Corona, Jiwa Merana?
Oleh: Hany Safitri
Dewasa ini, dunia dihebohkan dengan virus Corona  yang diyakini berasal dari kota Wuhan di China. Virus yang tergolong sangat mematikan ini telah membunuh ribuan orang dalam kurun waktu yang singkat. Seperti cuplikan drama Korea yang berjudul 'Terius Behind Me' yang diproduksi tahun 2018, terdapat adegan seorang pasien yang terinfeksi virus Corona menciptakan kekhawatiran besar bagi orang-orang di sekitarnya. Begitu pun saat ini, masyarakat di seluruh dunia seakan dihantui bayang-bayang dari virus Corona.Â
Beberapa pemimpin negara bahkan memberlakukan lockdown pada negaranya, guna memblokade seluruh kegiatan yang berhubungan dengan negara luar terutama China. Di Indonesia sendiri hari ini 27 Maret 2020, dilaporkan telah terdapat 1046 orang positif terinfeksi, 87 orang meninggal dunia  dan 46 orang sembuh. Jumlah ini tergolong jumlah yang sangat mengkhawatirkan, mengingat baru dua minggu virus tersebut muncul di Indonesia.Â
Larangan-larangan dari Pemerintah Indonesia mulai diberlakukan, dimulai dari larangan untuk berkumpul di keramaian hingga jaga jarak antara orang yang antre di tempat-tempat umum. Larangan-larangan tersebut tak ayal mempengaruhi seluruh elemen masyarakat dari faktor ekonomi, sosial dan pendidikan.Â
Dalam faktor ekonomi, larangan tersebut tentu sangat merugikan karena sangat mempengaruhi pendapatan dari sebuah bisnis yang menawarkan jasa. Dalam faktor sosial, masyarakat mempunyai ciri yang autentik, yaitu kedinamisan dalam perubahan tatanan sosialnya saat mendapat stimulus tertentu. Jelas, virus Corona(baca: stimulus) telah merubah tatanan masyarakat itu. Kondisi perubahan yang bersifat interpenden berjalan lurus dengan disfungsi sosial. Disfungsi sosial berdampak memunculkan prasangka hingga diskriminasi pada kalangan masyarakat.Â
Hal ini dapat dilihat dari berbagai pemberitaan di media tentang reaksi masyarakat saat ada orang yang terinfeksi virus Corona. Misalnya, banyak masyarakat yang mulai membatasi kontak sosialnya untuk tidak menggunakan angkutan umum, transportasi daring, hingga menghindari interaksi pada tempat-tempat umum karena khawatir tertular virus Corona. Â Berawal dari prasangka, akhirnya dapat memunculkan sikap diskriminasi.Â
Dapat dicontohkan dengan individu A yang berada di tempat umum tiba-tiba bersin dan seketika orang-orang yang berada di sekitarnya menjauhi individu A tersebut yang dicurigai terinfeksi virus, padahal individu A tersebut hanya mengalami flu biasa. Sikap diskriminasi lainnya, yaitu masyarakat tidak mau menolong seseorang secara kontak fisik dikarenakan perasaan was-was akan tertular virus Corona. Dapat disimpulkan bahwa disfungsi sosial membuat seseorang maupun kelompok tidak dapat menjalankan fungsi sosialnya sesuai dengan status sosialnya.Â
Dalam faktor pendidikan, merebaknya virus Corona sangat merugikan peserta didik karena tempat mereka mencari ilmu, seperti sekolah dan universitas mulai diberhentikan sementara aktivitas pendidikannya. Salah satu kampus di Indonesia, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember yang menunda waktu masuk kuliah sebagai antisipasi pencegahan penyebaran virus Corona.Â
Dampak yang paling dikhawatirkan yaitu dampak jangka panjang yang akan dirasakan oleh peserta didik, yaitu keterlambatan dalam proses pendidikan yang dijalaninya. Pada kampus penulis saja IAIN Jember, kegiatan perkuliahan  yang awalnya tatap muka berubah menjadi perkuliahan daring dengan media aplikasi googleclassroom, zoom, e-learning. Â
Tentunya hal ini dapat menciptakan masalah-masalah baru karena kebanyakan pengampu mata kuliah tidak memberikan perkuliahan secara daring, tetapi terkesan hanya sebagai sarana pemberian tugas lewat media aplikasi daring tersebut.Â