“Hahahah, tidak lah. Rahasia…” jawabku singkat.
“Hem… Gimana kabarmu rupanya?” tanyaku lagi. Sedari tadi belum sempat bertanya kabarnya, karena Acok lebih tertarik bertanya soal mama dan adik-adikku yang sekarang ada di Jakarta.
“Aku… Sama seperti dulu tak ada yang berubah. Aku sudah menikah. Pernah menikah tepatnya…” ujarnya seraya menarik nafas panjang menghisap rokoknya dan menghembuskannya lagi.
“Pernah?... lalu sekarang?”
“Meninggal ketika melahirkan anak perempuanku… sekarang sudah 3 tahun dia. Lucu… mau kuajak tadi. Tapi badannya panas. Sama neneknya dia di rumah.”
“Ayah ibumu sehat?, masih jualan di pasar?”
“Ibu masih lah… Sehat… Ayah sudah meninggal. Waktu baku hantam dengan Wetabua atas beberapa tahun yang lalu…, terkena panah, di bawa ke rumah sakit su tidak selamat. Panah beracun. Lu tau toh” ujarnya melemah.
“Oh… ternyata masih terus saja berlanjut yah… Kupikir setelah aku meninggalkan Alor nih keadaan jadi aman-aman saja…. Hem…. Tak bisa dirubah sikap orang Alor nih…kamu juga pasti ikut-ikutan yah…? Kok ayahmu bisa kena panah? Bukankah ayahmu tak suka ikut-ikutan?”
“Ayah hanya salah waktu saja. Ayah baru pulang dari pasar Kadelang, jemput ibu. Tapi waktu itu tiba-tiba di wetabua situ dong baku hantam bikin kacau jalanan. Tak sengaja itu panah memilih lengan ayah… orang-orang tuh memang tidak tahu diri… Cuma masalah sepele saja dong bikin ribut… begitu terus…”
Sejak dulu selalu saja masalah sepele harus berakhir dengan perkelahian, lempar-lemparan, panah dan senjata tajam lainnya turun semua. Tipikal orang Alor memang begitu. Tak jarang berakhir dengan pembakaran toko atau apa saja yang bisa di bakar. Keras. Bahkan terkadang gelap mata. Terlalu banyak suanggi mungkin di tempat ini. Sehingga hawanya selalu saja panas dan gelap kalau sudah berurusan sama harga diri yang merasa dilecehkan. Biasanya karena rasa solidaritas yang tinggi antar golongan itu yang justru membuat pertengkaran dan peperangan tak bisa dihindari.
“Bagaimana denganmu? Sudah punya anak berapa?”