Mohon tunggu...
Dian Chandra
Dian Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Arkeolog mandiri

Pemilik buku: Sapatha dari Negeri Seberang (2021), Lalu (2022), Relung (2022), Jalan-jalan di Bangka (2022), Hen (2022), Aksara Anindya (2022), Aksara Mimpi (2023), Diary para Hewan (2023), dan Kepun (2023)

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Aksara Mimpi || Bab 2 Salvat Breogan

8 Oktober 2023   10:44 Diperbarui: 8 Oktober 2023   11:21 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab 2

Salvat Breogan


Jakarta, 2010 (pukul 05.30 WIB)

Sepagi ini Rena telah berpakaian seragam sekolah lengkap. Mamanya sempat curiga, mengapa ia berangkat sekolah sepagi ini? Namun, dengan tenang Rena menjawab, " Hari ini aku ada ujian, Ma. Jadi harus berangkat lebih awal. Supaya dapat belajar dan menyiapkan diri dengan tenang!"

Mamanya pun mengangguk mengijinkan, meski hatinya merasa ganjil.

Rupa-rupanya, Rena tak berangkat ke sekolah. Malahan, ia beralih menuju ke arah stasiun. Ya, Rena memutuskan untuk bolos sekolah, dan justru berencana pergi ke Bandung dengan menaiki kereta api eksekutif. Kereta dijadwalkan akan meluncur tepat pukul 06.50 WIB dari Stasiun Gambir.

Sejak dini hari tadi, ia memang telah merencanakan dengan matang untuk berkelana seorang diri menuju Bandung. Ia menginginkan suasana yang berbeda. Sungguh, ia lelah dengan ledekan teman-teman sekelasnya. Hanya karena wajahnya menghitam bekas cacar api.

Rena yang telah beranjak remaja itu, tentu saja malu dengan keadaan wajahnya yang tak semulus dan sebening teman-teman perempuannya. Bahkan teman laki-laki di kelasnya, memiliki wajah yang jauh lebih mulus dari dirinya.

Hati Rena terasa pedih, tatkala mengingat itu semua. Cairan bening di kedua kelopak matanya mulai menggelayut, bersiap terjun menuju kedua pipinya. Sesak pun mulai ia rasakan.

Tiba-tiba dari arah jalur 2, terdengar suara derit kencang tatkala kereta akan berhenti. Rena segera melangkahkan kakinya menuju salah satu gerbong. Ia hanya membawa tas ransel berukuran sedang yang di dalamnya telah ia selipkan dua helai pakaian ganti, dompet berisi kartu-kartu penting dan uang, sunscreen,  handuk kecil, botol minum, kaos kaki dan ponsel. Tatkala telah sampai pada nomor kursinya, segera ia pindahkan ranselnya dari punggung ke dalam dekapannya, sembari ia mendudukkan diri pada sebuah kursi nan empuk.

Suasana di dalam gerbong tampak sepi. Belum apa-apa Rena sudah merasa lapar. Beruntung seorang prami lewat, ia pun lantas memesan makanan yang familiar baginya, yaitu Hokben. Setelah pesanannya tiba, ia pun makan dengan tenang.

Kereta bersiap meluncur. Rena menegakkan sandaran kursi. Ia tak ingin jatuh tertidur saat dalam perjalanan. Ia bermaksud menikmati setiap pemandangan yang akan dilewati. Kereta pun meluncur pada jalurnya. Rena bersiap untuk menikmati keindahan yang dibawakan oleh kereta di sepanjang perjalanan. Beruntung, ia duduk tepat di kursi samping jendela sebelah kiri.

Mata Rena terus terpukau, sembab di wajahnya pun seakan berganti dengan rona merah muda. Pertanda betapa senangnya ia saat itu.

Kereta melintasi jalur selatan, terlihatlah keindahan alam Parahyangan. Ditambah pula dengan keseruan saat kereta melewati beberapa jembatan dan juga terowongan. Seketika Rena merasakan sensasi yang berbeda.

Kemudian pada lintasan terowongan berikutnya, seorang pria muda menyapanya.

"Hola. Cmo ests?" sapa pria asing berkulit eksotis kepada Rena yang menatap balik tak berkedip. Pria asing itu seakan-akan telah lama mengenal Rena.

Rena yang semula sempat terkesima akan ketampanan pria yang menyapanya, segera menguasai dirinya. Rena menampilkan ekspresi kebingungan. Bukan, bukan karena ia tak paham akan bahasa yang digunakan oleh si pria asing. Hanya saja, ia tak tahu harus menjawab apa. Ia tak pernah disapa oleh pria setampan pria di hadapannya ini.

"Boleh aku duduk di sebelahmu? Aku butuh teman ngobrol," desak si pria. Rena pun hanya bisa melongo. Tak menyangka bila makhluk tampan yang telah berganti posisi berada di sampingnya, ternyata juga mahir berbahasa Indonesia. Makin kikuklah Rena. Wajahnya merona merah tak kira-kira.

"Perkenalkan, namaku Salvat! Salvat Breogan."

Si pria menyorongkan tangan kirinya, berharap disambut oleh Rena. Ragu-ragu Rena pun memberikan tangannya untuk disentuh oleh pria asing yang ternyata bernama Salvat. Kemudian, cepat-cepat ditariknya kembali.

Salvat tersenyum melihat tingkah Rena. Semakin salah tingkahlah Rena.

Dari ekor matanya, Rena dapat melihat Salvat. Seorang pria muda, berkebangsaan Spanyol, dengan tinggi badan sepanjang galah, rambut hitam, kulit eksotis, badan nampak berotot, sedang duduk santai di sampingnya dengan pakaian serba hitam.

Seketika Rena merasa seperti ada kepak sayap kupu-kupu di perutnya. Sungguh aneh. Ia tak ingin mengakui, jika cinta telah datang begitu saja.

Ahh, tiba-tiba Rena menginginkan lebih dari sekadar mengobrol.

Ya, Rena ingin memiliki pria berkemeja hitam yang kini tengah memandang ke luar jendela.

Sementara hari beranjak siang. Rena tak sedikitpun merasa mengantuk. Ia harus selalu terjaga, agar dapat memandang wajah Salvat sepuasnya.

Benar saja usai berbasa-basi, bertanya ini itu, dan bercerita seperlunya, akhirnya Salvat pun tertidur. Meski agak kesulitan untuk merenggangkan kakinya yang jenjang.

Rena mengatur nafas. Ingin ia abadikan wajah tampan Salvat dalam ponsel canggihnya. Segera saja, ia rogoh kantung ransel, mengambil ponsel canggihnya. Lalu menjepret Salvat dari samping.

Tanpa melihat hasil foto, gegas ia taruh kembali ponsel ke dalam ransel. Jelas, ia tak ingin Salvat terbangun dan mengetahui ulahnya. Salah-salah, ia bisa dimarahi karena melanggar privasi dengan mngambil fotonya secara diam-diam, tanpa ijin.

Setelah puas mengambil foto, tiba-tiba saja Rena merasa takut kehilangan. Sudah pasti ini akan jadi pertemuan pertama sekaligu terakhir mereka. Rena mulai gelisah. Untuk menutupi kegelisahannya, ia mencoba menatap ke luar jendela. Namun, nihil. Pemandangan indah yang disombongkan oleh para penikmat perjalanan, kini tak lagi menarik di mata Rena. Sebaliknya, pria berkaki jenjang di sebelahnya lah yang mulai jadi pusat perhatiannya.

Rena mengembus nafas kasar. Ia sadar diri, mana mungkin pria asing ini menginginkan dirinya. Pada akhirnya, Rena pun menyerah. Ia memaksa pikirannya untuk hanya memandang ke luar jendela saja, sembari meneguk air mineral sebanyak-banyaknya agar tenang hatinya.

Waktu berlalu begitu saja. Suara derit kencang kembali terdengar, pertanda kereta telah mencapai tujuannya. Para penumpang bergegas turun, lalu berjalan tergesa-gesa menuju pintu ke luar. Rena pun ingin turun. Namun, terhalang oleh keberadaan Salvat yang masih tertidur.

Mau tak mau, Rena pun membangunkan Salvat dengan menyentuh lengan kokoh pria asing itu. Salvat pun terbangun, lalu tersenyum. Hati Rena pun berdesir.

"Ahh, sudah sampai rupanya! Ayo, turun!" ajaknya. Rena mengikuti dari belakang.

Pikiran Rena mulai bercabang, "Haruskah aku mengikutinya saja? Ataukah aku kembali ke rencana semula, yakni menginap di hotel lalu malamnya menjelajahi Bandung?" debat batin Rena.

Salvat menoleh ke belakang. Dilihatnya ada ekspresi bimbang di wajah Rena.

"Hei, anak kecil! Kau akan kemana setelah ini?" tanya Salvat penasaran.

"Entahlah!" sahut Rena pelan dan singkat.

Bersambung

 

dalam kantuk sore hari

aku memanggilmu

untuk meyakinkan mata yang letih

bahwa kau masih di peraduanku

Rena

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun