Saat itu Malang di bulan Agustus memang lagi dingin-dinginnya karena pengaruh angin dari Benua Australia. Saya tidur di dalam sleeping bag dengan pakaian lengkap menggunakan jaket serta kaus kaki.
Di waktu Subuh dengan cuaca masih gelap gulita saya ngibrit sendirian ke toilet yang menurut saya lumayan jauh dan menembus kabut tebal. Perut saya mules, masih untung nggak cepirit di celana, huhu. Batin saya berkata, hebat juga saya jalan sendirian di hutan pinus menuju toilet sendirian.
Sekembalinya ke tenda, saya mengecek suhu yang menunjukkan 19 derajat celcius. Entah kalau di luar tenda berapa suhunya mungkin lebih dingin lagi karena memang masih berkabut,
Saya memasak air di teras tenda. Belum berani keluar tenda untuk masak di meja. Selain gelap juga hawanya dingin sekali. Membuat teh panas akan membantu tubuh saya lebih hangat lagi. Sambil menunggu matahari terbit saya mulai memanaskan sisa lauk tadi malam yang masih bisa dimakan untuk sarapan.
Anak-anak bangun tetapi belum semangat untuk sarapan. Mereka hanya minum susu dan teh saja. Kemudian saya punya ide untuk sarapan di tepi sungai. Saya langsung siap-siap membawa peralatan masak, bangku lipat, tikar, makanan, kerupuk dan lainnya.
Kami menyusuri jalan yang kemarin melewati ladang selada air dan merambat tembok-tembok di pinggir sungai. Akhirnya tiba juga kami di air terjun pendek dengan batu-batu besar. Bahagianya kami akhirnya bisa sampai juga karena kemarin ada pesepeda di tempat tersebut.
Saya mulai memasak mie instan dengan sosis, tak lupa beberapa buah cabe yang saya bawa dari rumah dicuci dulu di sungai. Air buat merebusnya pake air mineral ya bukan air sungai hehe. Dan kami semua sarapan dengan lahap, padahal hanya makan mie instant dari satu panci. Asyiknya memang rame-rame jadi makannya bisa lebih banyak.
Kami berfoto ria lagi setelah sarapan dan indahnya ahh.. ada pelangi di percikan air yang turun dari pancuran. Anak saya belum pernah melihat pelangi seumur hidupnya yang melewati usia 20 tahun.