KEKOSONGAN
 pagi-pagi kubeli gorengan
dalam wadah kertas
kumakan satusatu: balabala, cireng, risol kering, tahu isi, tempe kering
sembari kubaca pelanpelan
kertas yang berminyak:
-kurakura yang membopong bumi di punggungnya-
Â
kulihat abang gorengan
yang tak berhenti menggoreng
berdiam kekosongan di matanya
sedang di kertaskertas yang ia susun berjajar dekat gorengan dan limpahan cabe hijau
berbaring spectrum pengetahuan
yang telah ditelantarkan tuannya
demi semakan seminum badan
Â
kubuka ponsel pintar
menggulir berandaku yang ramai:
-manusiamanusia berdialog dengan semesta yang bisu-
Â
tangantangan yang bicara:
tentang titik yang meledak
menjadi alam semesta, tentang mana yang paling sibuk berkeliling, tentang bumi yang bulat yang datar, tentang tarik menarik tapi tak jatuh, tentang kuantum, tentang 99,9% kekosongan dalam atom
Â
yang kepalaku ada di dalamnya
membilang kerja membilang ingatan:
-tong kosong nyaring bunyinya-
Â
di sana kulaju langkah panjangpanjang:
-menemani jiwajiwa kosong-
wajah rimba
Â
Toboali, 11 Maret 2022
#
LALU LINTAS DI LINTAS WAKTU
Â
aku memacari nasib
dan
menikahi takdir
Â
yang lalu berbulan madu di jalan-jalan
melihat-lihat:
Â
orang-orang berswafoto di pinggir jalan;
anak kecil berwajah sedih
yang berjongkok di badan jalan;
nenek mengasuh anak anaknya: menyuapinya harapan
agar tak serupa anak perempuannya
yang pilu selalu;
warung-warung bakso yang sesak
dijejali semaunya keinginan: lapar, rakus, rakus, pamer, dendam, dendam, dan liur yang menetes-netes
sebab ingin
sebab terpesona
sebab menggemari dengan banyak-banyak kuah cabai;
pohon jambu air yang dikelilingi penikmat-penikmat musiman;
pertengkaran dua pengemudi
yang berebut lalu;
ibu yang menjunjung nampan di kepalanya
menjual butir-butir lelah
yang mengkristal di balik ketiak
pelipis
dan
kehidupan;
dan
keramaian lalu lalang penghuni jalan
yang mengacaukan pandang
yang menyerupai kebisingan di rumah lebah
Â
lekas kugenggam takdir
meminta basabasi kehidupan
di lintas waktu:
aku yang paling berbahagia
Â
Toboali, 07 Maret 2022
Â
##
Â
SEMUT
Serupa semut- semut merah. Kita kuat mengangkut segala duka di punggung waktu. Kita dapat menghidu aroma-aroma, bau-bau, yang mulai lewat di hidung kita: luka, tawa, dan takut. Yang semua kita gegas dalam sunyi. Jauh menuju lubang-lubang peradaban dan penantian umat manusia.
Toboali, 25 Januari 2022
Puisi diambil dari buku kumpulan puisi berjudul RELUNG (LSP, 2022) karya saya sendiri (Dian Chandra).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H