Langit malam Kota Bugenvil tampak tak seperti biasanya. Tepatnya jauh lebih gelap, angin kencang sedari sore bertiup hampir menerbangkan banyak benda, dan anehnya tak ada suara binatang malam barang seekor pun.
Samar-samar dalam keremangan malam, seorang wanita terlihat sedang bersusah payah menyeret sebuah karung goni yang berisi sesuatu di dalamnya.
Dia sangat diuntungkan malam ini, sebab cuaca malam yang mendadak tak biasa telah membuat warga kota enggan untuk berada di luar rumah. Mereka lebih memilih untuk menutup semua pintu dan jendela, mematikan lampu luar, lalu duduk di depan perapian bersama keluarga masing-masing. Begitu lebih baik, pikir mereka.
Wanita itu masih saja sibuk dengan karung goninya, berjalan membelah jalanan. Tanpa ia sadari lampu jalanan berhasil mengeksposnya, ia terlihat mengenakan jaket kulit, rok hitam pendek, sepatu bot sebetis, rambut panjang terikat ke belakang, dan .... Wajah yang menawan dengan sorot mata setajam golok penjagal.
Dia terus berjalan sembari menyeret karung goni di sepanjang jalan beraspal. Dia tak hanya kesulitan dengan bobot karung, tetapi juga harus melawan laju angin yang bertiup semakin kencang. Dia kuatkan tekadnya, berjalan terus meski harus terseok-seok. Sedikit lagi, pada belokan di depannya, dia akan sampai pada sebuah  pemakaman tua--milik keluarga Qens. Tepatnya, Kuburan Qens, begitu orang-orang menyebutnya, dibangun pada abad pertengahan oleh Sarah--si leluhur.
Dari jauh wanita berkulit seputih pualam itu dapat melihat gapura yang bertuliskan Qens of Almshouse, yang berarti Rumah Amal Qens, sebuah penamaan yang cukup janggal untuk nama dari sebuah kuburan, tepatnya pemakaman. Namun, wanita itu tampak tak peduli dengan keganjilan itu, padahal ke sanalah tujuannya.
Sejenak kemudian wanita itu berhenti, lalu menyunggingkan senyum terbaiknya.
 "Sebentar lagi Ghee akan benar-benar mati," desisnya. Tubuhnya masih cukup kuat untuk menyeret sekarung goni berbobot. Tak ada keluhan sedikitpun dari bibir ranumnya.
Sepuluh menit kemudian, ia telah sampai di depan gapura yang bertuliskan Qens of Almshouse, tujuannya.
Gapura itu terkunci. Sebuah gembok besar dan berkarat menjadi penghalang wanita itu untuk masuk ke dalam. Ia pun tak kehilangan akal. Dirogohnya botol kecil yang berisi cairan aneh, lalu dengan cekatan ia siramkan isi botol pada gembok. Seketika gembok mulai meleleh.
"Ternyata benar, Aqua Regia memang cairan ajaib," tuturnya dengan senyum kemenangan.
Cepat-cepat ia menutup hidungnya dengan sapu tangan yang telah ia sisipkan di saku jaket. Kemudian ia melihat ke sekitarnya, ia temukan sebatang ranting kering.
"Ranting ini cukup kuat untuk menyingkirkan gembok," ujarnya sembari menimbang-nimbang ranting. Benar saja, tatkala ranting kering menyentuh gembok yang hampir tak berbentuk itu, seketika pintu gerbang pun terbuka.
Wanita itu terkekeh, kakinya mulai melangkah masuk sembari menyeret karung goni.
Kali ini ia cukup kesulitan, terlalu banyak makam dan sampah alam, seperti dedaunan kering, ranting, dan pohon tumbang. Sehingga ia benar-benar harus berhati-hati.
Pada akhirnya tekadnya yang kuat itu membawanya pada tujuannya. Kini ia telah berada pada sebuah makam tua berbentuk bangunan kokoh setinggi satu meter, di atas nisan terdapat patung menyerupai makhluk bertanduk tiga dengan sayap di punggung.
Wanita itu melepaskan bawaannya tepat di depan makam tua itu, tangannya sibuk membersihkan nisan dari debu, dedaunan, dan ranting kering. Saat nisan telah benar-benar bersih, sebuah nama menyembul, EPOCH.
Wanita itu pun tersenyum. Dirogohnya saku jaket, sebatang rokok pun kini telah berpindah ke bibir ranumnya. Lama niyan ia menghisap gulungan tembakau itu, ia menikmati benar tampaknya.
Sesaat setelah rokoknya habis, ia pun membuka ikatan tali pada karung goni. Keluarlah sesosok laki-laki yang bukan hanya sudah tak berdaya, rupanya juga telah lama mati.
Wanita itu kembali terkekeh. Namun, kali ini matanya tajam menatap ke dalam sepasang mata milik patung yang masih tampak berdiri kokoh. Mulut wanita itu mulai bergerak-gerak, "Hai, Sang Penguasa Kegelapan! Kupersembahkan keturunan Qens. Makanlah jiwanya semaumu!"
Ia berhenti sejenak untuk melihat ke sekelilingnya. Tak ada reaksi apapun, hanya ada angin yang menerbangkan dedaunan dan ranting-ranting pohon. Pemakaman itu masih dipenuhi oleh makam-makam tua bersama penghuninya, keturunan dari Qens dan Sarah.
 Merasa ia hanya sendirian, dilanjutkanlah gerakan mulut yang lebih menyerupai teriakan itu, "Biarkan burung gagak, cacing, belatung, dan hewan kotor lainnya memakan raganya ...."
Seketika angin mendadak berhenti bertiup, dan menjatuhkan segala benda yang tadi sempat beterbangan.
 "Aku telah selesai dengan urusanku. Sekarang terserah kau, mau kau apakan keturunan penjahat ini!" ucapnya, sembari menyalakan kembali sebatang rokok. Kemudian tanpa takut sedikitpun, ia melangkah keluar makam, lalu raib dalam gelap malam.
***
Keesokan harinya, terjadi kegemparan di Kota Bugelvil. Warga kota berkerumun di pemakaman Qens. Mereka saling bergunjing, saling mengeluarkan pendapat.
 "Kota kita telah dimasuki oleh Petarung Kuno!" teriak salah seorang dari mereka.
Seorang nenek tua yang hanya bisa duduk di atas kursi roda turut menimpali, "Legenda itu benar. Keturunan Qens yang jahat sepanjang hidupnya itu akan habis. Dibunuh oleh seorang Petarung Kuno ...."
"Hei, kota kita telah terbebas dari kutukan sejak semalam!" teriaknya mengundang keingintahuan para warga.
 "Kau benar, Nek. Dulu kakekku pernah bercerita tentang betapa jahatnya Bangsawan Qens."
 "Ya, bahkan iblis pun ingin menghancurkannya!" sela si Nenek dengan mata berkaca-kaca.
     "Apakah ini penyebab Kota Bugenvil selalu menyeramkan saat malam tiba?" Seorang pria muda bertanya dengan hati-hati. Ia tak ingin salah berucap.
    "Ya!" sahut si Nenek.
Para warga itu pun mulai mengeluarkan dan menceritakan segala pengetahuan yang mereka miliki terkait peristiwa semalam dan legenda Petarung Kuno hingga senja bergulir dan seakan membubarkan mereka.
Sementara itu, nun jauh di sana, seorang wanita berjaket kulit, memakai rok pendek, dan sepatu bot, serta sebatang rokok di ujung bibirnya, tampak sedang menumpang sebuah sedan. Ia mengembangkan senyumnya, dan berkata, "Tunggu aku, Leopold II!"
Tamat
Cerpen ini mendapatkan juara satu pada event opening penerbit Antariksa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H