Dunia Islam terus menerus dilanda krisis sejak beberapa dekade ini. Di dunia Arab, khususnya, pertikaian antara faksi-faksi Islam telah terjadi sejak beberapa tahun ini. Dunia Arab telah dilanda krisis yang parah setelah munculnya Arab Spring yang dimulai dari Tunisia lalu ke Libya, Mesir, Syiria, dan Yaman. Namun Arab Spring bukan hanya berhasil mengjungkalkan rezim namun malah menciptakan rezim monster yang jauh lebih kejam.
Di Mesir, para pemuda dan massa rakyat berhasil menumbangkan rezim Husni Mubarak yang telah berkuasa selama puluhan tahun. Mereka pun mengangkat Muhammad Mursi sebagai presiden. Namun hal ini tak berlangsung lama.Â
Militer melakukan kudeta dan mengangkat Jenderal Abdel Fattah el-Sisi sebagai presiden Mesir. Mursi pun ditangkap dan terancam dijatuhi hukuman mati. Ikhwanul Muslimin dinyatakan sebagai organisasi terlarang.
Jelas ada kepentingan Barat dibalik kudeta militer Mesir. Barat jelas tidak menginginkan partai-partai Islam menguasai pemerintahan. Barat menginginkan kaum sekuler yang diwakili oleh militer untuk menguasai pemerintahan. Bagi Barat, Islam adalah momok yang menakutkan.
Beberapa fenomena yang terjadi di dunia Islamlah yang diangkat oleh Buya A. Syafii Maarif dalam buku ini. Yang jelas, Buya melalui buku ini mengisahkan kekhawatirannya mengenai masa depan dunia Islam, khususnya dunia Arab. Dunia Arab kini dilanda krisis moral luar biasa. Para pemimpinnya tidak lagi memperdulikan nasih rakyat mereka yang kini hidup mengungsi ke beberapa negara tetangga, bahkan negara-negara Eropa.Â
Krisis Suriah adalah salah-satu contohnya. Menurut Buya, Bashar al-Asad tidak lagi memperdulikan kelanjutan hidup rakyatnya. Perang antara pemerintaah Syiria yang dikuasai oleh Bashar al-Asad dengan kaum pemberontak nyaris tak pernah berhenti. Keduanya mengklaim telah berhasil saling menghancurkan. Tak ada lagi kota-kota di Syiria yang selamat dari ledakan bom.Â
Di tengah pembantaian rakyat Syiria dalam perang yang tak kenal ampun ini, Amerika Serikat dan Rusia saling memperebutkan pengaruh di Timur Tengah. Mereka bermain api dengan negara-negara Timur Tengah. Rivalitas a la Perang Dingin seakan berlanjut kembali dalam konflik Timur Tengah.
Sementara itu, negara-negara Arab kaya minyak seakan tidak mau tahu dengan nasib pengungsi Syiria. Mereka bagaikan dianggap najis oleh negara-negara petrodollar itu. Hanya Bahrain dalam catatan Buya yang mau menampung 5.000 pengungsi Syiria.
 Menurut Buya, Islam pun dilanda krisis yang parah. Apa yang terjadi di Timur Tengah ini tidak lepas dari krisis politik yang telah terjadi sejak zaman para sahabat dan tabi'in dan kemudia dilanjutkan oleh para khalifah dan raja-raja. Konflik Sunni dan Syiah adalah warisan masa lalu yang seharusnya dilupakan saja. Umat Islam harus beranjak masa lalu dan mengukir masa depan yang lebih baik.   .
Sayangnya, sebagian elit politik ingin mempertahankan konflik ini atas berbagai macam kepentingan. Â Iran adalah salah-satu negara yang berada di belakang rezim Bashar Al-Asad. Iran menyuplai senjata untuk pemerintah Baathisme Syiria untuk memusnahkan ISIS dan kaum pemberontak. Konflik Syiria seakan tidak ada habis-habisnya.
Menurut Buya, umat Islam di seluruh dunia harus jernih melihat permasalahan yang ada. Konflik Syiria jelas menguntungkan Israel. Umat Islam harus mengubah masa kini yang carut-marut dengan memandang ke masa depan.Â
Umat Islam harus keluar dari konflik masa lalu dan dengan sadar mengubah dirinya yang tertinggal dari umat---umat lain. Umat Islam kini berjumlah 1,6 miliar di dunia tapi bagaikan buih di lautan yang dengan mudah dipermainkan. Â Umat Islam saat ini belum mampu menjadi umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Terbaik di sini adalah secara moral.
Hal ini terjadi akibat pengkotak-kotakan umat Islam dalam bingkai sejarah masa lampau. Umat Islam mengalami perpecahan sejak Perang Shiffin dan Perang Unta antara Khalifah Ali bi Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan yang didukung oleh Aisyah RA, Amr bin Ash, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ibn Awwam. Kemenangan Khalifah Ali bin Abi Thalib diikuti dengan peristiwa Tahkim antara pihak Ali dengan pihak Muawiyah.
Menurut Buya, umat Islam harus kembali kepada semangat Alquran. Kitab suci umat Islam ini menyerukan persatuan umat Islam dan menjauhi perpecahan. Perpecahan yang terjadi di antara umat Islam ini adalah produk masa lalu. Jangan sampai masa lalu membunuh masa depan. Umat Islam harus menyadari bahwa pertikaian antar umat harus segera diselesaikan.
Buya bahkan menyatakan Timur Tengah sekarang harus ganti rezim atau ganti umat karena mereka selalu menyulut peperangan di antara mereka sendiri. Â
ISIS menurut Buya merupakan kelompok Wahabi radikal yang dilepaskan oleh  intelijen Arab Saudi yang dipimpin oleh almarhum Pangeran Bandar bin Sultan untuk menciptakan kekacauan di Timur Tengah. Sehingga akan mengundang AS turun tangan dan melindungi Saudi.
Islam tidak lagi menjadi pedoman bagi elit-elit politik Timur Tengah sekalipun mereka beragama Islam. Alquran tidak lagi menjadi panduan. Kekerasan politik di Timur Tengah tidak disebabkan mereka memahami Alquran justru karena mereka jauh daripadanya. Â
Solidaritas Arab telah hampir hilang sama sekali. Timur Tengah menjadi kawasan yang terus membara tanpa habis-habisnya. Kekerasan politik dalam bentuk peperangan terus dipertontonkan kepada khalayak dunia.
ISIS dan kelompok-kelompok radikal lainnya berusaha mengglobalkan gerakan teror ke seluruh dunia, khususnya dunia Islam. Mereka menggunakan internet sebagai sarana untuk menebarkan ketakutan bagi muslim dan non-muslim. Mereka adalah kelompok khawarij dan takfiri yang mengkafirkan sesama muslim dan memperbolehkan membunuhnya.
Gerakan semacam ini jelas jauh dari semangat Alquran agar umat Islam membawa cahaya dan rahmat kepada seluruh umat manusia. Jelas bahwa gerakan-gerakan semacam itu mencoba memanipulasi ajaran Islam kepada pengikutnya yang minim nilai-nilai keagamaannya. Mereka melucuti ayat-ayat Alquran dari konteksnya. Mereka memahami Alquran secara harfiah. Tanpa memahami konteks dan sebab-sebab turunnya ayat.
Kelompok-kelompok semacam ini sangat banyak di dunia Islam dengan berbagai macam bentuknya. Mereka cenderung menggunakan kekerasan daripada cara-cara lunak dengan hikmah dan nasihat (mauizhoh) yang baik.Â
Musyawarah sebagai sokoguru politik Islam tidak pernah digunakan kembali. Bahkan politik Islam diwarnai oleh aksi-aksi sepihak yang sama sekali tidak menggunakan nalar. Keberanian mereka melakukan berbagai macam tindakan teror menunjukkan mereka sama sekali telah menanggalkan nalar dalam beragama. ISIS, Taliban, dan Boko Haram adalah gerakan-gerakan teror yang berpikiran picik dan bodoh. Mereka berhasil memanipulasi ajaran Islam untuk kepentingan kelompoknya.
Di tengah kondisi umat Islam yang cenderung kacau balau ini, seharusnya para pemimpin Islam atau mereka yang mengaku sebagai pemimpin Islam berbenah. Kita harus mengetahui akar dari masalah ini semua. Problem ekonomi merupakan salah-satu permasalahan akut. Para teroris biasnya berasal dari kelompok terpinggirkan yang mencoba mencari eksistensi diri dengan melakukan tindakan teror.Â
Kesenjangan ekonomi di antara negara-negara Islam begitu melebar. Ada negara-negara kaya minyak dan ada negara-negara miskin yang dilanda kekeringan. Sejatinya, terorisme merupakan respon terhadap masalah-masalah global. Kemiskinan, keterbelakangan, kurangnya pendidikan, kesenjangan sosial, korupsi, dan akses yang minim kepada fasilitas publik dapat memicu gerakan teror.
Banyaknya negara gagal menyebabkan gerakan-gerakan teror bermunculan. Selain itu, jaringan teroris yang begitu mengakibatkan meluasnya kuantitas dan kualitas gerakan teror. Mereka membentuk sel-sela bawah tanah yang bekerja secara rahasia. Jaringan ini yang terus diamati oleh aparat penegak hukum.Â
Sistem organisasi yang bersifat rahasia dengan garis komando yang tidak jela menyebabkan gerakan-gerakan semacam ini sulit ditembus. Selain itu mereka mempunyai metode indoktrinasi untuk mencuci otak seseorang. Dengan metode indoktrinasi yang canggih itu, mereka berhasil menguasai pemikiran seseorang.
Melihat permasalahan terorisme secara holistik harus diupayakan oleh setiap pemimpin, intelektual, dan pengambil keputusan di dunia Islam. Demokrasi yang dipaksakan Barat terhadap dunia Islam ternyata tidak berbuah manis.Â
Konflik elit, ketidakstabilan politik, carut-marut ekonomi, liberalisasi, privatisasi, dan kudeta yang silih berganti merupakan bukti bahwa demokrasi tidak bisa dicangkokkan begitu saja di Dunia Islam.
Islam memang tidak bisa dilepaskan dari politik. Namun terlalu berkutat dengan konflik politik masa lalu adalah hal yang sia-sia. Umat Islam harus berpikir futuristik. Tidak lagi terkotak-kotak dalam kerangkeng politik masa lalu. Umat Islam terutama kaum intelektualnya harus melihat situasi dan kondisi ini dengan jernih dan obyektif.Â
Sesuai dengan ayat Alquran bahwa Allah tidak akan mengubah suatu kaum sebelum kaum itu mengubah diri-diri mereka sendiri amatlah relevan kalau dikatakan umat Islam perlu melakukan introspeksi diri.Â
Selain itu, umat Islam harus berani mengambil langkah radikal untuk menghancurkan pengkotak-kotakan tersebut. Rekonsiliasi atau ishlah di antara kelompok-kelompok Islam amat diperlukan. Kembali kepada Alquran dan Sunnah adalah bukan jargon kosong. Namun harus diiimplementasikan untuk masa depan  Islam yang berperadaban. Wallahu a'lam bisshowab.
Menguak Masa Depan Dunia Islam
Resensi Buku
Judul         :      Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam
Penulis       :      Ahmad Syafi'i Maarif
Tahun terbit   :      2018
Penerbit      :      Bentang Pustaka
Tebal Buku    :       xviii+221 halaman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H