Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tiga Srikandi Minang: Rahmah El-Yunusiyah, Roehana Koeddoes, dan Rasuna Said

13 Desember 2019   16:55 Diperbarui: 13 Desember 2019   17:00 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sejarah mencatat perubahan sosial di tengah masyarakat tidak hanya dilakukan oleh kaum lelaki. Banyak perempuan yang kemudian turut serta mengubah pola pikir dan membangun bangsanya.

Sejarah juga mencatat bahwa kaum perempuan punya andil yang cukup besar dalam perjalanan sejarah. Padahal di awal abad ke-19, 99 persen kaum perempuan pribumi di Hindia Belanda buta huruf dan terbelakang dalam seluruh sektor kehidupan.

Tempat kaum perempuan dahulu dalam kehidupan hanya berada di ranah "kasur, dapur, dan sumur". Wanita ditempatkan sebagai pembantu kaum lelaki. Mereka bahkan tidak mempunyai hak untuk memajukan dirinya sendiri. Di era penjajahan, kondisi kaum perempuan berada dalam ketidakberdayaan, bodoh, dan diremehkan.

Namun dalam perjalanan sejarah, beberapa tokoh perempuan bangkit setelah merenungi kondisi kaumnya. Mereka bertekad untuk membebaskan kaum perempuan dari ketertindasan oleh sistem sosial yang cenderung menguntungkan kaum lelaki.

Di Jawa, perjuangan ibu Kartini yang setelah resah dan gelisah melihat kondisi kaumnya berupaya membangun sekolah sederhana untuk mendidik kaum perempuan. Hal yang sama juga terjadi di Bumi Parahyangan ketika Ibu Sartika juga mengadakan kursus keterampilan bagi kaum wanita pribumi.

Kondisi yang sama juga terjadi di Ranah Minang. Cengkeraman adat yang begitu kuat menempatkan wanita di belakang kaum lelaki. Kondisi kaum perempuan sungguh memprihatinkan. Mereka dilanda kebodohan, kemiskinan, ketertinggalan, dan keterbelakangan yang akut.

Walaupun masyarakat Minangkabau menganut adat matrilineal yang menarik garis kesukuan dari pihak perempuan, namun secara adat yang berkuasa adalah ninik mamak atau saudara lelaki ibu. Merekalah yang berwenang mengambil keputusan dalam suku dan kaum. Perempuan tidak diajak bicara.

Perubahan sosial di Minangkabau dimungkinkan dengan gerakan pembaruan Islam yang dipimpin kaum muda yang baru pulang belajar dari Mesir sekitar 1920-an. Mereka membawa angin perubahan dalam segi hukum syariah dan kebudayaan Islam di Minangkabau.

Mereka amat terpengaruh pada pandangan modernis Muslim, Syaikh Muhammad Abduh, yang pernah memimpin Universitas Al-Azhar. Pandangan-pandangan agama yang tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman harus ditafsirkan ulang. Kaum modernis menyerukan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah serta menghargai ilmu pengetahuan.

Angin pembaruan ini juga bertiup di Minangkabau. Kaum tuo yang mewakili kaum tarekat dan sufi menolak pandangan kaum modernis. Gesekan antar kaum muda dan kaum tuo tidak terelakkan.

Kaum tuo yang bermarkas di surau-surau tetap mempertahankan tradisi dan budaya yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Tapi lebih merupakan pendapat para ulama terdahulu dan pengaruh budaya lokal.

Dalam kondisi perubahan ini para Srikandi pejuang perempuan Minangkabau lahir dan berkembang. Di antaranya adalah Rahmah El-Yunusiyyah, Rohana Kuddus, dan HR Rasuna Said. Ketiga perempuan ini sengaja dipilih dalam tulisan ini karena peran mereka yang luar biasa dalam sejarah perjuangan kaum perempuan di Indonesia.

Rahmah El-Yunusiyah: Pendiri Madrasah Perempuan Pertama di Indonesia
Dilahirkan pada 29 Desember 1900 di Padangpanjang dari pasangan Rafi'ah dan Syekh Muhammad Yunus, Rahmah El-Yunusiyyah adalah seorang wanita yang keras hati dan keinginannya pantang dihalangi.

Beranjak dewasa, Rahmah mempunyai hasrat untuk mendirikan sekolah agama khusus perempuan. Ia lalu berdiskusi dengan kakaknya Zainuddin Labay El-Yunusy mengenai rencananya tersebut.

Rahmah ingin mengubah citra kaum wanita yang hanya tertinggal dari kaum lelaki. Pandangan agama dan adat yang kolot --apalagi di Minangkabau pada waktu itu- menempatkan perempuan sebagai pelayan kaum lelaki.

Pendidikan Rahmah El-Yunusiyah tidak tinggi. Ia hanya mengenyam tiga tahun di sekolah dasar. Selebihnya ia belajar sendiri dan dibimbing oleh kakak-kakaknya. Sejak muda, Rahmah ingin mendirikan sekolah sendiri. Tekad Rahmah begitu kuat.  Untuk itu ia berdiskusi dengan kakaknya.

Kakaknya Zainuddin Labay El-Yunusy adalah seorang reformis pendidikan di Minangkabau. Zainuddin mendirikan madrasah untuk anak-anak lelaki dan perempuan. Keinginan Rahmah diapresiasi oleh Zainuddin. Namun Zainuddin bertanya kepada Rahmah. Sanggupkah Rahmah mengelola sekolah tersebut? Rahmah menjawab, "Insya Allah, saya sanggup".

Akhirnya pada 1 November 1923 berdirilah sekolah agama untuk putri pertama di Indonesia, yakni Madrasatut Diniyah lil Banat. Sekolah ini kemudian dikenal dengan nama Diniyyah School Putri. Di kalangan kaum cendekiawan sekolah ini dikenal dengan nama Meisjes Diniyyah School. Sekolah ini juga dikenal sebagai Perguruan Diniyyah Putri Padangpanjang.  

Perguruan ini tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu umum. Perguruan ini juga mengajarkan bahasa Inggris dan Belanda sesuai dengan kebutuhan murid-murid. Selain itu juga diajarkan menenun, industri rumah tangga, olahraga, memasak, dan P3K.

Dalam menjalankan kegiatannya, sekolah ini menolak subsidi atau bantuan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Rahmah tak mau jika sekolahnya tersebut dipengaruhi oleh Belanda. Rahmah berkeliling Aceh, Sumatera Utara, dan Semenanjung Malaya untuk mencari dana demi sekolahnya tersebut.

Upaya Rahmah terkendala bencana alam. Gempa bumi melanda kota Padangpanjang pada 1926.  Gedung yang baru selesai dibangun hancur dan seorang guru meninggal. Rahmah dilanda kesedihan. Namun beberapa bulan kemudian, beberapa guru dan murid Thawalib School membantu Rahmah membangun ruang-ruang kelas yang terbuat dari bambu dan tanah.

Dalam gerakan pendidikannya, Rahmah menjalankan politik non-koperasi. Ia tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ia juga tidak mau berafiliasi kepada organisasi-organisasi tertentu seperti PERMI dan Muhammadiyah.

Ia beranggapan bahwa perguruan ini merupakan milik rakyat Indonesia dan partai politik tidak boleh dibawa-bawa. Bagi Rahmah, politik adalah kecintaan kepada tanah air bukan mengacu kepada kelompok-kelompok tertentu.

Selain Perguruan Diniyyah Putri Padangpanjang, Rahmah juga mengadakan "Sekolah Menyesal" (1918-1923) yang ditujukan kepada ibu-ibu rumah tangga yang buta huruf. Animo masyarakat terhadap sekolah ini sangat tinggi di kalangan kaum perempuan. Murid-muridnya selalu bertambah.

Namun bukan berarti Rahmah tidak berpolitik. Ia juga aktif sebagai anggota Komite Nasional Daerah Sumatera Tengah. Ia juga menjadi ketua Komite Nasional Daerah Batipuh X Koto seksi kaum Ibu. Rahmah juga menjadi anggota Sumatera Cuo Sangi In yang dibentuk Jepang.

Ketika Proklamasi 17 Agustus berkumandang, Rahmah menjadi orang pertama yang mengibarkan bendera Sang Merah Putih di lapangan Perguruan Diniyyah Putri. Ia juga mempelopori terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Padangpanjang yang anggotanya diambil dari Laskar Gyu Gun dengan pembiayaan Rahmah sendiri. Untuk keperluan makan, ia mendirikan dapur umum di Perguruan Diniyyah Puteri.

 Pada tahun 1955, Rektor Universitas Al-Azhar, Mesir, berkunjung ke sekolah ini. Ia amat terkesan dengan sistem pendidikannya. Rektor Universitas Al-Azhar ingin berbuat yang sama seperti sekolah ini. Sepulangnya dari sana ia membuat Kulliyat Banat yang mencontoh sistem diniyyah putri.

Rektor Al-Azhar mengundang Rahmah El-Yunusiyah ke universitas itu pada 1956 sesudah ia menunaikan ibadah haji. Senat Universitas Al-Azhar menganugerahinya gelar kehormatan agama tertinggi, yakni Syaikhah yang biasanya hanya diberikan kepada laki-laki. Ini adalah kali pertama Universitas Al-Azhar menganugerahi gelar tersebut kepada seorang perempuan.

Banyak hal yang dilakukan Rahmah El-Yunusiyyyah untuk membangun dan mengembangkan Perguruan Diniyyah Putri Padangpanjang. Pada tahun 1938, orang-orang terkemuka menjulukinya sebagai "Kartini Gerakan Islam" dan "Kartini Perguruan Islam."

Prof. G. H. Bosquet dari Universitas Algiers sekitar 1937 sangat mengagumi Rahmah El-Yunusiyah dengan perguruan Diniyyah Puterinya. Sedangkan Cora Vreede menilai langkah Rahmah sangat menentukan sejarah pergerakan Indonesia. Kiprahnya dapat dipersamakan dengan surat-surat Kartini dan Sekolah Dewi Sartika di Bandung.

Rahmag El Yunusiyyah lebih beruntung dari RA Kartini karena ia berhasil mewujudkan cita-citanya dan bahkan sempat menghayati jerih-payahnya dengan segala suka dukanya.

Roehana Koeddoes: Wartawati Perempuan Pertama di Indonesia
Media dan perempuan pada masa dahulu seolah berjarak. Media di masa penjajahan Belanda selalu diurus dan dikepalai oleh para lelaki. Sedangkan kaum perempuan banyak yang buta huruf dan tidak berwawasan luas. Tidak ada media khusus kaum perempuan di Hindia Belanda pada dekade 1900-an.  

Keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan menyebabkan kaum perempuan di abad lampau tidak mempunyai akses kepada sumber-sumber informasi. Mereka hanya mendapatkan informasi dari orang-orang tua mereka.

Informasi yang diwariskan turun-temurun tersebut berupa adat-istiadat masa lampau. Praktis kaum wanita pada  era itu terisolasi dari beragam informasi yang bersliweran di dunia ini.

Jumlah wartawan perempuan pun terbatas. Kira-kita kurang dari 10 orang. Salah-satunya adalah Roehana Koeddoes, seorang perempuan asal Nagari Koto Gadang, Sumatera Barat. Roehana adalah wartawati pertama Indonesia.

Sejak kecil ia dididik ayahnya, Mochammad Rasjad Maharadja Soetan, seorang hoofd jaksa (jaksa kepala)  untuk pandai membaca, menulis, dan berhitung. Keluarga Roehana banyak berlangganan majalah dan koran serta buku. Keluarga tersebut melek literasi.

Namun demikian, Roehana Koeddoes tidak bisa bersekolah formal karena sekolah formal yang ada tidak menerima kaum perempuan. Ia hanya dididik oleh kedua orang-tuanya. Sejak usia 5 tahun, Roehana telah mengenal aksara latin, Arab, dan Arab-Melayu. Pada usia 8 tahun, ia telah menjadi guru bagi teman-temannya.

Sedari kecil, Roehana ingin memajukan kaum perempuan di daerahnya. Adat-istiadat yang kolot dan pemahaman agama yang sempit amat kuat pada waktu itu.  Roehana sangat prihatin kepada anak-anak perempuan yang tidak bersekolah dan berketerampilan.

Lalu terpikir olehnya untuk mendirikan sekolah khusus anak-anak perempuan. Dengan didukung  masyaraka sekitar, berdirilah Sekolah Kerajinan Amai Setia di Koto Gadang. Sekolah ini bertujuan untuk: (1)  mengajarkan anak-anak perempuan untuk membaca huruf latin dan Arab, (2) mengajarkan keterampilan dalam membuat kerajinan, (3) membekali anak-anak perempuan dengan agama dan akhlak, (4) kepandaian mengurus rumah tangga, dan (5) mengetahui pengetahuan umum.

Namun langkah Roehana tidak sampai di situ. Ia berkorespondensi dengan Sutan Maharadja, pemimpin redaksi surat-kabar Oetoesan Melayoe. Harian ini punya peran yang besar dalam kebangkitan bangsa Melayu.

Pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe, Soetan Maharadja adalalah seorang yang berpikir progresif. Ia menyediakan satu rubrik khusus untuk kaum perempuan. Dalam suratnya, Roehana mengatakan ia ingin membuat surat kabar khusus kaum perempuan. Ia ingin Soetan Maharadja membantunya.

Terkesan atas pemikiran dan aktivitas Roehana, ia pun menemui Roehana di Koto Gadang. Soetan Maharadja setuju dengan gagasan Roehana. Dengan dibantu oleh anak Soetan Maharadja, Zubaidah Ratna Juita, pada 12 Juli 1912, surat kabar Soenting Melajoe, terbit untuk pertama kalinya. Soenting artinya adalah perempuan.

Sambutan masyarakat cukup positif. Kehadiran Soenting Melajoe menandai satu babak penting dalam pergerakan perempuan di Indonesia. Surat kabar ini berpengaruh besar bagi peningkatan dan akselerasi gerakan perempuan Indonesia.

Melalui surat-kabar ini, gagasan kemajuan perempuan beredar luas di masyarakat dan dapat diakses oleh siapa saja. Surat kabar ini turut menyuburkan pemikiran kemajuan perempuan tidak hanya di Tanah Melayu tetapi juga di Pulau Jawa. Soenting Melajoe terbit mingguan selama sembilan tahun.

Kiprah Rohana dalam bidang jurnalistik tak terbatas pada penerbitan Soenting Melajoe. Ketika pindah ke Medan tahun 1920, ia berpartner dengan Satiman Parada Harahap untuk memimpin redaksi Perempuan Bergerak. Sekembalinya ke Minangkabau pada 1924, Rohana diangkat menjadi redaktur di suratkabar Radio, harian yang diterbitkan Cinta Melayu di Padang.

Sebagian pihak menilai perjuangan Roehana Koeddoes sama persis dengan pejuang feminis Perancis kontemporer, Luce Irigaray.  Roehana memanfaatkan surat-kabar sebagai media perberdayaan perempuan. Dan hal ini cukup efektif. Media merupakan saluran komunikasi masyarakat. Dengan keberadaan media, gagasan dan informasi berjalan dengan cepat di tengah masyarakat.

Gunjingan dan caci-maki yang dilancarkan para tetua adat dan agamawan yang kolot, tidak menjadikan Roehana kehilangan kepercayaan diri. Dia berusaha untuk meyakinkan masyarakat luas bahwa kemajuan kaum perempuan akan memberi manfaat bagi masyarakat itu sendiri.

Dia meninggal di Jakarta, 17 Agustus 1972.  Presiden Joko Widodo pada 8 November 2019 menetapkan Roehana Koeddoes sebagai Pahlawan Nasional.

Rasuna Said: Singa Podium Anti Belanda
Pergerakan kemerdekaan menghasilkan sejumlah tokoh yang pandai berpidato. Apalagi orasi dapat meningkatkan semangat masyarakat terjajah untuk melawan. Pada tokoh perintis kemerdekaan juga pandai berpidato seperti halnya Bung Karno. Namun sedikit sekali atau bahkan tidak ada yang perempuan.

Namun ada salah-satu pengecualian. Hajjah Rangkayo Rasuna Said atau Rasuna Said adalah sedikit di kalangan kaum perempuan Hindia Belanda yang pandai berpidato. Ia dijuluki Singa Podium karena pidatonya membakar semangat rakyat Indonesia untuk lepas dari penjajahan.

Pidato-pidato Rasuna menyerang pemerintah Hindia Belanda dengan keras. Hal ini menyebabkan pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak nyaman. Rasuna pun pernah ditahan selama satu tahun dua bulan di penjara Bulu, Semarang.

Rasuna yang dilahirkan di Panyinggahan, Maninjau, Agam, Sumatera Barat pada 15 September 1910 dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Muhammad Said, adalah saudagar dan bekas aktivis kemerdekaan.

Sejak kecil ia dibesarkan dalam keluarga yang sadar pendidikan. Rasuna dikirim ke sekolah dasar selama tiga tahun dan kemudian melanjutkan di pesantren Ar-Rasyidiah. Lulus dari Ar-Rasyidiah, Rasuna melanjutkan ke Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang yang didirikan oleh Rahmah El-Yunusiyah.

Selepas lulus, Rasuna mengabdikan diri pada perguruan tinggi tersebut. Namun Rasuna tetap berpolitik. Pada 1926 di saat usianya baru 16 tahun, ia menjadi Sekretaris Serikat Rakyat Cabang Soematra Barat dimana Tan Malaka adalah  tokoh sentralnya.

Rasun menolak pria pilihan keluarganya karena ia tidak mencintainya. Apalagi pria itu telah beristri. Ia menolak dimadu. Pada usia ke-19, Rasuna menikah dengan Duski Samad, seorang pemuda cerdas dan taat beragama, namun berasal dari keluarga biasa. Pernikahan ini tidak mendapat restu dari keluarga Rasuina.

Namun kehidupan perkawinannya kandas karena kurangnya komunikasi  di antara keduanya. Rasuna adalah seorang aktivis kemerdekaan. Ia sering mengajar di sekolah-sekolah Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI). Pasca kegagalan perkawinannya, Rasuna mengecam keras poligami. Padahal di masyarakat Minangkabau di masa lalu, kawin-cerai sudah biasa. Bagi Rasuna, poligami adalah pelecehan terhadap kaum wanita. Padahal menurut Islam, poligami bukan untuk melampiaskan nafsu seks.

 Rasuna juga pernah berkecimpung di dunia pers. Ia mendirikan Soenting Nagari, Raya, dan Menara Poeteri di Medan sebagai alat perjuangan perempuan. Ia terpengaruh salah-satu mentornya, Roehana Koeddoes.

Di Medan itu juga mendirikan sekolah keputrian. Dengan media ini, ia menegaskan visinya agar wanita Indonesia harus turut memikirkan nasib bangsa. Perempuan harus menggapai kemajuan. Agama seharusnya tidak menghambat kaum perempuan untuk berkiprah di segala sektor kehidupan.

Rasuna Said, sebagaimana dicatat oleh Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia Volume 1 (2004) , adalah salah-satu anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP---KNIP) dan kemudian menjadi anggota parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat Republik  Indonesia.

Jabatan politik terakhirnya adalah anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Ia meninggal di Jakarta, 2 November 1965 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Pemerintah menetapkan Hajjah Rangkayo Rasuna Said sebagai pahlawan nasional pada 13 Desember 1974.

Islam dan Kaum Perempuan saat ini
Saat ini kaum perempuan Islam Indonesia terjebak pada ritualitas dan kesalehan individual. Ketiga Srikandi Minangkabau di atas adalah muslimah yang taat. Namun mereka menganggap Islam tidak merendahkan kaum perempuan.

Sebaliknya Islam menjadi ruh pergerakan kemerdekaan dan kemajuan kaum perempuan. Mereka menolak pandangan agama dan adat-istiadat yang kolot.

Sayangnya, di era milenial ini,  muncul gerakan-gerakan Islam Salafi-Wahabi yang berusaha memenjarakan perempuan di balik jilbab dan cadar. Mereka menganggap hal itu sebagai Islam yang murni.

Kaum perempuan tidak diperbolehkan beraktivitas di ranah publik. Mereka diwajibkan tinggal di rumah. Gerakan ini seolah menjadikan wanita sebagai obyek seks suami mereka.

Hal ini adalah satu kemunduran bagi pergerakan perempuan Islam di Indonesia. Islam bahkan dinilai sebagai agama yang mengukung hak-hak dan kebebasan kaum perempuan. Hal ini disebabkan kaum wanita Islam di Indonesia saat ini tidak membaca sejarah pergerakan perempuan di negeri ini. Mereka berpikir kolot. Mereka menerima saja apa yang disampaikan para pemimpin mereka.

Usaha meng-Arab-kan diri sangat kelihatan pada gerakan-gerakan Islam tertentu di Indonesia. Seolah semakin "Arab" semakin Islami. Islam disamakan dengan budaya Arab. Banyak perempuan Muslimah yang berorientasi ke Timur Tengah dan tidak membaca sejarah pergerakan kaum perempuan di negerinya sendiri. Kaum perempuan terjerembak pada dunia patriarkis.

Rahmah El-Yunusiyyah, Roehana Koeddoes, dan Rasuna Said jelas bukan perempuan dengan keislaman yang dangkal. Mereka sangat memahami Islam. Namun mereka mengkolaborasikan keislaman dan kemodernan. Mereka mengambil sisi positif dari budaya Barat dan mengkombinasikannya dengan nilai-nilai Islam.

Perguruan Diniyyah Poetri Padang Panjang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu keislaman tetapi juga ilmu-ilmu umum. Roehana Koeddoes tidak hanya menulis mengenai masalah agama, tetapi juga pengetahuan umum.

Rasuna Said juga mempunyai wawasan yang luas. Tapi sayangnya, hal ini tidak diikuti oleh kaum perempuan saat ini. Mereka sibuk dengan gawai dan perhiasan yang mencolok. Memang saat ini kondisi perempuan lebih baik dibandingkan di masa lalu. Tapi kini kaum perempuan menghadapi masalah yang tidak kecil.

Perdagangan anak dan perempuan, kesehatan ibu dan bayi, pelecehan seksual, kemiskinan, dan masalah TKW. Jika tiga Srikandi Minang itu masih hidup di masa kini, tentu mereka akan merasa sedih melihat kondisi ini.

Kaum perempuan dihadapkan pada persoalan yang tidak sedikit. Pemerintah sudah berupaya memperbaiki masalah ini namun hasilnya masih belum memuaskan. Lembaga-lembaga donor sudah memberikan dananya kepada pemerintah Indonesia. Namun kaum perempuan masih harus bersabar.

Memang kita melihat kemajuan besar yang bisa dicapai oleh kaum perempuan Indonesia. Kaum perempuan yang melek huruf, misalnya meningkat dari waktu ke waktu. Aktivitas perempuan dalam politik dan ekonomi juga terus meningkat.

Banyak perempuan menjadi pimpinan di BUMN, perusahaan swasta, dan lembaga pemerintah. Hal ini sangat positif, walaupun kita menyadari banyak pula wanita yang masih tertinggal.

Kita tidak boleh pesimis dengan kemajuan kaum perempuan di Indonesia. Situasi dan kondisi akan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Kaum perempuan harus memberdayakan dirinya menuju masa depan gemilang. Wallahu a'lam bisshowab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun