“Hahahaha, anak… aku tak pernah berpikiran itu. Sama seperti dulu…aku bahkan tidak mengenal cinta…”
“Belum… jangan bilang tidak…satu hari nanti lu tau rasanya…” hibur Acok.
“Jadi, lu belum merubah kebiasaanmu? Tetap tidak memakai rok?” Acok mengulang pertanyaan yang sama seperti diawal tadi.
“Hadoh… itu lagi… ya.. aku masih tetap memakai celana. Tidak ada rok di lemariku. Kecuali… rok milik adik-adikku. Kamu kenapa sih tanyain itu terus…?” ujarku kesal.
“Ya, karena itu yang paling berkesan tentangmu. Siapapun pasti tahu, Destri yang tidak suka pakai rok, yang selalu di hukum pukul di depan kelas sebelum pelajaran dimulai… hanya satu di Kalabahi ini… Tapi kenapa lu tak mau pake rok itu na yang kita tidak tahu to…” ujarnya sambil tertawa
“Aku rasa aku lebih cocok jadi seperti laki-laki begini. Aman dan aku nyaman-nyaman saja. Aku merasa lebih bertanggung jawab dengan keadaanku sekarang…”
“Ya… Lu su jadi orang sukses sekarang. Tapi syukur baik lu masih ingat kampung halaman…Tapi ganti sedikitlah penampilanmu itu. Wanita seperti lu tu banyak yang cari, sukses, banyak uang, tapi kalau gayamu seperti laki-laki begini siapa juga yang mau mendekat.”
“Aku tak perlu laki-laki. Aku bisa menjadi laki-laki utnuk diriku sendiri juga untuk mama dan adik-adikku. Itu saja cukup,” ujarku ketus.
“Ah.. makin kacau sajalah omonganmu.”
“Besok aku mo ke Alor Kecil. Lu mo ikut ko tidak, Des?, lu ada acara ko besok?”
“Gak. Buat apa ke Alor Kecil?”
“Ada arus dingin di sana. Lu ingat to… setahun sekali ni, kebetulan besok tu puncaknya. Jadi kita mo pi ambil ikan yang pingsan… lu ikut sudah!” ajaknya.