Mohon tunggu...
Rina Sulistiyoningsih
Rina Sulistiyoningsih Mohon Tunggu... -

Seorang Wanita Biasa, campuran Jawa dan Padang... Lahir di Sentani, Irian jaya..menghabiskan masa sekolah di Pontianak lalu lanjooot ke Malang..Sekarang lagi menikmati kesuksesan hidup... menyusuri setapak...sesekali menoleh kanankiri, berhenti sesaat di persimpangan, tak ingin larut dalam titik beku.... menatap masa depan dan meraih impian.... Wanita Single yang 'gila kerja' sampe lupa mandi hehehe... suka menulis puisi dan cerpen sejak bergabung dengan www.kemudian.com dua tahun yang lalu dan bercita-cita ingin punya buku sendiri.... semoga....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dari Rahim - Berikan Aku Rok (3)

30 Juni 2010   06:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:11 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Hahahah, tidak lah. Rahasia…” jawabku singkat.

“Hem… Gimana kabarmu rupanya?” tanyaku lagi. Sedari tadi belum sempat bertanya kabarnya, karena Acok lebih tertarik bertanya soal mama dan adik-adikku yang sekarang ada di Jakarta.

“Aku… Sama seperti dulu tak ada yang berubah. Aku sudah menikah. Pernah menikah tepatnya…” ujarnya seraya menarik nafas panjang menghisap rokoknya dan menghembuskannya lagi.

“Pernah?... lalu sekarang?”

“Meninggal ketika melahirkan anak perempuanku… sekarang sudah 3 tahun dia. Lucu… mau kuajak tadi. Tapi badannya panas. Sama neneknya dia di rumah.”

“Ayah ibumu sehat?, masih jualan di pasar?”

“Ibu masih lah… Sehat… Ayah sudah meninggal. Waktu baku hantam dengan Wetabua atas beberapa tahun yang lalu…, terkena panah, di bawa ke rumah sakit su tidak selamat. Panah beracun. Lu tau toh” ujarnya melemah.

“Oh… ternyata masih terus saja berlanjut yah… Kupikir setelah aku meninggalkan Alor nih keadaan jadi aman-aman saja…. Hem…. Tak bisa dirubah sikap orang Alor nih…kamu juga pasti ikut-ikutan yah…? Kok ayahmu bisa kena panah? Bukankah ayahmu tak suka ikut-ikutan?”

“Ayah hanya salah waktu saja. Ayah baru pulang dari pasar Kadelang, jemput ibu. Tapi waktu itu tiba-tiba di wetabua situ dong baku hantam bikin kacau jalanan. Tak sengaja itu panah memilih lengan ayah… orang-orang tuh memang tidak tahu diri… Cuma masalah sepele saja dong bikin ribut… begitu terus…”

Sejak dulu selalu saja masalah sepele harus berakhir dengan perkelahian, lempar-lemparan, panah dan senjata tajam lainnya turun semua. Tipikal orang Alor memang begitu. Tak jarang berakhir dengan pembakaran toko atau apa saja yang bisa di bakar. Keras. Bahkan terkadang gelap mata. Terlalu banyak suanggi mungkin di tempat ini. Sehingga hawanya selalu saja panas dan gelap kalau sudah berurusan sama harga diri yang merasa dilecehkan. Biasanya karena rasa solidaritas yang tinggi antar golongan itu yang justru membuat pertengkaran dan peperangan tak bisa dihindari.

“Bagaimana denganmu? Sudah punya anak berapa?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun