Dewi (35), kakak ipar saya, mengalami luka di telapak kaki kanannya. Luka tersebut semakin parah dan tak kunjung sembuh. Setelah periksa darah, rupanya ia mengidap diabetes. Menurut dokter spesialis penyakit dalam, ia harus segera dirawat di rumah sakit. Ia pun masuk rumah sakit mengikuti kemauan sebagian besar saudaranya.
Setelah seminggu diinsulin, meminum berbagai macam obat paten di rumah sakit dan menjalani diet, gula darahnya tak kunjung stabil. Lukanya pun tak kunjung sembuh sehingga jari tengah kaki kanannya harus diamputasi. Dengan berat hati, sang suami menandatangani surat persetujuan operasi. Amputasi pun dijalankan dengan biaya sekitar Rp 20 juta di rumah sakit swasta dimana Dewi dirawat.
Dewi masih di rumah sakit setelah amputasi. Selain terus menjalani terapi insulin, meminum obat-obatan paten dan diet, ia juga mengikuti rekomendasi dokter untuk menjalani terapi hiperbarik oksigen (dikenal dengan sebutan HBO atau OHB) di RSAL Mintoharjo. Namun gula darahnya tidak juga stabil dan lukanya tak kunjung sembuh juga. Dokter spesialis tak bisa memberikan kepastian sampai berapa lama lagi Dewi harus menjalani semua jenis perawatan itu hingga Dewi bisa kembali beraktivitas normal.
Janji Tuhan
Luka, operasi, diet, ketegantungan obat, dan check-up berkala adalah rangkaian umum yang dialami oleh penderita diabetes. Begitu juga yang dialami oleh penderita penyakit dalam lainnya seperti ginjal, jantung dan kanker.
"Kita hanya bisa pasrah. Semua kesembuhan itu atas izin Allah. Kita hanya bisa terus berusaha dan berdoa."
Demikian kata ibu saya kepada abang saya dan istrinya. Kata-kata serupa juga yang sering saya dengar dari dokter dan keluarga orang-orang yang sakit keras.
"Tidaklah Allah menurunkan penyakit melainkan Dia telah menurunkan pula obatnya, diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang jahil akan hal itu."
Itulah hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad. Saya meyakini itu adalah janji Tuhan kepada manusia melalui Utusan-Nya. Tapi, maaf, saya tidak yakin para dokter medis modern di rumah sakit dimana kakak ipar saya dirawat tergolong "orang yang mengetahuinya".
Pasrah, saya setuju. Berusaha dan berdoa, saya setuju. Namun benarkah ketergantungan obat dan terapi yang memerlukan biaya jutaan rupiah itu disebut 'berusaha'? Apa betul manusia harus bergantung pada korporasi farmasi dan industri rumah sakit saat berusaha untuk sembuh?
Pengobatan Modern vs Alternatif
Dari awal ketika luka Dewi semakin parah, saya menganjurkannya melalui abang saya, suaminya, untuk berobat ke klinik pengobatan herbal dan fisioterapi Yayasan Arridlo, Cijantung, Jakarta Timur. Yayasan tersebut dipimpin oleh Prof. Dr. Arief S. Rachmat yang dengan izin Allah telah berhasil membantu menyembuhkan berbagai macam penyakit kronis yang diderita beberapa teman saya.
Namun, abang saya tidak meyakini metode pengobatan Prof. Dr. Arief S. Rachmat. Ia pernah berkunjung ke Yayasan Arridlo sekitar setahun yang lalu bersama istrinya untuk konsultasi agar bisa mendapatkan momongan. Ia menganggap Professor Arief itu orang yang ngaco, omongannya tidak karuan dan tidak jelas "kedokteran"-nya.
"Mana ada dokter yang merokok saat memeriksa pasiennya?" Demikian pendapat abang saya mengenai Professor Arief dengan nada sebal. Professor Arief memang berpendapat bahwa merokok tembakau baik untuk kesehatan jika dilakukan dengan cara yang benar.
Dewi telah dirawat di rumah sakit selama lebih dari 3 minggu. Biaya pengobatan telah melebihi angka Rp 100 juta. Namun Dewi tak kunjung membaik.
Dewi dan abang saya kemudian memutuskan untuk rawat jalan saja dan keluar dari rumah sakit. Abang saya pun mengikuti saran saya untuk berobat pada Professor Arief yang oleh pasien lain lebih akrab dengan panggilang Pak Haji.
"Dua-duanya spekulatif. Dokter spekulatif, tidak bisa memberikan kejelasan. Si professor, menurutku juga spekulatif. Tapi dia tidak menguras kantong sampai ratusan juta rupiah," kata abang saya menyampaikan alasan logisnya.
Selama Dewi dirawat di rumah sakit saya memang berkali-kali berdiskusi dengan abang saya, meyakinkan dirinya agar istrinya berobat ke Professor Arief. Ia sadar bahwa dirinya cenderung agnostik, sulit untuk meyakini hal yang belum pernah langsung ia buktikan sendiri. Padahal istrinya "agak" mempercayai Professor Arief karena pernah merasakan manfaat jamu ramuan beliau, walaupun tidak sepenuhnya yakin.
Mencoba Berobat ke Arridlo
Sabtu pagi, 11 Februari 2014, saya menjemput Dewi dan abang saya di rumah sakit swasta di Kalimalang, Jakarta Timur. Mereka kemudian saya bawa ke Jl. Pertengahan, Cijantung, dimana Professor Arief praktek. Sampai di sana waktu telah menunjukkan jam 9.20. Tidak kurang dari 200 orang memadati klinik tersebut menunggu antrian. Sebagian lainnya menunggu di warung-warung yang ada di sekitar klinik tersebut.
Dengan kondisi Dewi, ia hanya bisa menunggu di mobil. Saya pun segera mendaftarkan Dewi, abang saya dan saya sendiri untuk mendapatkan nomor antrian. Di tempat itu kita memang boleh memeriksakan diri bersama saudara atau teman untuk mempercepat waktu. Saya melihat antrian kami masuk di halaman 6 di buku pendaftaran berukuran folio. Jika 1 halaman berisi 30 nama, berarti nomor antrian kami ada di angka di atas 150!
Hari itu memang padat karena Arridlo akan libur keesokan harinya hingga tanggal 14 Februari 2014 untuk merayakan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW.
Saya dan abang saya kemudian menunggu panggilan untuk mendapatkan nomor antrian di warung seberang klinik. Ya. Tadi memang cuma daftar untuk mendapatkan lembaran medical record. Selanjutnya menunggu dipanggil untuk periksa tensi darah. Baru kemudian mendapat nomor antrian untuk diperiksa Professor Arief.
Di warung tersebut kami duduk bersama orang-orang yang juga menunggu panggilan. Mereka saling bercerita pengalaman sembuhnya mereka setelah berobat pada Professor Arief. Ada yang berpenyakit jantung, terkena serang stroke, tumor, dll. Namun ada juga yang seperti saya, tidak sakit kronis, namun hanya ingin mengikuti treatment agar tubuh lebih sehat.
"Saya dulu dibawa-bawa kayak pepes, gak bisa ngapa-ngapain. Lumpuh. Alhamdulillah, enam bulan berobat sama Pak Haji, saya sekarang beneran sehat. Main pingpong seharian juga kuat," cerita orang yang mengaku bernama Pak Yanto.
Pak Yanto bercerita bahwa ia dulu dirawat 2 bulan di rumah sakit. Ia mengikuti saran temannya berobat ke Professor Arief karena tidak mau terus bergantung pada obat.
Di warung itu juga saya bertemu dengan teman lama saya, Bang Akmal, yang tinggal di Jambi. Ia kini tampak lebih muda dan bugar seakan berusia 35-an. Padahal usianya sudah hampir 50. Saya tahu bahwa istrinya berhasil hamil setelah berobat pada Professor.
"Ini terpaksa bolos kerja karena harus membawa ibu berobat ke sini," kata Bang Akmal yang saat itu ia juga mengajak beberapa saudaranya untuk berobat.
Ibunya telah dua kali masuk rumah sakit karena terkena diabetes. Sulit untuk meyakinkan ibunya, seorang pensiunan bidan medis berusia 70 tahun, untuk berobat pada Professor Arif yang tidak menyarankan diet nasi sebagaimana pengobatan umumnya.
"Saya jamin, cuma lima hari, Bu. Kalau setelah lima hari ibu tidak membaik juga, ibu boleh balik ke rumah sakit," ujar Bang Akmal mengulangi kata-kata yang ia sampaikan untuk meyakinkan ibunya.
Setelah lima hari gula darah sang ibu langsung normal, lukanya mengering, sehat. Kali itu adalah kali kedua Bang Akmal memeriksakan ibunya pada Professor Arief.
"Lho! Mas Nur! Berobat ke sini, juga?" sapa seseorang kepada abang saya yang memecah obrolan kami bertiga.
Orang bernama Kholis itu pernah menjadi rekan kerja abang saya. Ia bercerita bahwa dirinya didiagnosa oleh dokter mengidap tumor. Ia diwajibkan oleh dokter untuk selalu bergantung pada obat-obatan tingkat psikotropika. Selain sangat mahal, sulit baginya untuk mendapatkan obat-obatan tersebut karena apotik tidak mudah mempercayai lembaran resep yang ia berikan. Apalagi jika dokter yang meresepkan obat dianggap pihak apotik tidak terlegitimasi.
"Kamu itu tidak ada tumor. Kalau kamu betulan tumor sebesar ini (ia mengepalkan tangannya), kamu tidak mungkin bisa jalan ke sini," cerita Kholis menirukan ucapan Professor Arief saat pertama kali memeriksanya.
Walaupun agak ragu dengan ucapan Professor, Kholis tetap mencoba mengikutinya karena ingat temannya ada yang betulan sembuh dari tumor. Makan tepat waktu, minum jamu 3 kali sehari, minum kopi 2 kali sehari, dan minum sari kacang panjang sebelum dan setelah tidur, ia lakoni dengan disiplin.
"Lima hari aja, Mas. Saya bebas derita," ungkap Kholis yang saat itu tiga kalinya ia memeriksakan diri pada Professor Arief.
"Lawong saya lihat Menkes aja berobat ke sini," jelas Kholis.
"Siapa? Fadilah Supari?" tanya abang. Baru kali itu abang saya merespon obrolan. Saya tahu ia memang tidak mudah mempercayai cerita orang. Saya sendiri tidak tahu siapa yang dimaksud. Setelah mencari di Google, rupanya yang dimaksud adalah Siti Fadilah Supari.
"Iya. Saya juga pernah melihat dia di sini pas saya bawa ibu saya dulu," tukas Bang Akmal.
Tinggalkan Obat-obatan. Beranikah?
Waktu telah menunjukkan jam 13.00, nama kami belum juga terdengar dari pengeras suara Toa di pelataran klinik Arridlo. Sedangkan Dewi, kakak ipar saya, kakinya tampak semakin bengkak. Beberapa orang di warung menyarankan agar saya mendaftarkannya sebagai pasien emergency.
Di Arridlo memang terdapat layanan reguler bagi pasien yang belum parah, dan layanan emergency bagi yang sakit parah sehingga lebih diutamakan. Saya melihat nomor antrian reguler baru di angka 02, sedangkan emergency di angka 12. Setelah memberikan penjelasan kepada petugas pendaftaran, Bang Andi, Dewi mendapatkan nomor antrian emergency 33. Berarti saya dan abang saya tidak jadi ikut periksa.
Sekitar jam 14.30 nama Dewi dipanggil. Ia pun masuk bersama abang saya. Setelah keluar dari ruang periksa, dia disuruh minum segelas jamu dan diberikan satu paket obat untuk lima hari berupa jamu, kacang panjang, obat-obatan berupa Bisolvon, Combantrin dan Amoxan. Obat yang tidak biasa memang, di dunia kedokteran modern, bagi pengidap diabetes.
Selama di perjalanan pulang menuju Bogor, Dewi mengaku galau. Oleh Professor Arief, ia tidak diperkenankan lagi menggunakan insulin.
"Kamu boleh minum obat-obatan kamu, tapi jangan minum obat dari saya. Kalau kamu mau minum obat saya, ya, tinggalkan obat-obatan dokter itu," kata Dewi menirukan ucapkan Professor Arief.
Bagaimana mungkin ia meninggalkan insulin? Bagaimana nanti jika gula darahnya naik lagi? Itulah yang ada di pikiran Dewi. Sampai di Bogor, keluarganya juga menanyakan hal yang sama.
Saya yakinkan kepada mereka bahwa Professor Arief itu bukanlah dukun. Ia benar-benar seorang dokter yang dulu pernah praktek di RSPAD. Dan saya mengajak Dewi ke Professor Arief karena melihat sendiri teman-teman saya sembuh total dari penyakitnya.
Namun, tampaknya sama seperti abang saya. Keluarga Dewi yang rata-rata lulusan pasca sarjana itu tidak yakin dengan penjelasan saya. Akhirnya, sore itu, Dewi memutuskan untuk kembali menggunakan insulin. Memang sulit mengubah paradigma.
Andai ada cara lain untuk meyakinkan mereka. Saya cuma ingin Kak Dewi sembuh. Itu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H