Waktu kau berangkat dulu
kau genggam semangat sebesar batu.
Dengan jarimu sendiri, Â Kau pahat pula niat baik diatasnya
tanganmu mengepal melajur lebih depan dibanding kepala
sebab kau mengendarai hati, bukan kaki
di perempatan, orang-orang sepertimu bersua
saling mengobarkan api, bergandeng tangan membakar apa saja yang didekatnya
agar terang itu menembus kebuntuan jarak pandang
teriakan tak bakal mundur
janji kalian tebar berbongkah-bongkah, untuk setia pada benar
disulukkan dengan gempita, metafor beterbangan mengirim makna
lihatlah ini kesucian diambang menang
ikutlah sodara sodara semua
ikutlah jangan ragu sedikitpun
begitu,Â
kalian mati rasa sebab yang tertinggal hanya cinta
lalu, di seberang tak begitu gaduh
dengan karakter sulam wibawa, bestari dan ratu adil
turun, menatap ke arah kalian, yang baru saja saling bertemu dan berjanji menaiki kereta yang sama
lengang, kereta hanya menyisakan suara mesin
lalu, dari kejauhan, batu-batu itu, dengan muka menahan malu, mulai kalian masukkan dalam saku
lirikan terlahir bertubi-tubiÂ
mata saling todong untuk tunduk pada satu perjanjian baru
untuk berdamai
untuk berdiam
untuk melupakan
apa yang awalnya ingin kalian perangi
batu-batu itu mulai kalian gelindingkan dengan pelan
seakan keadaan yang memaksa, duh.
kalian lubangi dengan jari saku ituÂ
hingga  jejak dipenuhi bebatuan janji-janji
kami melihat, masih dari jauh
karena mendekat hanyalah busuk
setidaknya, diatas kecewa dan muak melihat para lakon
kami masih bisa mengais pahatan niat baik
untuk tetap kami jaga sebagai doa
bahwa pertemuan niat baik saja tidak pernah cukup untuk memenangkan kebenaran
selama kekuasaan dan tamak menjadi masinis kereta yang kalian tunggangi.
Sebab, hakikatnya, yang kalian cintai adalah kebutaan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H