Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tiga Srikandi Minang: Rahmah El-Yunusiyah, Roehana Koeddoes, dan Rasuna Said

13 Desember 2019   16:55 Diperbarui: 13 Desember 2019   17:00 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kondisi perubahan ini para Srikandi pejuang perempuan Minangkabau lahir dan berkembang. Di antaranya adalah Rahmah El-Yunusiyyah, Rohana Kuddus, dan HR Rasuna Said. Ketiga perempuan ini sengaja dipilih dalam tulisan ini karena peran mereka yang luar biasa dalam sejarah perjuangan kaum perempuan di Indonesia.

Rahmah El-Yunusiyah: Pendiri Madrasah Perempuan Pertama di Indonesia
Dilahirkan pada 29 Desember 1900 di Padangpanjang dari pasangan Rafi'ah dan Syekh Muhammad Yunus, Rahmah El-Yunusiyyah adalah seorang wanita yang keras hati dan keinginannya pantang dihalangi.

Beranjak dewasa, Rahmah mempunyai hasrat untuk mendirikan sekolah agama khusus perempuan. Ia lalu berdiskusi dengan kakaknya Zainuddin Labay El-Yunusy mengenai rencananya tersebut.

Rahmah ingin mengubah citra kaum wanita yang hanya tertinggal dari kaum lelaki. Pandangan agama dan adat yang kolot --apalagi di Minangkabau pada waktu itu- menempatkan perempuan sebagai pelayan kaum lelaki.

Pendidikan Rahmah El-Yunusiyah tidak tinggi. Ia hanya mengenyam tiga tahun di sekolah dasar. Selebihnya ia belajar sendiri dan dibimbing oleh kakak-kakaknya. Sejak muda, Rahmah ingin mendirikan sekolah sendiri. Tekad Rahmah begitu kuat.  Untuk itu ia berdiskusi dengan kakaknya.

Kakaknya Zainuddin Labay El-Yunusy adalah seorang reformis pendidikan di Minangkabau. Zainuddin mendirikan madrasah untuk anak-anak lelaki dan perempuan. Keinginan Rahmah diapresiasi oleh Zainuddin. Namun Zainuddin bertanya kepada Rahmah. Sanggupkah Rahmah mengelola sekolah tersebut? Rahmah menjawab, "Insya Allah, saya sanggup".

Akhirnya pada 1 November 1923 berdirilah sekolah agama untuk putri pertama di Indonesia, yakni Madrasatut Diniyah lil Banat. Sekolah ini kemudian dikenal dengan nama Diniyyah School Putri. Di kalangan kaum cendekiawan sekolah ini dikenal dengan nama Meisjes Diniyyah School. Sekolah ini juga dikenal sebagai Perguruan Diniyyah Putri Padangpanjang.  

Perguruan ini tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu umum. Perguruan ini juga mengajarkan bahasa Inggris dan Belanda sesuai dengan kebutuhan murid-murid. Selain itu juga diajarkan menenun, industri rumah tangga, olahraga, memasak, dan P3K.

Dalam menjalankan kegiatannya, sekolah ini menolak subsidi atau bantuan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Rahmah tak mau jika sekolahnya tersebut dipengaruhi oleh Belanda. Rahmah berkeliling Aceh, Sumatera Utara, dan Semenanjung Malaya untuk mencari dana demi sekolahnya tersebut.

Upaya Rahmah terkendala bencana alam. Gempa bumi melanda kota Padangpanjang pada 1926.  Gedung yang baru selesai dibangun hancur dan seorang guru meninggal. Rahmah dilanda kesedihan. Namun beberapa bulan kemudian, beberapa guru dan murid Thawalib School membantu Rahmah membangun ruang-ruang kelas yang terbuat dari bambu dan tanah.

Dalam gerakan pendidikannya, Rahmah menjalankan politik non-koperasi. Ia tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ia juga tidak mau berafiliasi kepada organisasi-organisasi tertentu seperti PERMI dan Muhammadiyah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun