“Acok?”
Aku menyuruh Seba untuk mencari Acok, sahabat kecilku, dan menyuruhnya menemuiku di warung ikan bakar ini. Aku tak menyangka Seba benar-benar menyanggupi permintaanku. Di sinilah Acok, di hadapanku.
“Des, ini lu kah?” Acok terheran-heran melihatku.
“Ya ini aku…” ujarku sembari menjabat tangannya erat.
“Woh… tambah keren saja gayamu. Kupikir tadi kamu ini laki-laki. Tidak berubah. Tetap berambut pendek dan tidak ada tanda-tanda kalau kamu ini wanita… hahahah,” ejeknya membuatku meninju lengannya.
“Duabelas tahun na kita berpisah. Seharusnya kau sudah berubah Des… Sa pikir tadi dalam perjalanan, Destri yang sekarang adalah Destri yang berambut panjang, seperti dulu waktu lu kecil… ikat rambut ekor kuda di kanan dan di kiri gitu…” ujarnya sambil memperagakan kedua tangannya yang seakan memegang ikatan rambut di kedua sisi kepalanya.
“Tapi aku tak seperti itu bukan. Hei… kita berpisah itu saat kita sudah besar. Sudah hampir seventeen kali… ah kamu bahkan sudah menginjak angka itu kok. Kan kita beda setahun. Aku tak lagi kuncir kuda kan…” aku berusaha mengingatkan Acok, kalo aku tak seimut yang dia pikir.
“Hahahah. Iya iya. Tapi…. Apa lu tetap tidak mau pakai rok?” Acok melontarkan pertanyaan yang membuat aku tersedak padahal belum juga mencicipi ikan bakar yang baru saja di sajikan di mejaku.
Aku belum mau menjawabnya.
“Makanlah dulu… sambil makan kita cerita-cerita…Aku ingin sekali mencicipi ikan bakar ini. Seba bilang ini terenak yah?”
“Iya betul itu. Mari sudah…”