Mohon tunggu...
Hamid Ramli
Hamid Ramli Mohon Tunggu... lainnya -

Aktivis Lingkungan ingin berkiprah di bidang politik lokal agar kelestarian lingkungan tetap terjaga

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Membakar Ganja Menabur Palawija

29 April 2016   13:07 Diperbarui: 29 April 2016   17:04 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi - Antara Foto

*) Kisah Sukses Para Mantan Petani Ganja di Aceh

Sulit dibantah bahwa Aceh  adalah daerah penghasil ganja di Nusantara. Kondisi geografis Aceh yang mendukung, tanah yang subur, hujan yang teratur, dan posisi pegunungan dengan iklim yang relatif stabil membuat tanaman canabis sativa ini mampu tumbuh subur. Jika satu hektar ladang ganja menghasilkan 100 kilogram ganja siap pakai dengan harga lokal Rp. 200 ribu per kilogram, maka sekali panen bisa menghasilkan Rp. 20 juta. Masa panen tanaman ganja per tiga bulan sekali.

Padahal Aceh dikenal sebagai daerah yang menerapkan pelaksanaan Syariat Islam. Karenanya, ada fatwa MUI Aceh yang mengharamkan menanam, mengedarkan dan  memakai/mengonsumsi ganja.

Yang membuat publik merasa aneh, kok Pak Wagub Aceh Muzakir Manaf malah punya gagasan konyol menawarkan kepada pengusaha dan investor asing dari beberapa negara untuk mengelola Ganja dan Babi. http://newsaceh.com/2016/04/22/wagub-aceh-tawarkan-investor-asing-kelola-ganja-dan-ternak-babi-di-simeule/

Sangat naïf, jika gagasan Muzakir Manaf yang akrab disapa Muaem ini hanya lantaran perhitungan ekonomi kelas warung kopi, yaitu satu hektar ladang ganja menghasilkan 20 juta per sekali panen? 

Tapi benarkah petani, pengedar maupun kurir ganja di Aceh bisa cepat kaya? Ternyata tidak. Mantan Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar yang kemudian digantikan Mualem pernah berujar, petani ganja jauh lebih miskin dibandingkan petani produk pertanianlainnya yang legal. Sebab, umumnya para petani ganja ini hanya pekerja dari cukong.

Mualem tidak hanya lupa pada fatwa MUI Aceh. Mantan Panglima GAM ini mungkin belum pernah baca success story para petani kokain di Amerika Utara yang difasilitasi PBB berhasil mengalihkan usaha illegal mereka ke produk pertanian lain dan peternakan.

Dari pada jauh-jauh ke Amerika Utara, ternyata di Aceh sendiripun sudah mengadopsi program PBB sejak 2007. Waktu itu Mualem belum duduk dipemerintahan, masih sibuk mendirikan partai lokal, Partai Aceh. Kendaraan politik inilah yang mengantar Zaini Abdullah dan Mualem ke kursi Gubernur dan Wagub Aceh periode 2012-2017. 

Mulai tahun 2007 Badan Narkotika Provinsi (BNP) Aceh bekerjasama dengan berbagai pihak terkait berhasil menemukan dan memusnahkan puluhan hektar ladang ganja. Bersamaan dengan itu, BNP Aceh bekerja sama dengan sebuah LSM asal Thailand, Yayasan Me Fah Luang berhasil mengembangkan program alternatif development yang pilot project-nya dipusatkan di Desa Maheng, Kemukiman Lamteuba, dan Aceh Besar. Program yang sama pernah sukses dijalankan Me Fah Luang di Afghanistan. Konkretnya, ganja diberantas dibarengi dengan membangun ekonomi masyarakat dengan mengalihkan kegiatan masyarakat penanam ganja ke tanaman lain atau beternak.

Program ini diawali dengan membagikan ternak kepada masyarakat Desa Maheng,Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar, dan bibit tanaman kepada masyarakat Kemukiman Lamteuba. Kemudian secara bertahap dikembangkan ke daerah lain yang juga banyak terdapat ladang ganja.

Mereka yang sukses menuai hasil dari progam ini sebagaimana diceritakan dibawah ini.

Fauzan (27) warga GampongLambada, Kecamatan Seulimuem, Aceh Besar. Ketua Kelompok Tani Oisca Lamteuba ini menceritakan kisah suksesnya kepada Kapolri Jendral Polisi Badrodin Haiti saat menghadiri pemusnahan ladang ganja sekitar 21 hektar dari empat titik lokasi di daerah Lamteuba, Aceh Besar, Jumat, 1 April 2016.

Dulu ia bersama 20 temannya pernah menjadi petani ganja. Ketika ganja hendak dipanen, ketahuan oleh  aparat keamanan yang kemudian memusnahkannya.  

“Kadang kami dibohongi oleh bos,” kata Fauzan tanpa merinci siapa ‘bos’ yang ia maksudkan.

Kini Fauzan dan rekan-rekan seprofesinya dulu, telah beralih profesi menjadi petani palawija, kacang kuning, jagung dan tanaman keras lainnya. Kelompok Tani Oisca Lamteuba yang dipimpin Fauzan mempunyai 15 hektar lahan pertanian. Selainitu, ia juga punya lahan pribadi sekitar dua hektar. http://www.kanalaceh.com/2016/04/02/kisah-mantan-petani-ganja-di-lamteuba/

Fitriadi, 32 tahun, juga warga Aceh Besar dari Seulimeum. Ayah lima anak itu setidaknya bisa menjalani hidup jauh lebih tenang. Ia kini tidak lagi merasa was-was untuk datang ke ladangnya, di kawasan Mandoh, karena sejak Oktober 2007 Fitriadi sudah beralih profesi dari petani ganja menjadi petani durian. Mengapa durian? Konon, daerah ini pernah menjadi primadona produksi buah-buahandi Aceh Utara. Dan buah yang terkenal adalah ‘Durian Lamteuba’.  https://acehtravelmagazine.wordpress.com/2016/04/28/ganja-aceh-antara-kemiskinan-pengangguran-dan-kebutuhan-hidup/

Bersama 110 warga dari lima desa dalam Kemukiman Lamteuba, Fitriadi membentuk beberapa kelompok tani. Dia sendiri dipercaya menjadi Ketua Kelompok Tani Ubuek Meuling, yang memiliki anggota 30 orang dengan luas lahan 15 hektare dari total 50-an hektare lahan program khusus ini.

“Kalau dulu, sewaktu menjadi “petani gelap”, kita merasa sangat tidak aman, dan selalu main kucing-kucingan. Tapi sekarang jauh lebih aman dan tenang,” ungkap Fitriadi dengan ekspresi lega.  

Fitriadi berujar, dulu mereka sering harus tengah malam ke kebun. Harga jualnya pun murah. 

Samsul Bahri dan Abdul Wahab, anggota kelompok tani yang dipimpin Fitriadi mengamini penuturan Fitriadi. 

“Sekarang lebih aman dan nyaman, siang kita ke kebun, malam bisa istirahatdi rumah bersama keluarga,” timpal Samsul Bahri (30 tahun).  

Bagaimana dengan penghasilan mereka sekarang? Kelompok tani pada 2007 ini menanam 9000 pohon durian dengan kedele sebagai tanaman tumpang sari.  Pada panen serentak kedelai awal tahun 2008, dari 50 hektare lahan yang ditanami tumpang sari kedelai ini, menghasilkan hampir 20 ton kedelai. Harga jualnya sekitar Rp.7.500/Kg. Ini tentu saja sangat menyenangkan dan memberi semangat baru bagi warga yang telah menyadari akan kekeliruan mereka selama ini yang berprofesi sebagai petani ganja.

Kalau tentang durian, mari kita menghitungnya sendiri. Tarulah jika satu pohon durian pada musim panen terburuk berkisar 40-50 buah per pohon per tahun. Padahal normalnya rata-rata per pohon menghasilkan hingga seratus buah. Harga paling murah Rp 5.000. Dengan demikian, satu pohon durian menghasilkan minimal Rp 250 ribu per tahun, dkalikan 9 ribu pohon. Wow…..!

 Dengan penghasilan sebesar itu, dapat dipastikan bahwa  keinginan Fitriadi dkk untuk menanam ganja telah sirna dari hati dan pikiran mereka. Sayangnya, program yang mulai diinisiasi pada 2007 itu di era Wagub Muhammad Nazar, tidak dikembangkan secara maksimal. Mestinya dalam tempo hampir sepuluh tahun ini sudah ribuan Fitriadi lain yang berhasil digandakan di Aceh. Akan tetapi Mualem yang menggantikan M Nazar lebih fokus mengurusi politik bersama Partai Aceh bentukannya. Padahal sejatinya, politik itu memiliki tujuan mulia, yaitu untuk mensejahterakan rakyat, bukan hanya mensejahterakan pengurus parpol dan kroni-kroninya saja. [dari berbagai sumber].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun