Mohon tunggu...
Jihan Auliana Ghaisani
Jihan Auliana Ghaisani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Padjadjaran

Halo! Saya Jihan, mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ekofeminisme: Perempuan dan Masa Depan Bumi Pertiwi

26 Oktober 2022   23:08 Diperbarui: 26 Oktober 2022   23:25 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di tengah pembangunan infrastruktur yang semakin marak di berbagai daerah, salah satu hal yang terus menjadi problematika mendasar bagi masyarakat Indonesia ialah keterbatasan air bersih.

Sederhana, namun belum ada tindakan serius dari pemerintah untuk mendorong hal tersebut. Tidak sedikit kasus penyakit hingga kematian yang diakibatkan karena mata air yang tercemar. Padahal, air bersih menjadi dasar bagi aktivitas manusia sehari-hari.

Bagaimana hal ini dapat terus terjadi?

Ada beberapa kajian yang membahas mengenai keterkaitan aktivis perempuan dan lingkungan seperti halnya yang diungkapkan oleh Dewi dan Yuliana (2012) yang memaparkan aktivitas perempuan yang rela mengikuti panjangnya antrian demi mendapatkan air bersih untuk keperluan sehari hari, seperti mencuci, memasak, mandi bagi perempuan masyarakat salah satu daerah di Rawa Badak yang mengalami kesulitan mendapatkan air bersih, dalam konteks ini perjuangan mereka untuk mendapatkan sumber air bersih biasanya terpaksa membeli dari penjual air gerobak atau biasanya mereka menunggu air PAM keluar muncur keatas, meskipun terkadang air PAM tersebut. 

Selain laporan dari Dewi dan Yuliana, studi kasus mengenai Aktivis Perempuan untuk mengelola desa juga terdapat di Desa Citarik Sukabumi. Aktivis perempuan terlibat dalam kegiatan rehabilitasi hutan karena statusnya sebagai kepala keluarga atau menggantikan peran suaminya yang sedang bekerja di tempat lain.

Menurut Dwi terdapat empat alasan rasional yang menyebabkan keterkaitan antara lingkungan dan perempuan diantaranya adalah yang pertama, secara fisiologis perempuan terlibat dalam waktu yang lebih lama dengan spesies kehidupan dimana perempuan lah yang merawat dan menjaga masa depan kehidupan manusia. 

Kedua, dalam hal ini posisi dari perempuan di suatu wilayah domestik merupakan tempat bayi bayi ditransformasikan kedalam makhluk kultural. Ketiga, psikologi perempuan sebagai ibu membuahkan hasil untuk cara berfikir yang lebih relasional. 

Alasan keempat ialah kaum perempuan lah yang bertanggung jawab terhadap wilayah domestik yang memiliki andil dalam mengurangi jumlah sampah.

Disisi lain menurut (Astuti, 2012), perempuan selalu dianggap pandai bergaul akrab dengan produk produk yang berdampak pada pencemaran lingkungan dan limbah. Contohnya limbah rumah tangga, dalam hal ini perempuan memiliki upaya peran sentral dan strategis dalam pengelolaan lingkungan.

Perempuan dan lingkungan merupakan dua hal yang saling terkait karena dalam kesehariannya selalu bersentuhan. Upaya melibatkan perempuan dalam rangka pengelolaan sering kita jumpai saat ini. 

Perempuan yang tinggal di perkotaan menarik untuk diteliti mengingat pencemaran udara lebih banyak terjadi di perkotaan, demikian pula jumlah penduduk kota lebih banyak daripada penduduk desa, sehingga jumlah sampah di perkotaan juga jauh lebih tinggi daripada di pedesaan.

Disisi lain, menurut Atma Kusumah, masalah lingkungan di Indonesia cenderung dikaitkan dengan brown problem yang menekankan pencemaran udara atau polusi daripada green problem yang menekankan pentingnya penyelamatan hutan. 

Bisa jadi pencemaran lingkungan dianggap merupakan masalah lingkungan yang dirasakan langsung oleh masyarakat kota, tempat kelompok dominan bermukim, sebaliknya green problem lebih banyak terkait dengan masalah non human, terjadi jauh dari kota dan diasumsikan hanya menyangkut sebagian kecil masyarakat. 

Ekofeminisme adalah pengembangan pemikiran feminis yang menyatakan bahwa krisis lingkungan global diasumsikan merupakan hasil dari kebudayaan patriarki. Ekofeminisme pada dasarnya merupakan analisis yang menghubungkan institusi sosial yang maskulin dan perusakan terhadap lingkungan fisik. 

Pemikiran ini didasarkan pada pemikiran barat yang memfemininkan bumi karena bumi dianggap seperti perempuan yang memproduksi kehidupan. Sehingga muncul berbagai istilah seperti hutan yang masih perawan, kandungan yang terdapat dalam bumi, perkosaan terhadap bumi dan lainnya.

Pemahaman mengenai ekologi feminis lebih diperkuat melalui pemahaman paradigma lingkungan (Corbett 2006:282) yang menekankan bahwa manusia merupakan satu dari begitu banyak makhluk di dunia dan setiap makhluk (tumbuhan, binatang dan lainnya) mempunyai hak yang sama untuk hidup karena ada interdependensi di antara mereka. 

Dengan demikian, kita perlu memperhatikan keragaman, kompleksitas, integritas, harmoni dan stabilisasi di antara semua makhluk tersebut sehingga keberlanjutan dan konservasi alam lebih penting daripada kemajuan pembangunan bagi manusia semata. 

Gerakan ekologi dan feminisme mempunyai tujuan yang saling berkaitan, keduanya membangun pandangan mengenai dunia dan prakteknya yang tidak berdasarkan model model dominasi. Seperti yang dikemukakan Rosemary Radford Ruether, terdapat kaitan yang sangat penting antara pola dominasi terhadap perempuan dan perlakuan dominasi terhadap alam.

Keterlibatan  perempuan dalam  rangka pengelolaan   lingkungan   untuk   mengatasi perubahan  iklim  dilakukan  secara  langsung. Para  perempuan  terlibat  dari  awal  program hingga  keberlanjutan  program. 

Keterlibatan perempuan   secara   langsung   terjadi   pada program  yang  ada  kaitannya  dengan  pengelolaan  sampah  rumah  tangga.  Keterlibatan perempuan    dilakukan    melalui    organisasi yang  ada  di  masyarakat.

Perempuan     terlibat     juga     sebagai penyebar  informasi  guna  implementasi  ge-rakan  pengelolaan  lingkungan.  Keterlibatan perempuan     dapat     mempengaruhi para perempuan lainnya untuk ikut terlibat dalam pengelolaan sampah tersebut.

Sehingga proses   penyadaran   antara   perempuan   yang belum  terlibat  dapat  terjalin  karena  adanya proses   persuasi   dari   para   perempuan   itu sendiri.

Keterlibatan  masyarakat  dapat  dilihat ditingkatkan  dilihat  dari  beberapa  tahapan peningkatan    keterlibatan    perempuan    itu sendiri.  Tahapan  tersebut  terdiri  atas tahap awal  atau  tahap  perluasan  jangkauan,  tahap pembinaan,  tahap  pelembagaan  atau pembudayaan  serta  tahapan  akhir. 

Dari  tahapan tersebut dapat dilihat bagaimana perempuan terlibat  dalam  gerakan pengelolaan sampah sebagai salah satu faktor yang menjadi fokus dalam pengelolaan lingkungan.

Dilihat dari konsep multiple readings sebagai yang dikemukakan oleh Hall, maka dalam kasus penelitian ini tidak ditemukan oppositional reading yang berarti. Karena nilai-nilai patriarki masih dilanggengkan oleh budaya, media massa dan pemerintah. 

Dengan kata lain pemaknaan beragam tidak banyak terjadi karena lingkungan atau system tidak mendukung seseorang untuk melakukan pemaknaan yang berbeda. Adapun konsep power yang diberikan pada khalayak untuk memberikan pemaknaan yang beragam hanya berlaku apabila budaya, media dan pemerintah dan kegiatan individu khalayak itu memungkinkan dia melakukan hal itu  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun