasnya. Penyihir hitam akan mematikan mereka dan menghancurkan pemukiman mereka. Kemudian, karena tak ingin ada yang celaka, kau pun bergegas berjalan menuju ke istana kuno dengan seorang diri. Lalu sesaat setelah kepergianmu, nasib buruk menimpa kawanan peri. Entah karena ulah dari penyihir hitam, atau justru karena ulahmu sendiri, Si Putri Tanpa Nyawa?

Kau pun tiba di istana kuno. Kali ini kau memulai aksimu kembali; pura-pura tersesat, tak tahu arah pulang. Setelahnya dengan mulut manismu kau rayu penguasa di sana untuk memuliakanmu, lalu sesudahnya kau bunuh semuanya, seisi istana kuno.

Akhirnya seperti biasa, penyihir hitam datang terlambat. Kau pun melaju kembali menuju negeri dongeng lainnya.

Rena menceritakan sebuah dongeng kepada Salvat, di hadapannya terbentang kawah. Rena ingin bercerita lebih banyak lagi. Kawah Putih Ciwidey telah meledakkan seluruh imajinasinya hingga ia tak sabar ingin berkisah.

"Bagaimana jika di Goa Belanda itu berdiam diri seekor naga seukuran buaya pada umumnya?" Rena menunjuk sebuah gua buatan karya kolonial Belanda.

"Kenapa naga itu hanya berukuran kecil?" tanya Salvat yang mulai lelah mendengar ocehan Rena.

"Namanya juga imajinasi. Hehehe ...." sahut Rena.

"Baiklah, cukup dengan dongeng hitammu itu! Ayo, kita bergegas ke tempat lainnya!" ujar pria pemilik mata hijau warisan ibunya itu, tangannya menarik kencang tangan gadis di sampingnya hingga gadis mungil itu berteriak kesakitan. Namun, pria jangkung itu tak peduli.

"Aku akan menghidupkan dongengmu itu." sahutnya dengan lantang.

***

 Malam telah larut, seorang gadis berseragam SMA masih duduk termangu di atas sebuah bianglala, di sebelahnya duduk pula seorang pria jangkung. Bersama-sama mereka bercerita macam-macam, meski itu terdengar absurd sekalipun. Ya, keduanya adalah Rena dan Salvat. Mereka belum juga beranjak dari Bandung, masih saja bermain-main dengan pikiran masing-masing.

 "Selama hampir sepuluh tahun, Dea selalu bermimpi lelaki yang sama. Dalam mimpinya, ia dan lelaki itu hanya berada di satu lokasi yang sama, yakni sebuah kereta tak bertujuan yang terus melaju selama hampir sepuluh tahun ia bermimpi. Karena penasaran dan lelah terus menerus bermimpi, suatu hari Dea memutuskan untuk menjelajahi setiap kereta yang terlihat mirip seperti di dalam mimpinya. Apakah Dea akan bertemu dengan Nald, lelaki dalam mimpi itu? Ataukah Nald hanyalah bunga tidur saja?" Gadis itu memberikan ekspresi sendunya setelah ia mengakhiri kisahnya dengan pertanyaan.

            "Apakah gadis itu kamu, Ren?" sindir Salvat.

            "Bisa ya, bisa tidak. Aku tak pernah bermimpi seperti itu," kelitnya. Ia mulai mengacak-acak rambutnya.

            "Faktanya kau ke sini menumpang kereta...," ejek Salvat. Ia turut mengacak-acak rambut gadis yang duduk di sebelahnya.

            "Apakah kau bosan dengan hari-harimu?" tanya Salvat, ia memandang bulat-bulat wajah gadis di sampingnya.

            "Mungkin begitu, hari-hariku sangat buruk. Teman-teman sekolah yang jahat, ayah yang jahat, ibu yang harus berkerja ...," jawab Rena dengan nada rendah.

            "Aku pun begitu. Ayah yang sibuk, terus memaksaku untuk menjadi penerus bisnisnya..., ibu yang entah dimana keberadaanya, terakhir kutahu ia tengah berlibur di Miami..., sungguh hari-hari yang membosankan, bukan?"

            "Bagaimana kalau kita melakukan sesuatu?" tanya Salvat antusias. Matanya mendadak berbinar-binar.

            "Apa?" sela Rena, ia mulai gelisah.

            "Sudah ikut saja..., bayangkan kau sedang berada di dalam helikopter yang terbang di atas ketinggian yang cukup untuk membuatmu meloncat ke bawah..."

            "Maksudmu...." Belum selesai Rena melanjutkan kalimatnya, dengan sekali hentakan Salvat berhasil menarik Rena dan mengajak gadis itu meloncat. Ya, meloncat dari atas bianglala tanpa pengaman sedikitpun.

            "Arrkkk...." Entah jeritan siapa itu. Sebab, semua orang tampak membuka mulut sesaat jatuhnya seonggok tubuh milik Rena.

Bersambung

 

 

 

 

 

Gelora tak akan berhasil

Di saat masa menebarmu

Waktu semakin mengecil

Haruskah aku mengejarmu?

Rena

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun